“Kau terganggu oleh ketampananku? Ini juga kemajuan. Kemarin kau hanya membahasnya sambil lalu,” kata Ash, sambil tersenyum dan kembali mendekati Mae.Menyandarkan tangannya pada rak, tidak sangat mengurung Mae, tapi tetap dekat. Ash hanya tinggal menunduk dan bisa melihat kepanikan Mae yang sejak tadi dilewatkannya. Itu sangat baru, dan tentu Ash ingin melihatnya lebih dekat.“Well, kau memang tampan. Semua orang bisa melihatnya!” sergah Mae, menunduk dan memainkan syal yang ada di lehernya. Mae terkurung, sangat sadar tapi anehnya tidak merasa takut. Tubuhnya tidak gemetar, ataupun merasa perlu menjauh.“Aku tahu itu. Tapi sejak kapan kau mulai merasa kalau ketampananku mengganggu—tunggu! Apa karena ini kau selalu melarangku tersenyum? Itu…”“Tidak perlu dibahas! Pokoknya jangan tersenyum sembarangan!” sergah Mae, sambil berusaha menyingkirkan tangan Ash yang ada di samping kepalanya, tapi tangan itu tidak bergeming. “Aku akan tersenyum saat ingin tersenyum, Mae,” balas Ash. Ia ti
Mae mengelus perlahan tangan Ash. Ia tidak punya alasan khusus menceritakannya, tapi lidahnya mengucap dengan ringan hal yang bahkan tidak pernah diceritakannya pada Lynch. “Mama Carol menjemputku pulang setelah keadaanku lebih baik Katanya aku tidak perlu kembali ke sana lagi. Sepertinya Monster itu sudah bosan padaku, karena beberapa minggu setelahnya, ada surat pengesahan perceraian, dan uang banyak untukku. Setidaknya rasa sakit itu tidak percuma.” Mae tersenyum, teringat betapa lega hatinya saat membaca surat dan uang di rekeningnya. Hampir mati itu tidak sia-sia dan bisa menyelamatkan Daisy. Mae setelah itu tidak punya keinginan untuk tahu dengan lebih detail. Tidak melihatnya lagi saja sudah cukup. “Siapa…” Ash mencengkram pinggiran rak yang ada di belakang Mae dengan amat kuat, agar tidak memperlihatkan amarahnya pada Mae. Bayangan Mae yang merintih kesakitan dan memohon ampun, cukup sebagai alasan untuk meremukkan tengkoraknya. Semakin banyak mendengar tentang monster i
“It hurts… Hurt…” (Sakit) Mae menepuk punggung Ash, karena pelukan itu terlalu erat. Tubuhnya sampai nyaris saja terangkat dari lantai.“Maaf… Astaga! Maafkan aku.” Ash pastilah langsung panik, dan memeriksa keadaan Mae sambil memutar tubuhnya.Mae baru saja menyebut dirinya tidak akan menyakiti, tapi tidak sampai semenit kemudian, sudah mengeluh.“Apa sangat sakit? Aku tidak sengaja… Maaf. Aku hanya sangat bahagia. Sungguh. Maafkan aku.”Mae tidak mengatakan apapun, karena sedang kembali takjub sambil memandang Ash. Kali ini Ash memang membuatnya sakit, tapi tidak sedikitpun tumbuh rasa takut dalam hatinya. Mae malah ingin tertawa saat melihat Ash terus mengulang permintaan maafnya. Tampak lucu saat melihatnya panik luar biasa.“Ash, aku baik-baik saja.” Mae menghentikan kepanikan Ash dengan sentuhan di pipinya.“Maaf, aku tidak…”“Aku tahu. Tenanglah.” Mae menyela, ia tidak suka melihat rasa bersalah yang terlihat nyata di wajah Ash.“Sebelum sakit itu—aku juga mungkin merasakan ha
“Ya. Aku percaya karena tidak punya alasan untuk tidak percaya. Kau berbohong tapi untukku.” Mae meraih telunjuk Ash yang menekan ujung hidungnya karena kesal. Ash bukan tidak pernah berbohong, tapi Mae tidak akan buta juga dan menampik kalau kebohongan itu ada karena keadaan dirinya sendiri yang tidak normal. “Kalau saat itu kau datang dan menjelaskan semua tujuanmu, aku akan pergi. Tidak perlu berpikir, aku akan pergi sejauh mungkin,” kata Mae, sambil membayangkan bagaimana ia mengucap ‘tidak mau’ dengan tegas saat Ash menawarkan pernikahan. Mae akan lebih tidak mau lagi kalau Ash menawarkan pertolongan begitu saja. Meski dengan penjelasan latar belakang mereka pernah bertemu saat kecil, Mae akan tetap benci dikasihani. “Aku awalnya ingin lebih normal. Menawarkan pekerjaan, tapi tidak yakin kau menerima,” kata Ash. “Memang tidak. Gajinya tidak akan cukup untuk menopang Daisy.” Mae bukan tidak pernah berpikir untuk bekerja dengan normal setelah berpisah dari monster itu, tapi ap
“Jangan berhenti! Parker akan semakin marah!” Ian menegur saat menyadari Ash tidak lagi berjalan sejajar di sampingnya. Tertinggal di belakang karena memeriksa pesan yang baru saja masuk. Ash bermaksud mengabaikan, tapi itu pesan dari Stone.“Sebentar.” Ash harus membacanya.[Terjadi. Kasusnya akan melibatkan Jones. Siapkan saja tuntutan yang Anda inginkan.]Pesan Stone hanya membahas inti tanpa basa-basi, sudah benar—dan isinya pun menggembirakan, tapi membuat Ash mengumpat lagi. Waktunya tidak tepat. Parker memanggil mendadak saat tengah malam berarti ada penugasan tidak terduga. Ash sudah bisa menebak. Ia juga belum bicara pada Mae mengenai hal itu. Tidak ada waktu.“Kau tidak usah ikut tugas yang ini,” kata Ash, setelah menyusul Ian lagi.“Hah?” Ian yang ganti berhenti berjalan.“Tapi kenapa? Apa kau tidak membutuhkanku? Aku sudah membaca detailnya dan kau membutuhkanku. Akan ada penyusupan bukan?” Ian tidak terima ditinggalkan. Ia punya keahlian yang dibutuhkan untuk tugas itu.
Mae menaikkan handuk, lalu melangkah keluar kamar karena mendengar suara orang bicara. Ash tentunya. Mae baru saja selesai mencuci rambut—karena memang belum sempat melakukannya semenjak dari Bakewell. “Kau sudah pulang?” Mae membuka pintu, tapi lalu berhenti melangkah. Ada wanita asing berdiri bersama Ash. Kejutan yang amat sangat. Untuk Ash juga karena ia tampak terperanjat. “Mary? Kau belum tidur?!” Ash tentu mengira Mae sudah tidur, karena saat ini dini hari. “Memang kenapa kalau aku belum tidur?” Mae mengernyit. Tidak bisa menyembunyikan rasa tidak suka atas pertanyaan itu. Ash mengesankan ia berharap Mae tidur, agar bisa membawa wanita lain masuk ke apartemennya. Mae ingin percaya pada Ash, tapi mustahil tidak curiga. “Kau marah?” Ash tidak tahu sebabnya, tapi nada suara Mae cukup mewakili, “Tidak.” Mae tidak mau membuat keributan di hadapan wanita lain. “Aku ingin berpamitan,” kata Ash. Ia memang akan membangunkan Mae rencananya, tapi setelah mengirim Ella pergi. Ia tida
“Masih tidak datang?” Faraday memandang Carol yang baru saja masuk ke kantornya dengan wajah murung. Tebakannya tidak salah, karena Carol setelah itu menggeleng. “Tidak ada kabar malah. Dia hanya membalas pesanku sekali lalu diam. Hanya membaca saja, tidak dibalas.” Carol mendesah berat sambil menghempaskan diri pada sofa yang ada di sudut. Tidak canggung karena memang sudah terbiasa menghabiskan waktu disana. “Kau meninggalkan Daisy sendiri?” tanya Faraday. “Iya. Dia tidak akan meninggalkan kamar. Aku menambahkan obat agar dia mengantuk tadi.” Carol tidak meninggalkan Daisy dalam keadaan sadar. “Hati-hati. Ginjalnya sudah sangat parah.” Faraday mengingatkan. “Aku tahu. Tapi mungkin kita harus membuatnya lebih sakit.” Carol yang sudah nyaris berbaring, bangun dengan sigap dan memandang Faraday, meminta pendapat. “Maksudmu memaksa Mae datang?” Faraday tampak mengerutkan kening, berpikir. “Ya. Mae tidak akan tega kalau Daisy sakit. Dia pasti akan datang dan kasihan lagi.” Carol t
[Kau tidak datang ke Bakewell? Kau dimana?] Mae membaca pesan yang baru masuk dari Mama Carol, dan mengetik balasan. Mae kemarin tidak menanggapi pesannya—maupun panggilan karena malas berpikir tentang Bakewell. Tapi sekarang mulai merasa bersalah. Setidaknya Mae ingin memberi sedikit penjelasan. [Aku ada di Andover. Jauh dari Bakewell. Untuk sementara aku ingin menenangkan diri. Maaf. Aku belum bisa datang. Aku harap Daisy baik-baik saja.] Mae memejamkan mata setelah itu, melawan air mata. Setiap memikirkan Daisy, ia ingin menangis. Mae lalu beranjak ke dapur dan mulai menimbang bahan. Ia akan membuat kue dengan bahan yang dibelinya. Hanya agar pikirannya teralih. Tapi tidak bertahan lama. Mae cepat bosan. Meski sudah memanggang empat loyang cookies, ia tetap bosan. Punggungnya sampai terasa pegal karena berdiri membuat bulatan cookies, tapi tetap bosan. Mae kembali duduk dan memainkan ponselnya. Membaca berita, atau mencari resep. Tapi mencari resep tidak bertahan lama. Mae tid