“Oke, ini memang lezat. Untung saja kau membawa ukuran yang besar. Aku masih bisa membawa pulang sisanya. Mae ini tangannya hebat sekali.” Parker mendesah puas sambil mendorong piringnya yang sudah kosong. Tentu saja tadi berisi brownies, tapi sekarang remahannya pun sudah tidak ada. Licin tandas.“Terima kasih, Sir.” Kali ini senyum Ash tulus dan memang girang mendengar pujian untuk Mae. Tidak lagi iri, karena sudah ada paling tidak dua potong brownies Mae dalam perutnya. Mae tidak hanya membuat satu untuk dibawa, tapi dua porsi besar. Masih ada sisa di dalam kulkas juga. Ash tidak akan iri pada siapapun yang memakan brownies hari ini.“Sampaikan terima kasihku padanya.” Parker menepuk kotak brownies yang akan dibawanya pulang.“Tentu. Saya yakin Mae juga akan gembira mendengar Anda menyukainya.” Ash mengangguk dengan wajah amat puas.Mae mungkin tidak pernah terang-terangan mengaku saat dirinya mendapat pujian tentang rasa kue buatannya, tapi Ash sering melihat bagaimana sudut bib
“Bisakah kita bicara sebentar?” Ash meminta begitu melihat Mae berbaring di sofa baru itu. Ia baru saja masuk ke rumah, masih memakai seragam dan sepatu boot. “Ada apa?” tanya Mae, sambil menurunkan kaki, dan meletakkan buku yang dibacanya. Buku yang mengandung resep croissant—sesuai permintaan Daisy kemarin. “Apa ada hal gawat? Apa terjadi sesuatu dengan kepalamu? Apa bertambah buruk dengan cepat?” Mae menatap kepala Ash, seakan berharap ada sesuatu terlihat. “Apa? Tunggu, pelan-pelan.” Ash mengangkat tangan kebingungan, lalu mengusap kepalanya. Memastikan kalau kepalanya tidak mendadak tumbuh tanduk, karena Mae menatapnya kelapanya dengan amat cermat. “Tidak ada apa-apa dengan kepalaku,” kata Ash. Ia paham Mae bertanya seperti itu karena penyakitnya, tapi dengan terpaksa kembali menunda pembahasan, karena masalah Parker lebih mendesak. Ash juga belum tahu caranya menjelaskan keadaan itu. “Lalu ada apa? Kau terdengar serius sekali.” Mae tadi memberondong pertanyaan karena panik
Mae membuka masker penutup matanya, membatalkan niat tidur karena tiba-tiba ponselnya berbunyi, nyaring. Hanya pesan tapi nyaring. Itu kebiasaan Mae. Ia memasang ringtone lebih keras saat malam agar bisa terbangun saat ada keadaan darurat—dari Daisy. Tapi pesan itu bukan dari Daisy, nomor asing. [Halo, maaf kalau mungkin mengganggu. Namaku Gina Parker. Aku mendapat nomor ini dari Ashton. Aku istri dari Letnan Kolonel Ryan Parker.] Pesan perkenalan itu cukup panjang, sedikit bertele-tele. Intinya satu, Gina itu ingin meneleponnya. Ash sudah menyebut tentangnya tadi, jadi Mae tidak terkejut dan mengirim pesan mempersilakan. “Cepat sekali.” Mae bergumam. Ponselnya berdering pada detik berikut. Gina sangat menunggu balasan dari Mae. “Selamat malam, aku benar-benar meminta maaf karena mengganggumu malam begini. Tapi aku baru punya kesempatan untuk menghubungimu sekarang.” Gina memberondong permintaan maaf bahkan sebelum Mae menyebut kata halo. Suaranya lembut tapi. “Tidak masalah, M
“Halo.” Daisy yang sedang mengetik pesan untuk Mae, mendongak dan melihat seorang pria tersenyum padanya. “Ya? Ada apa?” Daisy mengernyit curiga. Ia tidak mengenal pria itu yang saat ini tersenyum ramah itu. Sudah pasti bukan bagian dari pegawai rumah sakit. Selain karena pakaiannya bukan seragam, Daisy sudah hampir mengenal semua perawat dan pegawai yang ada di bagian rumah sakit itu karena sudah terlalu sering ke sana. Pria yang ini sama sekali asing—wajahnya tidak tampak mencurigakan, cukup tampan dan tersenyum ramah—meski tidak amat menyilaukan seperti Ash. “Apa boleh aku duduk? Aku hanya sedang mencari teman untuk mengobrol.” Pria itu menunjuk kursi panjang yang memang dipakai untuk menunggu yang ada di lobi rumah sakit. Daisy merapatkan kursi rodanya di sana. “Aku sedang menunggu kakakku melakukan pemeriksaan, dan katanya lama. Sakitnya cukup berat.” Pria itu menjelaskan dengan senyum, agar Daisy tidak lagi curiga—terlihat dari diam dan pandangan matanya. Penjelasan yang
“Hai!”Mae langsung bisa mengenali Gina. Suara dan orangnya memang seusai. Gayanya mirip Evelyn, tapi senyum dan sapanya sangat jauh berbeda.Wanita berumur empat puluhan, dengan rambut pendek gelap, belum banyak kerutan, memiliki tipe kecantikan yang segar. Tentu berpenampilan rapi juga dengan blazer pink, yang Mae yakin harganya lumayan. Ada kalung mutiara yang menempel di lehernya, menambah kesan anggun.“Halo.” Mae menerima uluran tangannya, juga pelukan dan ciuman di pipi dan kanan. Standar sapaan kaum wanita elite.“Terima kasih telah mengundang saya.” Mae tersenyum cemerlang. Mengerahkan seluruh kemampuannya untuk terlihat ramah dan indah.“Aku hanya bisa berkata Wow saat ini. Kau cantik sekali.” Gina memuji sambil menepuk tangannya.Mar tersenyum, dan mengangguk berterima kasih. Komentar itu normal. Bukan hanya kue bawaannya yang berdandan dengan hati-hati, Mae juga sama. Ia memilih baju dengan cermat. Tidak memakai brand mewah yang mencolok—karena akan membuat iri dan membu
“Aku akan mengirim alamat dan waktunya nanti, jadi kita bisa melihat venue acaranya nanti.” Harper tersenyum dan mengangguk. Terlihat berjanji dengan sungguh-sungguh. Mae juga menerima dengan senyum ramah. “Aku akan menunggunya.” “Nah, kalau begitu semua sudah beres. Kita bisa pulang. Aku harus menyiapkan makan malam agar anakku tidak kelaparan.” Gina membereskan barang-barangnya, termasuk denah dan rincian acara itu. Tentu juga diikuti yang lain. Giba benar-benar kepala dari kelompok itu. Mae kembali melirik ke arah cookies lemon buatannya yang belum tersentuh lagi. Selain apa yang dimakan oleh Gina dan Poppy. Cookies buatannya memang mengenyangkan, jadi wajar kalau tidak mengambil untuk yang kedua kali, tapi Harper dan Enola sampai akhir tidak menyentuhnya. “Oh? Kenapa kalian tidak mengambil?” Gina yang sibuk bicara sejak tadi akhirnya menyadari keanehan itu. “Oh, maafkan kami. Tapi terus terang saja aku sudah kenyang. Aku tadi memakan sandwich ukuran besar saat makan siang. Ak
“Apa aku perlu berhenti?” Ash mengira ada sesuatu yang sakit atau yang seperti itu.Mae menggeleng. “Tidak. Aku hanya—bodoh. Teruskan saja.” Mae menurunkan tangan, dan kembali menggeleng kuat-kuat. Ia sedang bekerja saat ini. Tidak perlu memikirkan hal itu. Ia harus fokus pada uang, dan Ash akan memberikan uang padanya pada waktunya nanti.“Mae? Benar kau baik-baik saja? Atau memang ada yang membuatmu tersinggung”Ash akhirnya kembali menepi, mengulurkan tangan, ingin memeriksa kening Mae—memeriksa kemungkinan demam selain sakit hati.Tapi Mae menghindar sebelum tangan Ash menyentuhnya. Mae tahu apa akibat sentuhan itu. Rasanya menyenangkan tapi tidak boleh lagi. Rasa menyenangkan itu salah.“Jalan lagi. Aku baik-baik saja. Tidak ada yang membuatku sakit hati. Aku sudah berpengalaman menghadapi yang lebih kejam. Level mereka masih di bawah Evelyn dan teman-temannya.” Mae dengan sengaja menyebut Evelyn. Memikirkan anak tiri setan itu memang mudah sekali mengalihkan pikiran.Ash mengan
[EEW! Jijik! Aku tidak percaya dia benar-benar menikah! Lima puluh! Bayangkan itu!] [Lima puluh memang, tapi uang bisa memuaskan siapapun] [Apa yang akan dilakukannya dengan pria usia lima puluh?] [Kemungkinan malam ini dia sedang merayu agar bisa ‘berdiri’] Semua tulisan itu adalah ejekan yang berasal dari teman-teman sekolahnya. Mereka bahkan tidak peduli Mae masih ada di grup obrolan itu, menulis apapun yang ingin dikatakan, tidak menimbang apakah Mae akan tersinggung atau tidak. Tulisan bernada serupa seperti itu berderet-deret, saling bersahutan, kurang lebih ratusan. Mae memang ada disana sebagai pelengkap saja, tidak pernah bisa mengikuti bahan obrolan, karena dunia sekolah senior Mae hanya berisi kerja keras—bukan make up atau pemuda tampan. Kini mereka menganggap Mae tidak ada dan mudah saja mencela tanpa tahu apa yang membuat Mae menerima pernikahan itu. Mae mendesah saat melempar ponselnya ke atas ranjang, lalu membesit air matanya, memakai rok yang menjadi bagian gaun