“Ini sangat amat banyak, Mae. Kau yakin akan membeli semua?” Ash menatap tumpukan kotak berisi strawberry yang akan dibeli Mae. Bukan merasa keberatan membawa, tapi Ash tidak bisa membayangkan Mae membuat apa dengan strawberry sebanyak itu. Paling tidak ada tujuh kotak di sana, dan masing-masing mungkin berisi seratus lebih strawberry berukuran sedang. “Yakin. Aku akan membuat selai strawberry. Mungkin beberapa yang cantik akan aku pakai sebagai hiasan,” kata Mae sambil menyerahkan kartu kredit Ash kepada penjual strawberry yang tentu saja tersenyum amat lebar. Mae pembeli terbesarnya hari ini. “Bukankah rencananya kau hanya akan membuat cookies lemon dan brownies almond? Tidak ada yang mengandung selai strawberry.” Ash mengangkat kotak itu dan mengikuti Mae berjalan menyusuri area pasar segar produk pertanian itu. Cukup luas, dan letaknya tidak jauh dari rumah Ash, karena memang Reading juga termasuk daerah pedesaan. Hanya perlu sekitar 30 menit menyetir dan mereka sudah sampai.
“Jangan, jarimu akan…” Peringatan Mae terlambat tapi, jari Ash sudah saling menempel. Lem yang seharusnya menempelkan manik mutiara warna pink ke atas kotak, justru menyatukan jari telunjuk dan jempol Ash. “Sekali lagi.” Ash tidak menyerah. Ia menuangkan acetone pada jari yang menempel itu dan menggosoknya sampai terlepas. Mudah saja mengatasinya karena memang sudah beberapa kali hal itu terjadi. Sudah ada beberapa bekas lem di telunjuk Ash. Mae saja yang baru melihat. Mae tersenyum geli, dan sejenak kembali pada pekerjaannya mengaduk strawberry yang ada di atas kompor. Kandungan airnya masih banyak, perlu beberapa jam lagi sebelum benar-benar menjadi selai strawberry. Tapi tidak sampai lima menit, Mae kembali menatap kesibukan Ash. Peringatan yang diberikan oleh akal sehatnya tadi tidak terlalu mempan. Saat Ash ada di dapur, perhatian Mae dengan mudah kembali padanya. Mae belum menyerahkan pita yang harus dibentuk. Untuk tahap pertama, ia memberi tugas yang seharusnya lebih muda
“Anda tidak terlihat baik-baik saja.” Stone duduk di sampingnya dan menyapa, menyesuaikan dengan wajah Ash yang memang sedang mengernyit secara permanen. “Ya, ada beberapa hal yang harus aku pikirkan,” keluh Ash. Ia masih memikirkan apa kesalahannya pada Mae.“Apa karena itu anda menghubungi saya lagi?” Stone tersenyum sambil menerima kopi pesanannya.“Bukan… itu.” Ash tersendat saat menghirup aroma kopi itu—menelan ludah.“Saya harap apapun alasan anda berhenti minum kopi cukup berharga, karena sepertinya Anda benar-benar menginginkan ini.” Stone tersenyum melihat pandangan mata Ash.“Sangat berharga.” Ash mendesah, lalu menggeleng. Bukan saatnya membahas kopi.“Aku ingin meminta bantuan lagi padamu. Aku harap kau tidak keberatan,” kata Ash.“Saya sudah menduga itu. Apa ada teman Anda lagi yang terkena perkara?” Stone menebak.“Bukan, aku ingin bertanya saja sebenarnya.” Ash sudah menyusun kalimat yang sekiranya tidak membuat curiga, tapi sulit menjelaskan sesuatu yang dasarnya tida
Ash menggeleng—mundur. Ayahnya bisa sangat nekat. Sebelum yakin Mae aman, Ash tidak akan membuat ayahnya waspada. Ia tidak mau melakukan kesalahan bodoh yang sama seperti sepuluh tahun lalu. Sudah cukup buruk apa yang dilakukan ayahnya pada Mae—membuatnya jatuh ke titik terendah. Ash tidak mau ada celah lagi yang memungkinkan ayahnya untuk tahu.“Aku hanya ingin kau memberi kemungkinan kenapa ada hal seperti ini. Aku tidak yakin ini perkara kriminal sampai penipuan. Mungkin sebenarnya kesalahpahaman, bukan hal berat,” kata Ash.Ia juga tidak mau melempar batu pada permukaan air yang tenang, dan saat ini sebenarnya keadaan tenang. Bahkan Mae pun tenang. Meski kenyataan kalau Daisy adiknya atau bukan, Mae sedang baik-baik saja. Ia tidak ingin masalah itu membuat keributan yang merusak kehidupan Mae lagi.Stone kembali menghela napas. “Saya akan memberi nasehat secara umum kalau begitu.” Stone sekali lagi tidak akan memaksa.“Sebagai polisi dan penyidik, saya menyarankan Anda untuk menc
Tapi Mae masih mengampuni. Ia tidak memperpanjang penjelasan, karena Gina. Ia tidak butuh masalah saat sudah sangat sibuk seperti sekarang. Mae akan menyingkirkan dendamnya sementara ini, demi Gina yang sudah sangat baik padanya. “Kau seharusnya melapor padaku begitu selesai bersiap, jadi aku bisa memastikan di daftar.” Gina membubuhkan tanda pada kertas yang ada di clipboard bawaannya. Sebagai penanggung jawab, Gina tidak berjualan, tapi sibuknya kurang lebih sama dengan semua peserta. “Ah… Maaf, aku tidak tahu itu.” Mae memandang Harper, teguran lain. Harper tampak menghindari pandangan Mae. Adalah tugas Harper untuk memberitahu Mae tentang tata cara itu, dan tentu tidak disampaikan—dengan sengaja “Yang penting sudah selesai, dan kini aku ingin melihatnya!” Gina tidak mempermasalahkan lagi, dan dengan bersemangat melangkah menuju area stan Mae yang memang terpisah cukup jauh dengan yang lain. Mae peserta tambahan di akhir—dan baru. Tempat yang tersisa tidak lagi bisa bersama ya
Tapi memang Mae tidak tahu—tidak cukup peduli untuk tahu tentang kalangan itu. Tidak berefek apapun pada kehidupannya. “Stan ini paling cantik, jadi aku akan memamerkan padanya.” Gina bertepuk tangan kecil dengan antusias, sekali lagi menatap semua item yang dipasang Mae disana. “Ada perdana menteri?” tanya Mae, yang sudah ada di samping Gina—meninggalkan Harper yang semakin terpukul. Keputusan Gina mengajak orang penting ke stan Mae—bukan stan kue miliknya, tentu bukan hanya menampar, tapi seolah mencolok matanya. “Istrinya saja. Tamu istimewa hari ini. Aku selalu mengirim undangan, tapi tidak selalu bisa datang setiap tahun. Tahun ini aku rasa ia khusus menyediakan waktu, karena masa kampanye. Dia tentu ikut mengumpulkan dukungan untuk partai suaminya.” “Luar biasa.” Mae sama sekali tidak peduli siapa, tidak penting untuk kehidupannya, tapi berpura-pura antusias mengikuti Gina. “Memang. Suami Lady Rowena Cooper ini—Dean Copper, partai yang dipimpinnya—menang dua kali berturut-t
“Apa kau menjual kue yang lain, atau bagaimana? Kenapa ini berbeda dengan sampel yang ada di sana!” Pembeli menunjuk meja sample. Harper yang sedang memberi kembalian pada pembeli lain, menghampiri ibu dan seorang anak yang menangis. “Maaf, tapi apa maksud Anda?” Harper bingung saat melihat muffin coklat yang ada di tangan anak itu—yang menjadi sumber protes. “Kami tadi mencicipi muffin yang ada di bagian sample, dan anakku menyukainya. Aku membeli 4, tapi setelah dimakan rasanya berbeda sekali. Sekarang anakku menangis karena tidak menemukan selai strawberrynya di dalamnya!” Wanita itu benar-benar kesal karena anaknya memang tidak berhenti menangis. Harper mengenyit. “Maksud Anda apa? Saya tidak menjual muffin dengan selai strawberry.” Ia mempertahankan diri karena memang tidak merasa membuat kue semacam itu. “Jadi maksudmu aku berbohong dan mengarang? Untuk apa juga?!” Pembeli itu tentu saja semakin kesal. “Saya tidak mengerti apa yang maksud Anda. Yang jelas saya tidak menjual
“Hush! Jangan seperti itu.” Poppy tergelak sambil mencubit kecil pipi Mae, lalu berjalan menuju kasir, sejenak menggantikan Mae agar antrian berkurang. Mae juga dengan sigap kembali membungkus pesanan yang tertunda, memang mereka harus melayani pembeli sebelum ada yang marah. Tapi mata Mae sesekali melirik Poppy, tidak mengerti apa tujuannya. Sikapnya berubah sama sekali dari yang kemarin. “Maaf, tapi sudah habis.” Mae menggeleng penuh penyesalan saat salah satu pembeli menginginkan selai strawberry homemade yang memang juga ikut menjadi barang dagangan, selain masuk ke dalam muffin. “Ah, padahal aku juga mau.” Poppy ikut mengeluh kecewa sementara menghampiri Mae. Tidak ada lagi antrian di depannya. Sudah lebih santai karena memang pajangan Mae hanya menyisakan beberapa. “Kau benar menginginkannya?” Mae bertanya curiga, sambil duduk—karena punggungnya mulai pegal. Meski dibantu Ash, tapi tetap Mae harus bekerja amat keras menyiapkan semua, apalagi ditambah menu memberi pelajaran pa