Nikah lagi Ash, ga usah bingung. Resepsi aja wkwkwk
Terima kasih atas bantuanmu,” kata Mae, untuk Ash yang berjalan pelan di sampingnya, menuju gerbang. Hari belum amat terang, tapi Ash harus kembali karena tentu harus bekerja. Ia harus menyetir jarak lumayan. “Aku mungkin terpaksa memanggil Mama Carol kalau kau tidak ada.” Mae melanjutkan, lalu berdiri setelah membuka gerbang. “Kau itu kenapa?” Mae heran, karena Ash terlihat tersenyum terlalu lebar. Mae tidak merasa mengatakan sesuatu yang lucu. “Aku hanya gembira kedatangan ku tidak sia-sia. Aku sudah khawatir kau akan marah selamanya.” Tentu saja Ash bahagia mendengar bantuannya mendapat pengakuan. Mae mendengus mendengar alasan Ash, lalu berpaling, memilih memandang pagar gompal yang ada di sebelah tangannya. Benda random yang menjadi objek hanya karena Mae tidak ingin memandang senyum Ash. Tidak peduli pagi atau sore, senyum itu tetap menyilaukan ternyata. “Aku juga,” kata Mae, alasan lainnya menghindar adalah penyesalan. “Kau juga gembira aku datang?!” Ash menyambar secepa
“Astaga! Begitu rupanya. Ini menyeramkan. Syukurlah Daisy baik-baik saja sekarang.” Mama Carol mengusap wajahnya sambil menghela napas. Ia baru pulang kurang lebih dua puluh menit yang lalu, dan Mae menceritakan apa yang terjadi.“Maaf, Mama. Aku ceroboh menjaganya.” Mae menunduk sambil mengusap air matanya. Sekali lagi heran. Ia tidak ingin menangis!“Aku kecewa, tapi ya sudah. Ini musibah.” Mama Carol tampak berdiri dengan susah payah. Pengobatan itu katanya cukup mengurangi sakit di punggungnya, tapi tidak sampai tuntas memang.“Maaf.” Mae bergumam pelan saat Carol mengusap pelan rambutnya.“Jangan menangis, Mae. Kau harus kuat bukan? Demi Daisy. Kalau bukan kau, siapa lagi yang akan berdiri untuknya? Kalau kau menangis, Daisy akan semakin sedih. Kau tidak menginginkan ini bukan?” Carol merengkuh Mae, berbisik di telinganya.“Ya, aku tahu, Mama. Aku yang akan merawat Daisy. Aku kakaknya.” Mae mengangguk, dan memeluk tubuh gempal yang hangat itu. Cukup lega Mama Carol tidak sampai s
Ash mengusap rambutnya—tanpa alasan—untuk kesekian kali, lalu kembali menatap ponselnya. Mae sebentar lagi sampai. Itu yang membuatnya gelisah dan terus mengusap rambut.Bukan hanya rambut korbannya, kaos yang dipakainya juga mengalami nasib yang sama, diusap berulang kali meski sudah licin.“Dua menit lagi.” Ash bergumam, lalu bagai terbang, kakinya melangkah dan membuka pintu.Ash berdiri menunggu di teras, sesekali menjenguk ke arah jalan. Tidak sabar. Tapi paerkiraan durasi yang ditunjukkan ternyata sangat tepat, karena tidak lama kemudian mobil Mae terlihat, berbelok memasuki gerbang.Ash berusaha untuk tidak tersenyum—khawatir akan membuat Mae terbebani, tapi sudah sejak beberapa lama otaknya tidak lagi berkuasa. Hatinya mengambil alih, dan sekarang dengan mudahnya ‘menyuruh’ Ash untuk menerbitkan senyuman.Bahkan semakin lebar saat Mae melangkah turun dari mobil.“Apa kau menungguku?” Mae masih bisa mengeluarkan pertanyaan heran, meski sesaat harus mengeluh. Senyum itu sungguh
“Oke, ini memang lezat. Untung saja kau membawa ukuran yang besar. Aku masih bisa membawa pulang sisanya. Mae ini tangannya hebat sekali.” Parker mendesah puas sambil mendorong piringnya yang sudah kosong. Tentu saja tadi berisi brownies, tapi sekarang remahannya pun sudah tidak ada. Licin tandas.“Terima kasih, Sir.” Kali ini senyum Ash tulus dan memang girang mendengar pujian untuk Mae. Tidak lagi iri, karena sudah ada paling tidak dua potong brownies Mae dalam perutnya. Mae tidak hanya membuat satu untuk dibawa, tapi dua porsi besar. Masih ada sisa di dalam kulkas juga. Ash tidak akan iri pada siapapun yang memakan brownies hari ini.“Sampaikan terima kasihku padanya.” Parker menepuk kotak brownies yang akan dibawanya pulang.“Tentu. Saya yakin Mae juga akan gembira mendengar Anda menyukainya.” Ash mengangguk dengan wajah amat puas.Mae mungkin tidak pernah terang-terangan mengaku saat dirinya mendapat pujian tentang rasa kue buatannya, tapi Ash sering melihat bagaimana sudut bib
“Bisakah kita bicara sebentar?” Ash meminta begitu melihat Mae berbaring di sofa baru itu. Ia baru saja masuk ke rumah, masih memakai seragam dan sepatu boot. “Ada apa?” tanya Mae, sambil menurunkan kaki, dan meletakkan buku yang dibacanya. Buku yang mengandung resep croissant—sesuai permintaan Daisy kemarin. “Apa ada hal gawat? Apa terjadi sesuatu dengan kepalamu? Apa bertambah buruk dengan cepat?” Mae menatap kepala Ash, seakan berharap ada sesuatu terlihat. “Apa? Tunggu, pelan-pelan.” Ash mengangkat tangan kebingungan, lalu mengusap kepalanya. Memastikan kalau kepalanya tidak mendadak tumbuh tanduk, karena Mae menatapnya kelapanya dengan amat cermat. “Tidak ada apa-apa dengan kepalaku,” kata Ash. Ia paham Mae bertanya seperti itu karena penyakitnya, tapi dengan terpaksa kembali menunda pembahasan, karena masalah Parker lebih mendesak. Ash juga belum tahu caranya menjelaskan keadaan itu. “Lalu ada apa? Kau terdengar serius sekali.” Mae tadi memberondong pertanyaan karena panik
Mae membuka masker penutup matanya, membatalkan niat tidur karena tiba-tiba ponselnya berbunyi, nyaring. Hanya pesan tapi nyaring. Itu kebiasaan Mae. Ia memasang ringtone lebih keras saat malam agar bisa terbangun saat ada keadaan darurat—dari Daisy. Tapi pesan itu bukan dari Daisy, nomor asing. [Halo, maaf kalau mungkin mengganggu. Namaku Gina Parker. Aku mendapat nomor ini dari Ashton. Aku istri dari Letnan Kolonel Ryan Parker.] Pesan perkenalan itu cukup panjang, sedikit bertele-tele. Intinya satu, Gina itu ingin meneleponnya. Ash sudah menyebut tentangnya tadi, jadi Mae tidak terkejut dan mengirim pesan mempersilakan. “Cepat sekali.” Mae bergumam. Ponselnya berdering pada detik berikut. Gina sangat menunggu balasan dari Mae. “Selamat malam, aku benar-benar meminta maaf karena mengganggumu malam begini. Tapi aku baru punya kesempatan untuk menghubungimu sekarang.” Gina memberondong permintaan maaf bahkan sebelum Mae menyebut kata halo. Suaranya lembut tapi. “Tidak masalah, M
“Halo.” Daisy yang sedang mengetik pesan untuk Mae, mendongak dan melihat seorang pria tersenyum padanya. “Ya? Ada apa?” Daisy mengernyit curiga. Ia tidak mengenal pria itu yang saat ini tersenyum ramah itu. Sudah pasti bukan bagian dari pegawai rumah sakit. Selain karena pakaiannya bukan seragam, Daisy sudah hampir mengenal semua perawat dan pegawai yang ada di bagian rumah sakit itu karena sudah terlalu sering ke sana. Pria yang ini sama sekali asing—wajahnya tidak tampak mencurigakan, cukup tampan dan tersenyum ramah—meski tidak amat menyilaukan seperti Ash. “Apa boleh aku duduk? Aku hanya sedang mencari teman untuk mengobrol.” Pria itu menunjuk kursi panjang yang memang dipakai untuk menunggu yang ada di lobi rumah sakit. Daisy merapatkan kursi rodanya di sana. “Aku sedang menunggu kakakku melakukan pemeriksaan, dan katanya lama. Sakitnya cukup berat.” Pria itu menjelaskan dengan senyum, agar Daisy tidak lagi curiga—terlihat dari diam dan pandangan matanya. Penjelasan yang
“Hai!”Mae langsung bisa mengenali Gina. Suara dan orangnya memang seusai. Gayanya mirip Evelyn, tapi senyum dan sapanya sangat jauh berbeda.Wanita berumur empat puluhan, dengan rambut pendek gelap, belum banyak kerutan, memiliki tipe kecantikan yang segar. Tentu berpenampilan rapi juga dengan blazer pink, yang Mae yakin harganya lumayan. Ada kalung mutiara yang menempel di lehernya, menambah kesan anggun.“Halo.” Mae menerima uluran tangannya, juga pelukan dan ciuman di pipi dan kanan. Standar sapaan kaum wanita elite.“Terima kasih telah mengundang saya.” Mae tersenyum cemerlang. Mengerahkan seluruh kemampuannya untuk terlihat ramah dan indah.“Aku hanya bisa berkata Wow saat ini. Kau cantik sekali.” Gina memuji sambil menepuk tangannya.Mar tersenyum, dan mengangguk berterima kasih. Komentar itu normal. Bukan hanya kue bawaannya yang berdandan dengan hati-hati, Mae juga sama. Ia memilih baju dengan cermat. Tidak memakai brand mewah yang mencolok—karena akan membuat iri dan membu