Haloo Maaf terlambat. Biasa... Sudah Mulai sibuk :)) Sekalian pengumuman ya :)) Mulai besok sampai sabtu depan, Mae-Ash hanya bisa satu bab ya :)) Ga akan ada libur, tapi sehari hanya bisa satu, karena author harus mudik hehehe. Terima kasih atas pengertiannya. Selamat Berlibur :)))
[DUA PULUH TAHUN YANG LALU] “Aku ingin punya yang ini.” Mary menunjuk gambar rumah yang ada di buku cerita LIttle Bo Peep* yang dibacakan oleh Ash tadi. Ash yang hari ini ‘dipilih’ Mae untuk menemaninya sampai tertidur, termasuk membacakan cerita. Ash memilih LIttle Bo Peep karena pendek, tapi Mary tidak berhenti menyela dan cerita yang panjangnya tidak lebih dari sepuluh lembar itu menjadi berdurasi dua puluh menit lebih, dan belum memperlihatkan tanda selesai, karena Mary membahas satu demi satu halamannya dengan detail. “Rumah? Yang seperti ini?” Ash nyaris tertawa, karena Mae menunjuk gambar yang jauh dari fokus—gambar utamanya tentu gadis dan domba, sesuai kisah. Sedetail itu perhatiannya. “Ya, rumah ini sesak. Halamannya juga tidak luas. Aku ingin halaman luas, ada ayam dan domba. Yang lain bisa bermain bebas. Berlari!” Mary duduk dan dengan bersemangat menjelaskan rencananya. “Akan ada prosotan dan ayunan. Lalu kebun. Bo Peep tidak punya kebun, tapi aku akan punya!” Mae m
“Siapa itu?” Anak-anak ribut bertanya bersahutan saat melihat sosok asing menunggu mereka di depan rumah Mama Carol, begitu turun dari van.Pria itu amat tegap—gagah meski sudah sedikit beruban. Amat rapi memakai jas yang licin. Mobil yang ada di belakangnya juga mulus. Jelas kaya. Aroma uang seolah menguar dari tubuhnya. Ash memandang dengan penasaran juga. Membatin apakah kejutan yang dimaksud Mama Carol adalah pria itu. “Kau masuk saja dulu.” Mama Carol menepuk pelan bahu Ash, sambil maju dan tersenyum, menyapa pria tua. “Selamat sore. Perkenalkan, Dean Cooper.” Pria itu memperkenalkan diri dengan suara yang dalam.Ash masih memandangnya, dan sedikit terkejut saat fokus pria itu tiba-tiba beralih padanya. Ash mencoba bergerak, tapi mata itu mengikutinya.“Ayo, masuk!” Mary membuyarkan keanehan itu dengan menarik tangan Ash untuk masuk.Ash mengikuti, tidak lagi melihat keanehan bagaimana pria itu terus memandang punggungnya.***“Dia mau apa?” Ash bertanya lagi karena kurang bis
“Super…” Mae bergumam, dan perlahan matanya melebar. Ingatannya tidak amat baik, tapi memang masih ada yang tersisa.“Rick?” Mae menunjuk Ash, menebak pria pirang yang masih diingatnya.“Bukan!” desis Ash, kesal karena ingatan Mae malah tertuju pada pria pirang lain. Tapi memang Rick tinggal di sana lebih lama. Seingat Ash, Rick sudah tinggal di rumah Mama Carol hampir dua tahun saat dirinya datang. Mungkin ia lebih sering bermain Superman bersama Mae daripada Ash. Dan Rick masih tinggal saat Ash pergi bersama ayahnya.Dimengerti, tapi tidak urung Ash jengkel, karena Mae malah masih mengingat pria lain yang bukan dirinya. Ingatan Mae tentang Ash tidak amat kuat—berbeda dari Ash yang amat mengingat Mae. “Tunggu… Lalu apa maksudmu? Kenapa…” Mae meminta sejelas mungkin. Otaknya sedang malas berpikir.“Aku pernah tinggal di rumah penampungan milik Mama Carol. Bersamamu, Mary. Aku mengenalmu semenjak Mary. Kau masih lima saat itu,” kata Ash.Mae tentu saja m
[BEBERAPA BULAN SEBELUMNYA]“Berapa banyak yang kau minum sebenarnya?” keluh Ash, sambil menarik kaki Ian agar tetap di atas ranjang rumah sakit.“Lepaskan!” Ian menyentak kakinya sambil menunjuk Ash dengan galak. Jenis kemarahan yang tentu saja tidak berani ditunjukkan saat ia sedang amat sadar.Ian lalu berpaling—tidak peduli pada Ash yang sedang membayangkan hukuman apa yang akan diberikannya untuk Ian—dan merayu perawat yang kini mencoba untuk memiringkan kepala Ian, agar Dokter bisa meraih luka di sisi kiri pelipis dan membersihkannya. Luka yang membuat mereka ada di UGD saat ini.“Apa aku sudah mengatakan kalau matamu cantik? Aku suka warna abu-abu,” rayu Ian. Sambil berusaha meraih tangan perawat yang m
“Aku tidak mengerti kenapa dia diizinkan ada di sini. Evelyn terlalu baik.” Ash melirik wanita yang ada disampingnya, sejak tadi ribut menunjuk Mary yang sedang berdiri di samping peti mati.Ash tentu tidak setuju dengan komentar itu, tapi sudah belajar untuk diam mengamati. Ia sudah banyak mendapat kejutan semenjak datang ke rumah duka Barnet Jones itu, dan baru menyadari kalau Mary adalah istri dari Barnet yang berusia tujuh puluh.Setelah terkejut tentu Ash luar biasa heran, tapi tidak punya bayangan kenapa Mary melakukannya. Prasangka terbaik Ash, kemungkinan Barnet ini baik sekali dan Mary mencintainya.Ash berusaha mencari info dengan mendengarkan semua pembicaraan di sekitar, tapi lama kelamaan kesal karena semua bernada negatif. Ash memang terkejut, tapi tidak merasa mereka berhak menilai sejauh itu tentang orang lain. Ash tidak akan menilai sepihak tanpa tahu latar belakang maupun alasan.Tapi hal-hal yang dikatakan mereka tentang Mary, sudah cukup untuk membuat Ash ingin m
“Kau mungkin tidak ingat saat bertemu denganku, tapi aku sangat ingat, Mae.”Alasan Ash sangat mengingat Mae bukan hanya karena usianya yang sudah cukup untuk menyimpan memori yang lebih panjang tentu.“Aku bertemu denganmu saat tidak punya apapun. Saat tidak lagi peduli pada apapun, dan tidak menginginkan apapun,” kata Ash.“Kau tidak punya apapun? Tapi…Oh, kau belum tahu siapa ayahmu?” Mae mulai paham.Ash mengangguk. “Tapi bukan hanya tentang uang, aku saat itu kalah oleh sendiri dan sepi.”Meski tidak punya uang, tapi paling tidak Ash tidak sampai merasa kelaparan saat itu, tidak amat kenyang, tapi juga tidak sampai harus mengais sampah, karena kebutuhannya dipenuhi oleh rumah yang menampungnya. Hanya emosinya amat gersang. Lebih tandus dari gurun karena tidak sanggup mengikuti perubahan ekstrim setelah ibunya meninggal—apalagi sampai ada yang mencoba melecehkannya. Ash dulu hanya hidup berdua dengan ibunya, tapi tidak pernah merasa kurang—sampai tidak merasa perlu terlalu serin
Mae kemarin merasa seperti sampah, saat orang yang selama ini menjadi pusat dunia yang diketahuinya, tiba-tiba mencampakkan dirinya.Mae terhina, tapi yang lebih membuatnya tidak mampu mencerna apapun adalah kenyataan bagaimana Daisy tidak ingin menyentuhnya. Dari pada sebutan jijik, Mae lebih terluka saat Daisy mengusir dan tidak memperbolehkan untuk menyentuhnya.Tapi kini ada orang yang menghujaninya dengan kasih sayang, membanjirinya dengan cinta, meski tahu kemungkinan besar akan berakhir buruk. Ash memandang dengan lembut, memintanya untuk hidup, dan kini mengulurkan tangan untuk menghapus air matanya lagi.“Aku… tidak tahu…” isak Mae. Mulai merasa bersalah. Rasa yang kemarin meninggalkan pahit di lidahnya setiap kali Ash melakukan kebaikan untuknya, kini menjelma dengan lebih jelas menjadi rasa bersalah.Mae tidak tahu apakah ia bisa membalas apa yang diberikan Ash sementara keadaan dirinya seperti itu. Mae bahkan tidak yakin apakah sanggup untuk mencintai seperti Ash saat hati
“Mae? Aku harus mengambil seragam di dalam.” Ash mengetuk pintu kamar tempat Mae berada—kamarnya. Ia harus berangkat dan Mae sejak tadi belum keluar. “Mae?” Ash membuka pintu, dan akhirnya paham kenapa Mae tidak menjawab. Ia tertidur meringkuk di lantai. “Kenapa di situ?” Ash bergumam heran. Ia tidak heran Mae tertidur lagi, karena malamnya melelahkan, hanya pilihan tempatnya aneh. Ash menunduk—akan mengangkat Mae, tapi matanya melihat ponsel yang menyala di samping tangannya. Ada pesan masuk dari Mama Carol. [Aku tahu ini sulit, tapi jangan mengabaikan Daisy. Aku yakin ia akan menyesal. Kau harus ingat kalau Daisy hanya punya kau saja di dunia ini] Ash menghela napas saat membaca pesan itu sekilas, sebelum akhirnya layar ponsel Mae kembali padam. Kesal, tapi tidak bisa menyalahkan juga. Memang hanya Mae yang dipunyai Daisy, tapi pesan itu terdengar seperti pemaksaan. Memaksa Mae menyandang beban. “Ahh!” BUG! “Ugh!” Jeritan kaget, suara benturan, disusul keluhan, membuyarkan
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga