Apalah gunanya teman, kalau tidak untuk menistakan ya Ian :))
“What the…”Mae mengernyit. Ia bangun cukup siang, dan tentu tercengang mendapati ada dua puluh empat pesan dari Ash di ponselnya, dan semua foto.“Apa…” Mae takjub saat melihat berbagai pose ajaib dari Ash yang terkirim.“Apa ini ancaman?” Mae sekarang bingung membaca pesan—yang memang terdengar seperti separuh ancaman dan permohonan dengan kalimat berlebihan.Sudah terlalu aneh. Setelah berhari-hari Ash tidak bersuara—atau mengirim pesan, tiba-tiba membombardir dirinya dengan pesan antik yang membingungkan. Bukannya berusaha menjelaskan.“Apa… Pfft!” Mae menutup mulut. Menahan tawa, karena baru saja sampai pada foto Ash dengan jari telunjuk menancap di lubang hidung. Seperti orang yang sedang mencari kotoran hidung. Itu sudah melebihi keanehan, sampai Mae sedikit lupa kalau ia tidak seharusnya tertawa melihat Ash.Untungnya Mae cepat ingat dan langsung memajang wajah datar sambil mendecak, tapi beberapa detik kemudian kembali harus terkikik geli, karena tiba-tiba harus melihat Ash y
“Kemana? Ada apa?” Ian kebingungan melihat temannya bergegas keluar dari barak, memakai baju yang dipakai untuk berlatih bela diri tangan kosong—bukan seragam lengkap. Hari ini bukan jadwal mereka untuk latihan bela diri. “Mayor Cooper meminta kita berkumpul di sana, latihan khusus. Cepatlah! Wajahnya menyeramkan!” Keterangan yang membuat Ian mengumpat, tapi dengan bergegas membuka pakaian. Firasatnya buruk. Tapi tidak punya waktu untuk menimbang, kalau ia terlambat berkumpul, sudah pasti akan mendapat hukuman juga. Ian berlari bersama yang lain dan mendapat barisan paling belakang, Ash sudah menunggu—berdiri di atas matras tipis berwarna kehijauan—dan memandang mereka semua dengan wajah datar. “Pagi.” Ash menyapa, terdengar ramah, tapi tidak ada yang tertipu lagi. Semakin ramah sapaan Ash, biasanya semakin keji latihan yang mereka lakukan. “Hari ini, aku akan mengadakan latih tanding. Sudah lama kita tidak melakukannya. Bagaimana? Usulanku bagus bukan?” “Bagus, Sir.” Jawaban t
Mae mengikat rambut, lalu memandang semua peralatan membuat kue yang sudah dikeluarkannya. Mae akhirnya bergerak, dan berniat keluar dari kamarnya khusus untuk melakukan sesuatu. Sebelumnya, ia hanya bergerak saat membutuhkan toilet. Makan saja beberapa kali Daisy yang mengantarnya ke kamar. Hal yang akhirnya membuat Mae bergerak sendiri untuk mengambil makan. Ia tidak ingin membuat Daisy repot mengantar setiap kalinya. Bujukan mama Carol yang menyuruhnya makan tidak berhasil, tapi Daisy yang maju bisa membuat Mae bergerak. Mae akan membuat kue tentu. Memilih kegiatan yang paling disukainya untuk meningkatkan moodnya. “Oke, kita mulai.” Mae meraih telur dan mulai memecahkannya satu persatu. Mae tidak akan membuat sesuatu yang rumit, Karena peralatan membuat kue di rumah itu terbatas. Mae jarang membuat kue di sana—lebih sering membuatnya diluar dan membawanya pulang seperti oleh-oleh. Mae akan kembali ke Reading besok—karena sudah terlalu sore saat ini—sebelum Ash tiba-tiba me
Dex melihat cukup jelas, tapi tentu berpura-pura tidak melihat dan melanjutkan penjelasannya sepanjang mungkin. “Dan bukan hanya ayahku. Ada beberapa pria tua yang terjerat olehnya. Aku kurang tahu siapa saja, tapi banyak penduduk Bakewell yang tahu. Ia sangat terkenal di kota ini—dengan alasan yang salah tentu. Ia lebih terkenal sebagai pelacur.” Dex bahkan tidak memilih kata yang lebih halus, menyebut jelas untuk efek yang maksimal. “Aku… aku tidak tahu.” Daisy terbata. Ia tidak mencoba berpura-pura tidak mengenal Mae. Daisy sedang heran karena sama sekali tidak pernah mendengar hal ini. Tapi memang tidak mungkin mendengar karena Daisy hanya menghabiskan waktu di rumah dengan buku dan Mama Carol. Ia tidak punya teman maupun pergaulan. Daisy tidak akan tahu seperti apa Mae di luar rumah. “Benarkah? Wah, kau banyak ketinggalan berita.” Dex masih berpura-pura tidak melihat pukulan yang diterima Daisy, dan meneruskan. “Semua di lingkungan kami tahu siapa Mae. Dia akan langsung menca
“Hei! Kau tak punya mata?!” Celaan kasar terdengar dari sopir taksi yang terpaksa membanting stir. Menghindari Mae yang mendadak oleng ke arah jalan. Mae punya mata, tapi tidak dipakai memang. Mata Mae terbuka tapi tidak berfungsi—menatap kosong. Ia berjalan sejak tadi, tapi tidak mencari tujuan memakai mata. Mae hanya melangkah bebas, tidak tahu kanan atau kiri, apalagi utara selatan. Mae ingin menjauh dari suara Daisy Ingin bebas dari hinaan yang menyakitinya. Mae tidak tahu sudah berapa lama telah berjalan, atau seberapa jauh. Ia akan berhenti saat suara Daisy tidak terdengar lagi. “Hei! Apa kau mabuk?” Mae melewati pintu bar ramai. Beberapa pria yang keluar dari sana, melihatnya berjalan tanpa jiwa. Kurang lebih mirip seperti orang mabuk, terutama melihat tas yang terseret dan kakinya yang tanpa sepatu. Kaus kakinya sudah sangat kotor dan hitam. Mae beberapa kali melewati kubangan tanpa peduli basah atau lumpur. “Sepertinya iya.” Ada tiga orang yang menatap Mae, dan sekarang
Ash menekan ikon ponsel merah untuk memutuskan panggilan sambil mengeluh, karena Mae tidak menjawab. Ia berulang kali mencoba menghubungi Mae, tapi tidak ada yang terjawab.Kalau alasannya hanya marah yang kemarin, Ash masih bisa paham, tapi Ash yakin alasannya lebih dari itu. Pergerakan Mae sangat aneh selama beberapa jam terakhir, dan semakin membingungkan. Kecepatan rendah—tidak memakai mobil, dan arahnya random. Sama sekali tidak terlihat normal. Karena itu Ash berusaha menghubungi—terutama setelah melihat titik Mae keluar dari area rumah sakit. “Mae?!” Ash berseru memanggil, berharap mendapat jawaban. Ash sudah sejak tadi memarkir mobil dan memilih berjalan, karena jalan yang dilalui Mae memang tidak bisa diprediksi. Kadang hanya gang yang tidak bisa dilalui mobil.Menurut titik, seharusnya Mae ada di sekitar situ, tapi gang dan jalan berkelok yang asing membuat Ash beberapa kali salah berbelok dan tidak menemukannya.Atau ia salah membayangkan keadaan Mae. Ash membayangkan Mae
Mae ingat ia masih menangis di mobil, tapi yang berikutnya kabur. Kini ia mendapati tubuhnya berayun, tapi hangat. Pasti bukan lagi di mobil. Mae tidak ingin membuka mata tapi tidak mau kenyamanan itu terputus. Dan Mae mengerang memprotes, saat kehangatan yang sejak tadi melingkupinya, mendadak hilang. “Mae? Kau bangun?” Bisikan lembut yang akhirnya memaksa Mae membuka mata. Asing sekali—yang tidak asing hanya Ash yang tampak menunduk di atasnya, memandang dengan khawatir. “Tunggu sebentar.” Ash berlalu, sementara Mae mencoba untuk duduk. Ingin mengenali keadaan. Ia tadi berbaring, tapi bukan di atas ranjang kamarnya yang terbuat dari kayu dengan bentuk kuno. Seirama dengan barang lain di rumah tua Ash. Ranjang yang ditempatinya adalah ukuran king size lebar dengan pegas yang masih kuat. Memantul lembut saat Mae bergeser. Bed covernya juga bukan lagi hasil jahitan tangan—kemungkinan oleh nenek Ash—tapi jenis kain lembut yang tebal, mahal juga pasti. Mae masih tidak bisa meneba
Ash melepaskan tangan Mae dari pinggangnya dengan amat perlahan, agar tidak terbangun. Tentu saja Mae tertidur pulas setelah menangis sebanyak itu. Ash juga sebenarnya sudah nyaris tertidur, tapi pikiran tentang anak tiri setan itu membuatnya terjaga. Ada yang harus dilakukan.Ash turun dari ranjang, menjauh menuju teras kamarnya sambil membawa ponsel. Ada dua orang yang harus dihubungi, Ash memilih Stone.“Malam sekali. Apa ada kejadian buruk mendadak? Atau ada perkembangan antara A, B dan C?” Stone menjawab dengan suara beratnya yang biasa.“Tidak. ABC nanti dulu.” Ash melirik Mae. Ia tidak bisa melakukan apapun tentang keanehan itu saat ini. Beban Mae sudah cukup banyak.“Aku hanya ingin bertanya apakah penawaran yang kemarin masih berlaku? Tentang dokter forensik yang melakukan otopsi itu,” tanya Ash.“Oh? Apa Anda berubah pikiran?” Stone langsung terdengar girang.“Mungkin, aku harus bertanya dulu. Tapi penawaran itu masih ada bukan?” Ash ingin memastikan sebelum bicara lagi pada
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga