Tenang Mae, nyaris temen gitu, ga cuman musuh :))
“Hush! Jangan seperti itu.” Poppy tergelak sambil mencubit kecil pipi Mae, lalu berjalan menuju kasir, sejenak menggantikan Mae agar antrian berkurang. Mae juga dengan sigap kembali membungkus pesanan yang tertunda, memang mereka harus melayani pembeli sebelum ada yang marah. Tapi mata Mae sesekali melirik Poppy, tidak mengerti apa tujuannya. Sikapnya berubah sama sekali dari yang kemarin. “Maaf, tapi sudah habis.” Mae menggeleng penuh penyesalan saat salah satu pembeli menginginkan selai strawberry homemade yang memang juga ikut menjadi barang dagangan, selain masuk ke dalam muffin. “Ah, padahal aku juga mau.” Poppy ikut mengeluh kecewa sementara menghampiri Mae. Tidak ada lagi antrian di depannya. Sudah lebih santai karena memang pajangan Mae hanya menyisakan beberapa. “Kau benar menginginkannya?” Mae bertanya curiga, sambil duduk—karena punggungnya mulai pegal. Meski dibantu Ash, tapi tetap Mae harus bekerja amat keras menyiapkan semua, apalagi ditambah menu memberi pelajaran pa
Mae sedikit tersentak, saat merasakan injakan di kakinya. Poppy yang menginjak. Itu peringatan kalau seharusnya Mae tidak membantah setegas itu. Wajah Poppy tampak panik. Mae memaki dalam hati setelah itu, ia terlalu terburu nafsu dalam membantah sampai lupa siapa yang diajaknya bicara. Wanita yang menjadi istri orang yang paling berkuasa Inggris, selain Raja. “Benarkah? Ini menarik.” Rowena tertawa, dan ketegangan langsung sedikit mencair. Tapi semua masih memandang Mae. Kalau bisa, Mae juga ingin memandang dirinya sendiri terutama bagian otak, ingin menegur karena tidak bisa menahan diri dengan baik. “Aku mungkin harus sering-sering berkunjung ke acara seperti ini, ada banyak kejutan tidak terduga.” Rowena tidak menunjukkan kalau bantahan dari Mae tadi adalah masalah, tapi Mae tahu benar kalau bantahan itu adalah masalah, hanya Rowena menyimpannya agar tidak terjadi keributan. “Siapa namamu?” tanya Rowena. Itu bukti lain kalau bantahan Mae bermasalah. Ia tidak akan repot-repot b
“Aku kenapa?” Ash memandang sekitar, menyambar tisu terdekat yang ada di sebelah muffin tersisa, lalu menghapus air mata Mae dengan lebih baik. “Maafkan aku.” Ash meminta maaf otomatis, meski tidak tahu kenapa. Hanya rasanya harus seperti itu. Tapi tangisan Mae tidak berkurang, maka Ash menariknya ke balik meja kasir, memintanya duduk di sana. Ia lalu membalik tulisan buka—menjadi tutup. Beberapa pengunjung yang mendekat kecewa, tapi lirikan galak dari Ash cukup untuk memberi tahu kalau tulisan itu tidak akan berubah dalam waktu dekat. “Mae? Ada apa?” Ash berlutut dengan satu kaki di depan Mae, meraih kedua tangannya, memandang Mae yang terus terisak, sambil sesekali menghapus air matanya. “Aku tidak tahu. Aku tidak ingin menyakitimu, Mae. Tolong katakan ada apa, agar aku tidak melakukannya lagi. Please?” Mae menggeleng. “Mae, aku tidak akan tahu kalau…” “Bukan itu… Bukan salahmu.” Mae tidak akan segila itu dengan benar-benar menyalahkan Ash atas apapun yang ada dalam hatinya s
“Turun! Aku mau turun!” Amy mendorong tangan Hide yang ada di pinggangnya, sambil menghentakkan kaki. Keributan yang dibuatnya membuat Ash langsung berbelok ke area yang lebih sepi. Amy memang sangat mudah menarik perhatian, bukan hanya dari wajahnya yang imut, tapi juga suaranya yang melengking tinggi itu.Kalau tidak ada bodyguard yang mengikuti dengan santai, mungkin Ash sudah mendapat tudingan penculik karena suara teriakan Amy yang menghebohkan. Ash sudah terbiasa tapi, dan tetap menentengnya sampai ke sudut taman dekat pagar pembatas area festival.Ash baru menurunkannya di bawah pohon, setelah memastikan tempat itu cukup sepi. Tidak terlihat anak buahnya atau siapapun berpakaian seragam militer.“Kenapa kau membawaku ke sini?” Amy marah sambil mengibaskan rambutnya yang terkepang panjang. Hitam sempurna seperti Rowena.“Karena kau membuat keributan yang tidak perlu, Amy. Dan apa kau lupa? Aku sudah meminta padamu untuk berpura-pura tidak mengenal saat kita ada di luar rumah.”
“Maaf.” Mae menghaturkan satu potong muffin coklat strawberry—yang terakhir, begitu sampai di depan Gina. Kue yang lain sudah habis, dan Mae tadi menyelamatkan sisa satu itu untuk Gina memang. Mae tetap akan mengantar croissant lemon yang direncanakan untuk Gina nanti, tapi sebagai awal, ia harus membuat Gina tidak amat marah. Gina tampak menghela napas, wajahnya masam, tapi matanya melirik ke arah muffin yang ada di piring itu—mata menginginkan. Ia sudah mencicipi kue Mae yang lain, tapi muffin itu belum dan tentu penasaran. Gina mendesah. “Lady Rowena tidak bermaksud buruk, Mae.” Menegur tapi cukup lembut. “Aku tahu. Aku hanya terlalu sensitif mungkin.” Mae mengakui kesalahan dan nyaris tersenyum saat akhirnya Gina menerima kue itu dan menggigitnya dengan bersemangat. Poppy di sampingnya tampak mengedipkan sebelah mata untuk Mae. Bocoran cara yang disebut Poppy itu sangat manjur. “Apa ia menyebut hal lain tentangku tadi?” tanya Mae. Ia masih sedikit khawatir seumpama Rowena pen
“Jangan mencariku!” Ash mendesis, menjawab panggilan Ian dengan tidak menyenangkan. Sebelum meninggalkan area festival itu, Ash sudah berpamitan dan meminta Ian untuk tidak mengganggunya. “Apa kau tadi bertemu istri ayahmu? Aku dengar dia datang.” Ian menghubungi setelah mendengar tentang Rowena Cooper ternyata. “Bisakah kau tidak membahas itu? Aku malas. Ada hal lebih penting yang perlu aku pikirkan saat ini!” sergah Ash, tidak ingin fokusnya terganggu. “Kau lanjutkan saja apapun pekerjaanmu.” Ash mengakhiri panggilan itu dan kembali bersandar pada mobil Mae. Hari sudah mulai gelap dan mobil yang ada di parkiran itu juga sudah sangat jauh berkurang. Hanya ada beberapa yang tertinggal, cukup mudah bagi Ash untuk menemukannya tadi. Dan kini menunggu. Ash mengetuk kap mobil dengan telunjuk, menyalurkan kepanikan karena tidak bisa memprediksi hasil kejujuranya. Pilihannya hanya baik atau buruk. Tidak ada jalan tengah. “Oh.” Ash menegakkan tubuh dan berlari kecil saat melihat Mae kel
“Daddy!”Amy berseru karena saat membuka pintu mobil, ia melihat Dean juga turun dari mobil yang lain. Tanpa perjanjian, tapi mereka sampai di rumah pada saat bersamaan.Dean tersenyum dan mengulurkan tangan, menyambut, dan Amy menghambur dalam pelukannya.Untungnya tubuh Dean cukup tegap untuk ukuran pria berusia enam puluh lebih6, masih mampu menggendong Amy yang sebenarnya sudah tidak dalam usia yang pantas untuk bermanja seperti itu.“Daddy, aku bertemu Ash tadi.” Amy dengan ramai berseru, saat Dean menggendongnya sampai ke dalam rumah. “Ash? Dimana?” Dean berbalik, memandang Rowena yang ikut masuk. Tapi Rowena juga menggeleng bingung. “Aku tidak bertemu dengannya.” “Di festival, Mommy. Ash bekerja katanya. Aku tidak boleh lama bersamanya. Kau tidak lihat. Banyak yang memakai seragam.” Amy menjelaskan tidak berurutan, tapi kedua orang tuanya paham.“Aku hanya sebentar disana, dan Gina Parker orang yang sangat berniat untuk memuaskanku. Ia mengajakku berkeliling ke semua tempat.
“Mae?”Ash membuka pintu kamar Mae, kosong tapi. Tidak ada tanda berubah semenjak kepergian Mae tadi pagi. Ash beranjak membuka almari, kali ini lebih lega. Masih ada pakaian Mae di sana, ia tidak membawa semua benda miliknya. Menurut Ash masih lebih baik. Ash tidak berharap—dan tahu Mae tidak pulang ke Reading, barang itu membuatnya masih sedikit punya harapan. Setidaknya ada bagian Mae yang tertinggal.Ash duduk dan bersandar pada pintu almari, lalu mengambil ponsel. Membuka aplikasi pelacak untuk melihat dimana Mae. Aplikasi yang dipasang diam-diam oleh Ash setelah kehilangan Mae kemarin—saat Mae ada di kantor polisi. Ash tidak mau kehilangan seperti itu lagi.Ash tahu apa yang dilakukannya sedikit menyeramkan—setingkat penguntit—tapi Ash sudah menjaga agar penggunaannya tidak sampai sangat mengganggu Mae. Sejauh ini sangat berguna. Ash kemarin bisa menemukan alamat rumah Mae di Bakewell karena aplikasi itu. Suasana yang heboh membuat Mae lupa bertanya darimana Ash bisa mengetah
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga