Aneh apa, Mae? :))
“Apa aku perlu berhenti?” Ash mengira ada sesuatu yang sakit atau yang seperti itu.Mae menggeleng. “Tidak. Aku hanya—bodoh. Teruskan saja.” Mae menurunkan tangan, dan kembali menggeleng kuat-kuat. Ia sedang bekerja saat ini. Tidak perlu memikirkan hal itu. Ia harus fokus pada uang, dan Ash akan memberikan uang padanya pada waktunya nanti.“Mae? Benar kau baik-baik saja? Atau memang ada yang membuatmu tersinggung”Ash akhirnya kembali menepi, mengulurkan tangan, ingin memeriksa kening Mae—memeriksa kemungkinan demam selain sakit hati.Tapi Mae menghindar sebelum tangan Ash menyentuhnya. Mae tahu apa akibat sentuhan itu. Rasanya menyenangkan tapi tidak boleh lagi. Rasa menyenangkan itu salah.“Jalan lagi. Aku baik-baik saja. Tidak ada yang membuatku sakit hati. Aku sudah berpengalaman menghadapi yang lebih kejam. Level mereka masih di bawah Evelyn dan teman-temannya.” Mae dengan sengaja menyebut Evelyn. Memikirkan anak tiri setan itu memang mudah sekali mengalihkan pikiran.Ash mengan
[EEW! Jijik! Aku tidak percaya dia benar-benar menikah! Lima puluh! Bayangkan itu!] [Lima puluh memang, tapi uang bisa memuaskan siapapun] [Apa yang akan dilakukannya dengan pria usia lima puluh?] [Kemungkinan malam ini dia sedang merayu agar bisa ‘berdiri’] Semua tulisan itu adalah ejekan yang berasal dari teman-teman sekolahnya. Mereka bahkan tidak peduli Mae masih ada di grup obrolan itu, menulis apapun yang ingin dikatakan, tidak menimbang apakah Mae akan tersinggung atau tidak. Tulisan bernada serupa seperti itu berderet-deret, saling bersahutan, kurang lebih ratusan. Mae memang ada disana sebagai pelengkap saja, tidak pernah bisa mengikuti bahan obrolan, karena dunia sekolah senior Mae hanya berisi kerja keras—bukan make up atau pemuda tampan. Kini mereka menganggap Mae tidak ada dan mudah saja mencela tanpa tahu apa yang membuat Mae menerima pernikahan itu. Mae mendesah saat melempar ponselnya ke atas ranjang, lalu membesit air matanya, memakai rok yang menjadi bagian gaun
“Ash—Oh?” Mae tadinya akan mengetuk kalau pintu kamar Ash terkunci, tapi dengan sedikit dorongan saja, pintu kamar itu terbuka. Maka Mae melangkah masuk. Ini kali pertama ia masuk ke sana. Rapi dan tertata, kecuali ranjang, karena Ash rupanya belum bangun, masih berbaring dengan selimut berantakan di sekitarnya. Ini juga hari istimewa, dimana Mae bisa bangun lebih pagi daripada Ash. Tapi memang ini hari liburnya, Ash akan bangun lebih siang—sesuai jadwal.“Wah!” Mata Mae langsung tertarik pada hal menonjol yang terlihat jelas—otot perutnya. Bagian bawah tubuh Ash masih tertutup selimut. Ash tidur dengan bertelanjang dada.Meski pemilik kamar itu masih tertidur—tidak bisa memberi izin—Mae mendekati objek yang menarik perhatian yaitu perut rata itu. Mae ingin melihatnya dari dekat Ini juga termasuk bagian pengalaman pertama yang banyak dialaminya setelah bersama Ash. Melihat perut pria yang benar-benar rata dan kekar dari jarak dekat—secara langsung. Tidak ada lemak menggelambir, keru
“Ini sangat amat banyak, Mae. Kau yakin akan membeli semua?” Ash menatap tumpukan kotak berisi strawberry yang akan dibeli Mae. Bukan merasa keberatan membawa, tapi Ash tidak bisa membayangkan Mae membuat apa dengan strawberry sebanyak itu. Paling tidak ada tujuh kotak di sana, dan masing-masing mungkin berisi seratus lebih strawberry berukuran sedang. “Yakin. Aku akan membuat selai strawberry. Mungkin beberapa yang cantik akan aku pakai sebagai hiasan,” kata Mae sambil menyerahkan kartu kredit Ash kepada penjual strawberry yang tentu saja tersenyum amat lebar. Mae pembeli terbesarnya hari ini. “Bukankah rencananya kau hanya akan membuat cookies lemon dan brownies almond? Tidak ada yang mengandung selai strawberry.” Ash mengangkat kotak itu dan mengikuti Mae berjalan menyusuri area pasar segar produk pertanian itu. Cukup luas, dan letaknya tidak jauh dari rumah Ash, karena memang Reading juga termasuk daerah pedesaan. Hanya perlu sekitar 30 menit menyetir dan mereka sudah sampai.
“Jangan, jarimu akan…” Peringatan Mae terlambat tapi, jari Ash sudah saling menempel. Lem yang seharusnya menempelkan manik mutiara warna pink ke atas kotak, justru menyatukan jari telunjuk dan jempol Ash. “Sekali lagi.” Ash tidak menyerah. Ia menuangkan acetone pada jari yang menempel itu dan menggosoknya sampai terlepas. Mudah saja mengatasinya karena memang sudah beberapa kali hal itu terjadi. Sudah ada beberapa bekas lem di telunjuk Ash. Mae saja yang baru melihat. Mae tersenyum geli, dan sejenak kembali pada pekerjaannya mengaduk strawberry yang ada di atas kompor. Kandungan airnya masih banyak, perlu beberapa jam lagi sebelum benar-benar menjadi selai strawberry. Tapi tidak sampai lima menit, Mae kembali menatap kesibukan Ash. Peringatan yang diberikan oleh akal sehatnya tadi tidak terlalu mempan. Saat Ash ada di dapur, perhatian Mae dengan mudah kembali padanya. Mae belum menyerahkan pita yang harus dibentuk. Untuk tahap pertama, ia memberi tugas yang seharusnya lebih muda
“Anda tidak terlihat baik-baik saja.” Stone duduk di sampingnya dan menyapa, menyesuaikan dengan wajah Ash yang memang sedang mengernyit secara permanen. “Ya, ada beberapa hal yang harus aku pikirkan,” keluh Ash. Ia masih memikirkan apa kesalahannya pada Mae.“Apa karena itu anda menghubungi saya lagi?” Stone tersenyum sambil menerima kopi pesanannya.“Bukan… itu.” Ash tersendat saat menghirup aroma kopi itu—menelan ludah.“Saya harap apapun alasan anda berhenti minum kopi cukup berharga, karena sepertinya Anda benar-benar menginginkan ini.” Stone tersenyum melihat pandangan mata Ash.“Sangat berharga.” Ash mendesah, lalu menggeleng. Bukan saatnya membahas kopi.“Aku ingin meminta bantuan lagi padamu. Aku harap kau tidak keberatan,” kata Ash.“Saya sudah menduga itu. Apa ada teman Anda lagi yang terkena perkara?” Stone menebak.“Bukan, aku ingin bertanya saja sebenarnya.” Ash sudah menyusun kalimat yang sekiranya tidak membuat curiga, tapi sulit menjelaskan sesuatu yang dasarnya tida
Ash menggeleng—mundur. Ayahnya bisa sangat nekat. Sebelum yakin Mae aman, Ash tidak akan membuat ayahnya waspada. Ia tidak mau melakukan kesalahan bodoh yang sama seperti sepuluh tahun lalu. Sudah cukup buruk apa yang dilakukan ayahnya pada Mae—membuatnya jatuh ke titik terendah. Ash tidak mau ada celah lagi yang memungkinkan ayahnya untuk tahu.“Aku hanya ingin kau memberi kemungkinan kenapa ada hal seperti ini. Aku tidak yakin ini perkara kriminal sampai penipuan. Mungkin sebenarnya kesalahpahaman, bukan hal berat,” kata Ash.Ia juga tidak mau melempar batu pada permukaan air yang tenang, dan saat ini sebenarnya keadaan tenang. Bahkan Mae pun tenang. Meski kenyataan kalau Daisy adiknya atau bukan, Mae sedang baik-baik saja. Ia tidak ingin masalah itu membuat keributan yang merusak kehidupan Mae lagi.Stone kembali menghela napas. “Saya akan memberi nasehat secara umum kalau begitu.” Stone sekali lagi tidak akan memaksa.“Sebagai polisi dan penyidik, saya menyarankan Anda untuk menc
Tapi Mae masih mengampuni. Ia tidak memperpanjang penjelasan, karena Gina. Ia tidak butuh masalah saat sudah sangat sibuk seperti sekarang. Mae akan menyingkirkan dendamnya sementara ini, demi Gina yang sudah sangat baik padanya. “Kau seharusnya melapor padaku begitu selesai bersiap, jadi aku bisa memastikan di daftar.” Gina membubuhkan tanda pada kertas yang ada di clipboard bawaannya. Sebagai penanggung jawab, Gina tidak berjualan, tapi sibuknya kurang lebih sama dengan semua peserta. “Ah… Maaf, aku tidak tahu itu.” Mae memandang Harper, teguran lain. Harper tampak menghindari pandangan Mae. Adalah tugas Harper untuk memberitahu Mae tentang tata cara itu, dan tentu tidak disampaikan—dengan sengaja “Yang penting sudah selesai, dan kini aku ingin melihatnya!” Gina tidak mempermasalahkan lagi, dan dengan bersemangat melangkah menuju area stan Mae yang memang terpisah cukup jauh dengan yang lain. Mae peserta tambahan di akhir—dan baru. Tempat yang tersisa tidak lagi bisa bersama ya
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga