“Ya. Aku percaya karena tidak punya alasan untuk tidak percaya. Kau berbohong tapi untukku.” Mae meraih telunjuk Ash yang menekan ujung hidungnya karena kesal. Ash bukan tidak pernah berbohong, tapi Mae tidak akan buta juga dan menampik kalau kebohongan itu ada karena keadaan dirinya sendiri yang tidak normal. “Kalau saat itu kau datang dan menjelaskan semua tujuanmu, aku akan pergi. Tidak perlu berpikir, aku akan pergi sejauh mungkin,” kata Mae, sambil membayangkan bagaimana ia mengucap ‘tidak mau’ dengan tegas saat Ash menawarkan pernikahan. Mae akan lebih tidak mau lagi kalau Ash menawarkan pertolongan begitu saja. Meski dengan penjelasan latar belakang mereka pernah bertemu saat kecil, Mae akan tetap benci dikasihani. “Aku awalnya ingin lebih normal. Menawarkan pekerjaan, tapi tidak yakin kau menerima,” kata Ash. “Memang tidak. Gajinya tidak akan cukup untuk menopang Daisy.” Mae bukan tidak pernah berpikir untuk bekerja dengan normal setelah berpisah dari monster itu, tapi ap
“Jangan berhenti! Parker akan semakin marah!” Ian menegur saat menyadari Ash tidak lagi berjalan sejajar di sampingnya. Tertinggal di belakang karena memeriksa pesan yang baru saja masuk. Ash bermaksud mengabaikan, tapi itu pesan dari Stone.“Sebentar.” Ash harus membacanya.[Terjadi. Kasusnya akan melibatkan Jones. Siapkan saja tuntutan yang Anda inginkan.]Pesan Stone hanya membahas inti tanpa basa-basi, sudah benar—dan isinya pun menggembirakan, tapi membuat Ash mengumpat lagi. Waktunya tidak tepat. Parker memanggil mendadak saat tengah malam berarti ada penugasan tidak terduga. Ash sudah bisa menebak. Ia juga belum bicara pada Mae mengenai hal itu. Tidak ada waktu.“Kau tidak usah ikut tugas yang ini,” kata Ash, setelah menyusul Ian lagi.“Hah?” Ian yang ganti berhenti berjalan.“Tapi kenapa? Apa kau tidak membutuhkanku? Aku sudah membaca detailnya dan kau membutuhkanku. Akan ada penyusupan bukan?” Ian tidak terima ditinggalkan. Ia punya keahlian yang dibutuhkan untuk tugas itu.
Mae menaikkan handuk, lalu melangkah keluar kamar karena mendengar suara orang bicara. Ash tentunya. Mae baru saja selesai mencuci rambut—karena memang belum sempat melakukannya semenjak dari Bakewell. “Kau sudah pulang?” Mae membuka pintu, tapi lalu berhenti melangkah. Ada wanita asing berdiri bersama Ash. Kejutan yang amat sangat. Untuk Ash juga karena ia tampak terperanjat. “Mary? Kau belum tidur?!” Ash tentu mengira Mae sudah tidur, karena saat ini dini hari. “Memang kenapa kalau aku belum tidur?” Mae mengernyit. Tidak bisa menyembunyikan rasa tidak suka atas pertanyaan itu. Ash mengesankan ia berharap Mae tidur, agar bisa membawa wanita lain masuk ke apartemennya. Mae ingin percaya pada Ash, tapi mustahil tidak curiga. “Kau marah?” Ash tidak tahu sebabnya, tapi nada suara Mae cukup mewakili, “Tidak.” Mae tidak mau membuat keributan di hadapan wanita lain. “Aku ingin berpamitan,” kata Ash. Ia memang akan membangunkan Mae rencananya, tapi setelah mengirim Ella pergi. Ia tida
“Masih tidak datang?” Faraday memandang Carol yang baru saja masuk ke kantornya dengan wajah murung. Tebakannya tidak salah, karena Carol setelah itu menggeleng. “Tidak ada kabar malah. Dia hanya membalas pesanku sekali lalu diam. Hanya membaca saja, tidak dibalas.” Carol mendesah berat sambil menghempaskan diri pada sofa yang ada di sudut. Tidak canggung karena memang sudah terbiasa menghabiskan waktu disana. “Kau meninggalkan Daisy sendiri?” tanya Faraday. “Iya. Dia tidak akan meninggalkan kamar. Aku menambahkan obat agar dia mengantuk tadi.” Carol tidak meninggalkan Daisy dalam keadaan sadar. “Hati-hati. Ginjalnya sudah sangat parah.” Faraday mengingatkan. “Aku tahu. Tapi mungkin kita harus membuatnya lebih sakit.” Carol yang sudah nyaris berbaring, bangun dengan sigap dan memandang Faraday, meminta pendapat. “Maksudmu memaksa Mae datang?” Faraday tampak mengerutkan kening, berpikir. “Ya. Mae tidak akan tega kalau Daisy sakit. Dia pasti akan datang dan kasihan lagi.” Carol t
[Kau tidak datang ke Bakewell? Kau dimana?] Mae membaca pesan yang baru masuk dari Mama Carol, dan mengetik balasan. Mae kemarin tidak menanggapi pesannya—maupun panggilan karena malas berpikir tentang Bakewell. Tapi sekarang mulai merasa bersalah. Setidaknya Mae ingin memberi sedikit penjelasan. [Aku ada di Andover. Jauh dari Bakewell. Untuk sementara aku ingin menenangkan diri. Maaf. Aku belum bisa datang. Aku harap Daisy baik-baik saja.] Mae memejamkan mata setelah itu, melawan air mata. Setiap memikirkan Daisy, ia ingin menangis. Mae lalu beranjak ke dapur dan mulai menimbang bahan. Ia akan membuat kue dengan bahan yang dibelinya. Hanya agar pikirannya teralih. Tapi tidak bertahan lama. Mae cepat bosan. Meski sudah memanggang empat loyang cookies, ia tetap bosan. Punggungnya sampai terasa pegal karena berdiri membuat bulatan cookies, tapi tetap bosan. Mae kembali duduk dan memainkan ponselnya. Membaca berita, atau mencari resep. Tapi mencari resep tidak bertahan lama. Mae tid
Mae antara ingin tertawa lucu, tapi juga merasa heran. Lynch memang sejak awal dokter yang unik. “Mantan, Mae. Aku memang ingin menjadi temanmu sejak lama.” Lynch sedikit meralat. “Jangan berbohong! Itu lebih ngawur lagi. Tidak mungkin kau ingin berteman dengan pasien…” “Kenapa tidak mungkin? Kau termasuk salah orang paling mengagumkan yang aku temui, Mae. Dan aku tidak bicara tentang wajah. Aku tahu kau cantik, tapi aku justru kagum pada sifatmu, lebih dari pada kecantikanmu. Kau sangat gigih dan kuat.” Mae sampai mengerutkan kening. Lynch memang suka memuji seperti itu, tapi saat dibayar. Ini sangat ekstra. “Lynch, apa kau yakin sedang baik-baik saja? Mungkin…”Kalimat Mae terpotong tawa geli Lynch. “Rupanya kau masih sulit percaya pada pujianku. Ya sudahlah. Tidak masalah. Yang penting aku gembira kau mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Sebagai teman, aku akan ikut merayakannya.” “Terserah kau sajalah.” Mae mendengus. “Intinya, pertaruhan kita selesai. Kita bisa be
“Sentuh dia lagi, aku yang akan dengan senang hati meledakkan kepalamu.” Ash mengancam dengan nada tenang, tapi ujung pistol di tangannya menempel persis di belakang kepala pirang yang tengah menunduk. “Hei, relax. Kita ada di pihak yang sama.” Pria berambut pirang bermata gelap itu berdiri sambil tersenyum santai, seolah tidak baru saja merobek pakaian dari wanita yang ada dalam rombongan, dan berusaha menciumnya. Wanita itu kini bergeser—dan terisak—kembali mendekati anggota rombongan lain yang segera menyambut dan memeluknya. Ada empat orang disana. Dua wanita—yang satu baru berumur sepuluh kemungkinan. “Aku tidak sudi berada di pihak yang sama dengan babi busuk seperti dirimu!” Ash masih mengacungkan pistol di tangannya, dengan jari pada pelatuk. Ia serius. Pria pirang itu mendecak. “Kau berani mengancamku? Aku akan…”“Ya, karena tidak akan ada yang peduli apakah kau mati atau tidak. Kita sama-sama tidak bernama di sini. Kau mati, maka aku akan menguburmu di bawah sana.” Ash m
“Cepat sekali perginya.” Mae berkomentar saat melihat Poppy hanya tinggal sendiri begitu ia kembali dari memesan minuman di kasir. Harper dan Enola yang tadi ada sudah tidak terlihat. Pergi tanpa merasa perlu berpamitan dengan Mae. “Memang. Anaknya pulang cepat atau semacam itu.” Poppy menyebut alasan Harper dan Enola pergi sambil terkekeh. Seperti Gina, Poppy sangat menyambut gembira kedatangan Mae di Andover. Ia langsung mengajak Mae bertemu. Sayangnya bersama Harper dan Enola tadi—hanya tidak bertahan lama. Harper tidak bisa menolak langsung ajakan Poppy. Diantara mereka Mae yang memiliki level setelah Gina sebenarnya—juga Poppy. Suami Poppy pangkatnya setara Ash, sedang suami Enola dan Harper ada di satu tingkat di bawah mereka. Sedang Gina tentu sudah sama sekali berbeda. Ia tidak ikut berkumpul tanpa rencana resmi atau acara untuk dibahas. Gina berada di level yang lebih tinggi sebagai istri Parker. “Sampai kapanpun dia tidak akan suka padaku bukan?” Mae duduk dan mulai
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga