Ngebutttt Ash!
Ash menekan ikon ponsel merah untuk memutuskan panggilan sambil mengeluh, karena Mae tidak menjawab. Ia berulang kali mencoba menghubungi Mae, tapi tidak ada yang terjawab.Kalau alasannya hanya marah yang kemarin, Ash masih bisa paham, tapi Ash yakin alasannya lebih dari itu. Pergerakan Mae sangat aneh selama beberapa jam terakhir, dan semakin membingungkan. Kecepatan rendah—tidak memakai mobil, dan arahnya random. Sama sekali tidak terlihat normal. Karena itu Ash berusaha menghubungi—terutama setelah melihat titik Mae keluar dari area rumah sakit. “Mae?!” Ash berseru memanggil, berharap mendapat jawaban. Ash sudah sejak tadi memarkir mobil dan memilih berjalan, karena jalan yang dilalui Mae memang tidak bisa diprediksi. Kadang hanya gang yang tidak bisa dilalui mobil.Menurut titik, seharusnya Mae ada di sekitar situ, tapi gang dan jalan berkelok yang asing membuat Ash beberapa kali salah berbelok dan tidak menemukannya.Atau ia salah membayangkan keadaan Mae. Ash membayangkan Mae
Mae ingat ia masih menangis di mobil, tapi yang berikutnya kabur. Kini ia mendapati tubuhnya berayun, tapi hangat. Pasti bukan lagi di mobil. Mae tidak ingin membuka mata tapi tidak mau kenyamanan itu terputus. Dan Mae mengerang memprotes, saat kehangatan yang sejak tadi melingkupinya, mendadak hilang. “Mae? Kau bangun?” Bisikan lembut yang akhirnya memaksa Mae membuka mata. Asing sekali—yang tidak asing hanya Ash yang tampak menunduk di atasnya, memandang dengan khawatir. “Tunggu sebentar.” Ash berlalu, sementara Mae mencoba untuk duduk. Ingin mengenali keadaan. Ia tadi berbaring, tapi bukan di atas ranjang kamarnya yang terbuat dari kayu dengan bentuk kuno. Seirama dengan barang lain di rumah tua Ash. Ranjang yang ditempatinya adalah ukuran king size lebar dengan pegas yang masih kuat. Memantul lembut saat Mae bergeser. Bed covernya juga bukan lagi hasil jahitan tangan—kemungkinan oleh nenek Ash—tapi jenis kain lembut yang tebal, mahal juga pasti. Mae masih tidak bisa meneba
Ash melepaskan tangan Mae dari pinggangnya dengan amat perlahan, agar tidak terbangun. Tentu saja Mae tertidur pulas setelah menangis sebanyak itu. Ash juga sebenarnya sudah nyaris tertidur, tapi pikiran tentang anak tiri setan itu membuatnya terjaga. Ada yang harus dilakukan.Ash turun dari ranjang, menjauh menuju teras kamarnya sambil membawa ponsel. Ada dua orang yang harus dihubungi, Ash memilih Stone.“Malam sekali. Apa ada kejadian buruk mendadak? Atau ada perkembangan antara A, B dan C?” Stone menjawab dengan suara beratnya yang biasa.“Tidak. ABC nanti dulu.” Ash melirik Mae. Ia tidak bisa melakukan apapun tentang keanehan itu saat ini. Beban Mae sudah cukup banyak.“Aku hanya ingin bertanya apakah penawaran yang kemarin masih berlaku? Tentang dokter forensik yang melakukan otopsi itu,” tanya Ash.“Oh? Apa Anda berubah pikiran?” Stone langsung terdengar girang.“Mungkin, aku harus bertanya dulu. Tapi penawaran itu masih ada bukan?” Ash ingin memastikan sebelum bicara lagi pada
“Minggir!” “What… Hm?” Mae mengangkat kepala, kebingungan oleh perintah yang baru saja menembus otaknya. Mae mengusap matanya yang pedas—dan tentu masih berat dan bengkak—untuk mencari siapa yang baru saja memintanya minggir. Tapi tidak ada siapapun di depannya.Mae tidak ingat kapan dirinya tertidur, tapi ia belum berpindah dari kamar mewah di tempat asing itu. Tapi mungkin masa tinggalnya sudah berakhir, karena Mae mendengar dengan sangat jelas ada yang menyuruhnya menyingkir. “Melompat sekali lagi…” Mae berpaling, dan langsung menangkup bibirnya dengan tangan—menahan tawa, karena ternyata perintah itu berasal dari Ash yang mengigau. “Oh?” Mae menurunkan tangannya, saat lebih sadar oleh kenyataan kalau Ash tertidur di sampingnya. Pria itu benar-benar tidur, bahkan dengan tangan yang menumpang di pinggang Mae. Pria sopan yang biasa meminta izin untuk menyentuh, tiba-tiba berada di ranjang yang sama dengannya. “Ahh… Aku yang meminta.” Mae mendesah, teringat kalau tadi malam/pagi
[DUA PULUH TAHUN YANG LALU] “Aku ingin punya yang ini.” Mary menunjuk gambar rumah yang ada di buku cerita LIttle Bo Peep* yang dibacakan oleh Ash tadi. Ash yang hari ini ‘dipilih’ Mae untuk menemaninya sampai tertidur, termasuk membacakan cerita. Ash memilih LIttle Bo Peep karena pendek, tapi Mary tidak berhenti menyela dan cerita yang panjangnya tidak lebih dari sepuluh lembar itu menjadi berdurasi dua puluh menit lebih, dan belum memperlihatkan tanda selesai, karena Mary membahas satu demi satu halamannya dengan detail. “Rumah? Yang seperti ini?” Ash nyaris tertawa, karena Mae menunjuk gambar yang jauh dari fokus—gambar utamanya tentu gadis dan domba, sesuai kisah. Sedetail itu perhatiannya. “Ya, rumah ini sesak. Halamannya juga tidak luas. Aku ingin halaman luas, ada ayam dan domba. Yang lain bisa bermain bebas. Berlari!” Mary duduk dan dengan bersemangat menjelaskan rencananya. “Akan ada prosotan dan ayunan. Lalu kebun. Bo Peep tidak punya kebun, tapi aku akan punya!” Mae m
“Siapa itu?” Anak-anak ribut bertanya bersahutan saat melihat sosok asing menunggu mereka di depan rumah Mama Carol, begitu turun dari van.Pria itu amat tegap—gagah meski sudah sedikit beruban. Amat rapi memakai jas yang licin. Mobil yang ada di belakangnya juga mulus. Jelas kaya. Aroma uang seolah menguar dari tubuhnya. Ash memandang dengan penasaran juga. Membatin apakah kejutan yang dimaksud Mama Carol adalah pria itu. “Kau masuk saja dulu.” Mama Carol menepuk pelan bahu Ash, sambil maju dan tersenyum, menyapa pria tua. “Selamat sore. Perkenalkan, Dean Cooper.” Pria itu memperkenalkan diri dengan suara yang dalam.Ash masih memandangnya, dan sedikit terkejut saat fokus pria itu tiba-tiba beralih padanya. Ash mencoba bergerak, tapi mata itu mengikutinya.“Ayo, masuk!” Mary membuyarkan keanehan itu dengan menarik tangan Ash untuk masuk.Ash mengikuti, tidak lagi melihat keanehan bagaimana pria itu terus memandang punggungnya.***“Dia mau apa?” Ash bertanya lagi karena kurang bis
“Super…” Mae bergumam, dan perlahan matanya melebar. Ingatannya tidak amat baik, tapi memang masih ada yang tersisa.“Rick?” Mae menunjuk Ash, menebak pria pirang yang masih diingatnya.“Bukan!” desis Ash, kesal karena ingatan Mae malah tertuju pada pria pirang lain. Tapi memang Rick tinggal di sana lebih lama. Seingat Ash, Rick sudah tinggal di rumah Mama Carol hampir dua tahun saat dirinya datang. Mungkin ia lebih sering bermain Superman bersama Mae daripada Ash. Dan Rick masih tinggal saat Ash pergi bersama ayahnya.Dimengerti, tapi tidak urung Ash jengkel, karena Mae malah masih mengingat pria lain yang bukan dirinya. Ingatan Mae tentang Ash tidak amat kuat—berbeda dari Ash yang amat mengingat Mae. “Tunggu… Lalu apa maksudmu? Kenapa…” Mae meminta sejelas mungkin. Otaknya sedang malas berpikir.“Aku pernah tinggal di rumah penampungan milik Mama Carol. Bersamamu, Mary. Aku mengenalmu semenjak Mary. Kau masih lima saat itu,” kata Ash.Mae tentu saja m
[BEBERAPA BULAN SEBELUMNYA]“Berapa banyak yang kau minum sebenarnya?” keluh Ash, sambil menarik kaki Ian agar tetap di atas ranjang rumah sakit.“Lepaskan!” Ian menyentak kakinya sambil menunjuk Ash dengan galak. Jenis kemarahan yang tentu saja tidak berani ditunjukkan saat ia sedang amat sadar.Ian lalu berpaling—tidak peduli pada Ash yang sedang membayangkan hukuman apa yang akan diberikannya untuk Ian—dan merayu perawat yang kini mencoba untuk memiringkan kepala Ian, agar Dokter bisa meraih luka di sisi kiri pelipis dan membersihkannya. Luka yang membuat mereka ada di UGD saat ini.“Apa aku sudah mengatakan kalau matamu cantik? Aku suka warna abu-abu,” rayu Ian. Sambil berusaha meraih tangan perawat yang m
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga