Mae kemarin merasa seperti sampah, saat orang yang selama ini menjadi pusat dunia yang diketahuinya, tiba-tiba mencampakkan dirinya.Mae terhina, tapi yang lebih membuatnya tidak mampu mencerna apapun adalah kenyataan bagaimana Daisy tidak ingin menyentuhnya. Dari pada sebutan jijik, Mae lebih terluka saat Daisy mengusir dan tidak memperbolehkan untuk menyentuhnya.Tapi kini ada orang yang menghujaninya dengan kasih sayang, membanjirinya dengan cinta, meski tahu kemungkinan besar akan berakhir buruk. Ash memandang dengan lembut, memintanya untuk hidup, dan kini mengulurkan tangan untuk menghapus air matanya lagi.“Aku… tidak tahu…” isak Mae. Mulai merasa bersalah. Rasa yang kemarin meninggalkan pahit di lidahnya setiap kali Ash melakukan kebaikan untuknya, kini menjelma dengan lebih jelas menjadi rasa bersalah.Mae tidak tahu apakah ia bisa membalas apa yang diberikan Ash sementara keadaan dirinya seperti itu. Mae bahkan tidak yakin apakah sanggup untuk mencintai seperti Ash saat hati
“Mae? Aku harus mengambil seragam di dalam.” Ash mengetuk pintu kamar tempat Mae berada—kamarnya. Ia harus berangkat dan Mae sejak tadi belum keluar. “Mae?” Ash membuka pintu, dan akhirnya paham kenapa Mae tidak menjawab. Ia tertidur meringkuk di lantai. “Kenapa di situ?” Ash bergumam heran. Ia tidak heran Mae tertidur lagi, karena malamnya melelahkan, hanya pilihan tempatnya aneh. Ash menunduk—akan mengangkat Mae, tapi matanya melihat ponsel yang menyala di samping tangannya. Ada pesan masuk dari Mama Carol. [Aku tahu ini sulit, tapi jangan mengabaikan Daisy. Aku yakin ia akan menyesal. Kau harus ingat kalau Daisy hanya punya kau saja di dunia ini] Ash menghela napas saat membaca pesan itu sekilas, sebelum akhirnya layar ponsel Mae kembali padam. Kesal, tapi tidak bisa menyalahkan juga. Memang hanya Mae yang dipunyai Daisy, tapi pesan itu terdengar seperti pemaksaan. Memaksa Mae menyandang beban. “Ahh!” BUG! “Ugh!” Jeritan kaget, suara benturan, disusul keluhan, membuyarkan
“Mae?”Mae berpaling, dan menatap sekitar butik dengan kebingungan. Tidak menyangka akan ada yang memanggil namanya di situ. Butuh beberapa saat baginya untuk menemukan siapa—dan yang ditemukannya langsung membuat Mae menyesal. Harper—tapi yang memanggilnya adalah Enola. Mereka ada di butik yang sama, dan tampak terkejut melihat Mae di sana.“Apa kau mengunjungi Ash… OH? Aku rasa iya.” Enola tersenyum sambil menatap apa yang dipakai Mae. Kemeja hitam bergaris yang ukurannya terlalu besar—yang jelas milik Ash.Mae membeli baju memakai apa yang bisa dipakai, dan tentu hanya kemeja Ash. Untuk celana, Mae masih bisa memakai miliknya. Tidak tampak amat kotor–tertutupi oleh panjang kemeja itu.Harper tentu juga bisa melihat kenyataan itu dan tampak mengerutkan hidung. Mae tidak bisa lebih geli lagi saat melihatnya. Nyaris tidak bisa menahan tawa. Mae menang tanpa berusaha.“Benar. Aku menemaninya.” Mae menegaskan.“Mmm… Aku bukan ingin ikut campur, tapi apa kalian tinggal bersama sekarang?
“Yang ini segera kau urus. Aku rasa mudah. Hanya sekitar seminggu.” Parker menyerahkan berkas pada Ash.“Untuk yang satu lagi, nanti saja. Kalau keadaannya tidak memburuk, tugas itu akan batal. Mereka tidak akan membutuhkan pasukan tambahan. Tapi bersiap saja, karena ini penugasan besar.” Parker menunjuk map lain yang tadi mereka bicarakan panjang lebar.“Mengerti, Sir.” Ash menghormat lalu menerima semua berkas.“Aku rasa itu saja yang perlu aku bicarakan secara resmi, tapi ada titipan pesan lain untukmu.” Parker tersenyum, dan Ash langsung tidak ingin mendengar sisanya.Penugasan itu tadi saja sudah membuatnya sebal. Ia harus meninggalkan Mae, padahal sudah dengan sengaja membawanya ke Andover. Tapi bagaimanapun tidak bisa dihindari dan menerima. Apa yang akan dikatakan Parker berikutnya sudah pasti ekstra repot yang tidak perlu.“Aku dengar kalian tinggal bersama sekarang. Kau dan Mae maksudku. Gina baru saja memberitahuku.”Ash langsung merasa firasatnya benar, dan menyadari kalau
Kalimat pembuka yang membuat Ash terpana. Mae jelas berbohong padanya. Kemarin ia menyebut kalau nama Mary terlalu suci.“Apa kau tahu apa yang menyebabkan Mae menjadi seperti sekarang?” tanya Lynch.Ash mengangguk. “Hubert mengatakannya.” Ash tidak perlu menyebut pengadilan.“Pria yang menyakiti Mae itu—suaminya dulu, rupanya sering membisikkan nama Mary saat menyakitinya. Karena itu Mae selalu gelisah saat ada yang memanggil namanya dengan mesra. Sekarang sudah jauh lebih baik, tapi aku rasa ia lebih suka memakai Mae.”Ash sangat diam, tidak bergerak, bahkan menahan napas. Ia tahu keadaan Mae buruk, tapi mendengar lebih detail ternyata mengerikan.“Aku ingin memberi bayangan seburuk apa keadaan Mae, agar kau lebih berhati-hati.” Lynch sepertinya sudah tidak berharap Mae akan kembali padanya setelah bertahun-tahun dan meminta Ash agar paham.“Mae tidak pernah menyebut namanya padaku. Seburuk itulah ketakutannya pada pria itu. Mae hanya menyebutnya—”“Monster bermata besar.” Ash menya
“Oh, cepat sekali.” Mae terkejut saat melihat Ash sudah membuka pintu sebelum pukul sebelas. Tidak biasa pastinya. Ia lupa memperhitungkan jarak yang sekarang dekat. Ash tidak perlu menempuh beberapa jam perjalanan. Ash tetap datang lebih cepat meski sudah sempat menemui Lynch. “Kau sedang apa?” Ash akan menjelaskan tadinya, tapi lebih tertarik pada benda yang bertebaran di lantai. Kain dan kantong belanja. “Aku membeli beberapa baju, dan sedang mencobanya.” Mae mengangkat gaun biru tua yang akan dicobanya tadi. “Disini?” Ash mempertanyakan pemilihan ruang, karena Mae melakukan kegiatan yang seharusnya di kamar—menjadi di ruang tengah. “Well, aku tidak bisa masuk.” Mae pintu kamar lain yang tertutup, terkunci saat Mae mencoba membukanya tadi. Apartemen Ash memang lebih modern dan mewah, tapi kamarnya hanya ada dua. Satu kamar Ash, dan satu lagi kamar terkunci itu. Luasnya tentu tidak bisa dibandingkan dengan rumah tradisional yang di Reading. “Itu…” Ash tergagap, karena baru m
Mae sebenarnya berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak tertawa, tapi sulit menahan saat melihat dengan benar apa sebenarnya wujud dari hobi itu. Awalnya Mae mengira Ash mengoleksi pakaian, karena melihat sweater aneka warna menggantung pada rak panjang, tapi saat matanya sampai pada meja yang ada di dekat jendela, Mae akhirnya tidak bisa menahan tawa. “Merajut? Kau memiliki hobi merajut?” Mae menegaskan sambil mengusap air matanya. Mae lalu menunjuk tumpukan benang rajut yang tergulung, tersedia dalam aneka warna, lalu hakpen aneka ukuran yang berjajar rapi pada rak yang berkilau, jarum, gunting dan aneka lainnya, semua ada. Ash yang selalu rapi juga mengaplikasikannya pada ruangan itu. Tidak ada barang tergeletak percuma maupun benang tersampir berantakan.Meski menghabiskan seluruh waktu yang dimiliki dunia, Mae tidak mungkin bisa menebak kalau hobi Ash adalah merajut. Tidak cocok. Poppy masih bisa diterima, tapi sulit membayangkan Ash terlibat dengan dunia rajutan. “Keluar
“Mae? Ada apa?”Ash meraih pipi Mae, untuk melihat keadaannya dengan lebih baik. Ia mengira mungkin Mae tiba-tiba mengingat Daisy—dan merasa terpuruk, lalu menginginkan pelukan.“Tidak ada.” Mae mundur tapi kembali terbentur rak tentunya. “Jangan!” Ash yang maju mengejar—karena harus menahan rak itu agar tidak terhempas ke depan dan menimpa Mae. Rak itu tidak berat, hanya terbuat dari kayu pres yang ringan, karena memang Ash hanya memakainya untuk menyimpan hasil rajutan. Mudah sekali goyah.Gerakan yang murni tanpa niat lain, tapi kembali mengurung Mae dalam pelukan Ash. Malah lebih dekat sekarang, dengan kedua tangan ada di kedua sisi tubuh Mae.“Kau tidak terluka bukan?” tanya Ash sambil menunduk, bersamaan dengan Mae yang mendongak untuk mengambil napas—mencari udara segar untuk menjernihkan kepala.Tapi justru Mae disuguhi pemandangan bibir Ash yang terlalu dekat, sampai hembusan napasnya saja menggelitik pipi Mae.Sudah pasti Mae hanya bisa membeku, meski seluruh tubuhnya sepe