Halooo... Untuk hari ini dan besok satu bab ya. Krn emang author sbenernya ada acara, ga bisa nulis sama sekali 😆 cuma krn ga boleh libur ya akhirnya satu2 aja sampai besok. Nanti senin normal lagi. Terima kasih pengertiannya. Lope u pull :))
“Jangan mencariku!” Ash mendesis, menjawab panggilan Ian dengan tidak menyenangkan. Sebelum meninggalkan area festival itu, Ash sudah berpamitan dan meminta Ian untuk tidak mengganggunya. “Apa kau tadi bertemu istri ayahmu? Aku dengar dia datang.” Ian menghubungi setelah mendengar tentang Rowena Cooper ternyata. “Bisakah kau tidak membahas itu? Aku malas. Ada hal lebih penting yang perlu aku pikirkan saat ini!” sergah Ash, tidak ingin fokusnya terganggu. “Kau lanjutkan saja apapun pekerjaanmu.” Ash mengakhiri panggilan itu dan kembali bersandar pada mobil Mae. Hari sudah mulai gelap dan mobil yang ada di parkiran itu juga sudah sangat jauh berkurang. Hanya ada beberapa yang tertinggal, cukup mudah bagi Ash untuk menemukannya tadi. Dan kini menunggu. Ash mengetuk kap mobil dengan telunjuk, menyalurkan kepanikan karena tidak bisa memprediksi hasil kejujuranya. Pilihannya hanya baik atau buruk. Tidak ada jalan tengah. “Oh.” Ash menegakkan tubuh dan berlari kecil saat melihat Mae kel
“Daddy!”Amy berseru karena saat membuka pintu mobil, ia melihat Dean juga turun dari mobil yang lain. Tanpa perjanjian, tapi mereka sampai di rumah pada saat bersamaan.Dean tersenyum dan mengulurkan tangan, menyambut, dan Amy menghambur dalam pelukannya.Untungnya tubuh Dean cukup tegap untuk ukuran pria berusia enam puluh lebih6, masih mampu menggendong Amy yang sebenarnya sudah tidak dalam usia yang pantas untuk bermanja seperti itu.“Daddy, aku bertemu Ash tadi.” Amy dengan ramai berseru, saat Dean menggendongnya sampai ke dalam rumah. “Ash? Dimana?” Dean berbalik, memandang Rowena yang ikut masuk. Tapi Rowena juga menggeleng bingung. “Aku tidak bertemu dengannya.” “Di festival, Mommy. Ash bekerja katanya. Aku tidak boleh lama bersamanya. Kau tidak lihat. Banyak yang memakai seragam.” Amy menjelaskan tidak berurutan, tapi kedua orang tuanya paham.“Aku hanya sebentar disana, dan Gina Parker orang yang sangat berniat untuk memuaskanku. Ia mengajakku berkeliling ke semua tempat.
“Mae?”Ash membuka pintu kamar Mae, kosong tapi. Tidak ada tanda berubah semenjak kepergian Mae tadi pagi. Ash beranjak membuka almari, kali ini lebih lega. Masih ada pakaian Mae di sana, ia tidak membawa semua benda miliknya. Menurut Ash masih lebih baik. Ash tidak berharap—dan tahu Mae tidak pulang ke Reading, barang itu membuatnya masih sedikit punya harapan. Setidaknya ada bagian Mae yang tertinggal.Ash duduk dan bersandar pada pintu almari, lalu mengambil ponsel. Membuka aplikasi pelacak untuk melihat dimana Mae. Aplikasi yang dipasang diam-diam oleh Ash setelah kehilangan Mae kemarin—saat Mae ada di kantor polisi. Ash tidak mau kehilangan seperti itu lagi.Ash tahu apa yang dilakukannya sedikit menyeramkan—setingkat penguntit—tapi Ash sudah menjaga agar penggunaannya tidak sampai sangat mengganggu Mae. Sejauh ini sangat berguna. Ash kemarin bisa menemukan alamat rumah Mae di Bakewell karena aplikasi itu. Suasana yang heboh membuat Mae lupa bertanya darimana Ash bisa mengetah
“What the… Aku kira kau bercanda tadi.” Ian menggeleng tidak percaya, sambil mengangkat tubuh Ash yang terpuruk di dekat meja. Mabuk. “Aku juga tidak, sampai temanku menunjuk tadi.” Ella menjelaskan, sambil menatap Ash yang benar-benar terkulai tidak sadar. Bahkan saat Ian memapah—separuh menyeret, Ash masih tidak sadar. “Apa dia datang ke sini sendiri?” tanya Ian, pada Ella yang mengikutinya. Ella yang memberi info keberadaan bar yang tidak jauh dari base mereka, Ian berharap ia punya info lebih. Tapi Ella menggeleng. “Aku melihatnya sudah setengah sadar, baru kemudian menghubungimu setelah pingsan. Aku mencoba mengajak…”“Sudah benar kau menghubungiku.” Ian memotong, tidak ingin memberi ide lebih pada Ella. “Aku hanya ingin membantu.” Ella mengernyit, sedikit tersinggung karena Ian terdengar kejam. “Aku tahu, tapi kalau niatmu tidak murni lebih baik jangan. Ash—off limit. Itu saja yang bisa aku ceritakan. Ia tidak akan membalas perasaanmu.” Ian sebenarnya bukan bersikap kurang
“What the…”Mae mengernyit. Ia bangun cukup siang, dan tentu tercengang mendapati ada dua puluh empat pesan dari Ash di ponselnya, dan semua foto.“Apa…” Mae takjub saat melihat berbagai pose ajaib dari Ash yang terkirim.“Apa ini ancaman?” Mae sekarang bingung membaca pesan—yang memang terdengar seperti separuh ancaman dan permohonan dengan kalimat berlebihan.Sudah terlalu aneh. Setelah berhari-hari Ash tidak bersuara—atau mengirim pesan, tiba-tiba membombardir dirinya dengan pesan antik yang membingungkan. Bukannya berusaha menjelaskan.“Apa… Pfft!” Mae menutup mulut. Menahan tawa, karena baru saja sampai pada foto Ash dengan jari telunjuk menancap di lubang hidung. Seperti orang yang sedang mencari kotoran hidung. Itu sudah melebihi keanehan, sampai Mae sedikit lupa kalau ia tidak seharusnya tertawa melihat Ash.Untungnya Mae cepat ingat dan langsung memajang wajah datar sambil mendecak, tapi beberapa detik kemudian kembali harus terkikik geli, karena tiba-tiba harus melihat Ash y
“Kemana? Ada apa?” Ian kebingungan melihat temannya bergegas keluar dari barak, memakai baju yang dipakai untuk berlatih bela diri tangan kosong—bukan seragam lengkap. Hari ini bukan jadwal mereka untuk latihan bela diri. “Mayor Cooper meminta kita berkumpul di sana, latihan khusus. Cepatlah! Wajahnya menyeramkan!” Keterangan yang membuat Ian mengumpat, tapi dengan bergegas membuka pakaian. Firasatnya buruk. Tapi tidak punya waktu untuk menimbang, kalau ia terlambat berkumpul, sudah pasti akan mendapat hukuman juga. Ian berlari bersama yang lain dan mendapat barisan paling belakang, Ash sudah menunggu—berdiri di atas matras tipis berwarna kehijauan—dan memandang mereka semua dengan wajah datar. “Pagi.” Ash menyapa, terdengar ramah, tapi tidak ada yang tertipu lagi. Semakin ramah sapaan Ash, biasanya semakin keji latihan yang mereka lakukan. “Hari ini, aku akan mengadakan latih tanding. Sudah lama kita tidak melakukannya. Bagaimana? Usulanku bagus bukan?” “Bagus, Sir.” Jawaban t
Mae mengikat rambut, lalu memandang semua peralatan membuat kue yang sudah dikeluarkannya. Mae akhirnya bergerak, dan berniat keluar dari kamarnya khusus untuk melakukan sesuatu. Sebelumnya, ia hanya bergerak saat membutuhkan toilet. Makan saja beberapa kali Daisy yang mengantarnya ke kamar. Hal yang akhirnya membuat Mae bergerak sendiri untuk mengambil makan. Ia tidak ingin membuat Daisy repot mengantar setiap kalinya. Bujukan mama Carol yang menyuruhnya makan tidak berhasil, tapi Daisy yang maju bisa membuat Mae bergerak. Mae akan membuat kue tentu. Memilih kegiatan yang paling disukainya untuk meningkatkan moodnya. “Oke, kita mulai.” Mae meraih telur dan mulai memecahkannya satu persatu. Mae tidak akan membuat sesuatu yang rumit, Karena peralatan membuat kue di rumah itu terbatas. Mae jarang membuat kue di sana—lebih sering membuatnya diluar dan membawanya pulang seperti oleh-oleh. Mae akan kembali ke Reading besok—karena sudah terlalu sore saat ini—sebelum Ash tiba-tiba me
Dex melihat cukup jelas, tapi tentu berpura-pura tidak melihat dan melanjutkan penjelasannya sepanjang mungkin. “Dan bukan hanya ayahku. Ada beberapa pria tua yang terjerat olehnya. Aku kurang tahu siapa saja, tapi banyak penduduk Bakewell yang tahu. Ia sangat terkenal di kota ini—dengan alasan yang salah tentu. Ia lebih terkenal sebagai pelacur.” Dex bahkan tidak memilih kata yang lebih halus, menyebut jelas untuk efek yang maksimal. “Aku… aku tidak tahu.” Daisy terbata. Ia tidak mencoba berpura-pura tidak mengenal Mae. Daisy sedang heran karena sama sekali tidak pernah mendengar hal ini. Tapi memang tidak mungkin mendengar karena Daisy hanya menghabiskan waktu di rumah dengan buku dan Mama Carol. Ia tidak punya teman maupun pergaulan. Daisy tidak akan tahu seperti apa Mae di luar rumah. “Benarkah? Wah, kau banyak ketinggalan berita.” Dex masih berpura-pura tidak melihat pukulan yang diterima Daisy, dan meneruskan. “Semua di lingkungan kami tahu siapa Mae. Dia akan langsung menca