“Yang ini segera kau urus. Aku rasa mudah. Hanya sekitar seminggu.” Parker menyerahkan berkas pada Ash.“Untuk yang satu lagi, nanti saja. Kalau keadaannya tidak memburuk, tugas itu akan batal. Mereka tidak akan membutuhkan pasukan tambahan. Tapi bersiap saja, karena ini penugasan besar.” Parker menunjuk map lain yang tadi mereka bicarakan panjang lebar.“Mengerti, Sir.” Ash menghormat lalu menerima semua berkas.“Aku rasa itu saja yang perlu aku bicarakan secara resmi, tapi ada titipan pesan lain untukmu.” Parker tersenyum, dan Ash langsung tidak ingin mendengar sisanya.Penugasan itu tadi saja sudah membuatnya sebal. Ia harus meninggalkan Mae, padahal sudah dengan sengaja membawanya ke Andover. Tapi bagaimanapun tidak bisa dihindari dan menerima. Apa yang akan dikatakan Parker berikutnya sudah pasti ekstra repot yang tidak perlu.“Aku dengar kalian tinggal bersama sekarang. Kau dan Mae maksudku. Gina baru saja memberitahuku.”Ash langsung merasa firasatnya benar, dan menyadari kalau
Kalimat pembuka yang membuat Ash terpana. Mae jelas berbohong padanya. Kemarin ia menyebut kalau nama Mary terlalu suci.“Apa kau tahu apa yang menyebabkan Mae menjadi seperti sekarang?” tanya Lynch.Ash mengangguk. “Hubert mengatakannya.” Ash tidak perlu menyebut pengadilan.“Pria yang menyakiti Mae itu—suaminya dulu, rupanya sering membisikkan nama Mary saat menyakitinya. Karena itu Mae selalu gelisah saat ada yang memanggil namanya dengan mesra. Sekarang sudah jauh lebih baik, tapi aku rasa ia lebih suka memakai Mae.”Ash sangat diam, tidak bergerak, bahkan menahan napas. Ia tahu keadaan Mae buruk, tapi mendengar lebih detail ternyata mengerikan.“Aku ingin memberi bayangan seburuk apa keadaan Mae, agar kau lebih berhati-hati.” Lynch sepertinya sudah tidak berharap Mae akan kembali padanya setelah bertahun-tahun dan meminta Ash agar paham.“Mae tidak pernah menyebut namanya padaku. Seburuk itulah ketakutannya pada pria itu. Mae hanya menyebutnya—”“Monster bermata besar.” Ash menya
“Oh, cepat sekali.” Mae terkejut saat melihat Ash sudah membuka pintu sebelum pukul sebelas. Tidak biasa pastinya. Ia lupa memperhitungkan jarak yang sekarang dekat. Ash tidak perlu menempuh beberapa jam perjalanan. Ash tetap datang lebih cepat meski sudah sempat menemui Lynch. “Kau sedang apa?” Ash akan menjelaskan tadinya, tapi lebih tertarik pada benda yang bertebaran di lantai. Kain dan kantong belanja. “Aku membeli beberapa baju, dan sedang mencobanya.” Mae mengangkat gaun biru tua yang akan dicobanya tadi. “Disini?” Ash mempertanyakan pemilihan ruang, karena Mae melakukan kegiatan yang seharusnya di kamar—menjadi di ruang tengah. “Well, aku tidak bisa masuk.” Mae pintu kamar lain yang tertutup, terkunci saat Mae mencoba membukanya tadi. Apartemen Ash memang lebih modern dan mewah, tapi kamarnya hanya ada dua. Satu kamar Ash, dan satu lagi kamar terkunci itu. Luasnya tentu tidak bisa dibandingkan dengan rumah tradisional yang di Reading. “Itu…” Ash tergagap, karena baru m
Mae sebenarnya berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak tertawa, tapi sulit menahan saat melihat dengan benar apa sebenarnya wujud dari hobi itu. Awalnya Mae mengira Ash mengoleksi pakaian, karena melihat sweater aneka warna menggantung pada rak panjang, tapi saat matanya sampai pada meja yang ada di dekat jendela, Mae akhirnya tidak bisa menahan tawa. “Merajut? Kau memiliki hobi merajut?” Mae menegaskan sambil mengusap air matanya. Mae lalu menunjuk tumpukan benang rajut yang tergulung, tersedia dalam aneka warna, lalu hakpen aneka ukuran yang berjajar rapi pada rak yang berkilau, jarum, gunting dan aneka lainnya, semua ada. Ash yang selalu rapi juga mengaplikasikannya pada ruangan itu. Tidak ada barang tergeletak percuma maupun benang tersampir berantakan.Meski menghabiskan seluruh waktu yang dimiliki dunia, Mae tidak mungkin bisa menebak kalau hobi Ash adalah merajut. Tidak cocok. Poppy masih bisa diterima, tapi sulit membayangkan Ash terlibat dengan dunia rajutan. “Keluar
“Mae? Ada apa?”Ash meraih pipi Mae, untuk melihat keadaannya dengan lebih baik. Ia mengira mungkin Mae tiba-tiba mengingat Daisy—dan merasa terpuruk, lalu menginginkan pelukan.“Tidak ada.” Mae mundur tapi kembali terbentur rak tentunya. “Jangan!” Ash yang maju mengejar—karena harus menahan rak itu agar tidak terhempas ke depan dan menimpa Mae. Rak itu tidak berat, hanya terbuat dari kayu pres yang ringan, karena memang Ash hanya memakainya untuk menyimpan hasil rajutan. Mudah sekali goyah.Gerakan yang murni tanpa niat lain, tapi kembali mengurung Mae dalam pelukan Ash. Malah lebih dekat sekarang, dengan kedua tangan ada di kedua sisi tubuh Mae.“Kau tidak terluka bukan?” tanya Ash sambil menunduk, bersamaan dengan Mae yang mendongak untuk mengambil napas—mencari udara segar untuk menjernihkan kepala.Tapi justru Mae disuguhi pemandangan bibir Ash yang terlalu dekat, sampai hembusan napasnya saja menggelitik pipi Mae.Sudah pasti Mae hanya bisa membeku, meski seluruh tubuhnya sepe
“Kau terganggu oleh ketampananku? Ini juga kemajuan. Kemarin kau hanya membahasnya sambil lalu,” kata Ash, sambil tersenyum dan kembali mendekati Mae.Menyandarkan tangannya pada rak, tidak sangat mengurung Mae, tapi tetap dekat. Ash hanya tinggal menunduk dan bisa melihat kepanikan Mae yang sejak tadi dilewatkannya. Itu sangat baru, dan tentu Ash ingin melihatnya lebih dekat.“Well, kau memang tampan. Semua orang bisa melihatnya!” sergah Mae, menunduk dan memainkan syal yang ada di lehernya. Mae terkurung, sangat sadar tapi anehnya tidak merasa takut. Tubuhnya tidak gemetar, ataupun merasa perlu menjauh.“Aku tahu itu. Tapi sejak kapan kau mulai merasa kalau ketampananku mengganggu—tunggu! Apa karena ini kau selalu melarangku tersenyum? Itu…”“Tidak perlu dibahas! Pokoknya jangan tersenyum sembarangan!” sergah Mae, sambil berusaha menyingkirkan tangan Ash yang ada di samping kepalanya, tapi tangan itu tidak bergeming. “Aku akan tersenyum saat ingin tersenyum, Mae,” balas Ash. Ia ti
Mae mengelus perlahan tangan Ash. Ia tidak punya alasan khusus menceritakannya, tapi lidahnya mengucap dengan ringan hal yang bahkan tidak pernah diceritakannya pada Lynch. “Mama Carol menjemputku pulang setelah keadaanku lebih baik Katanya aku tidak perlu kembali ke sana lagi. Sepertinya Monster itu sudah bosan padaku, karena beberapa minggu setelahnya, ada surat pengesahan perceraian, dan uang banyak untukku. Setidaknya rasa sakit itu tidak percuma.” Mae tersenyum, teringat betapa lega hatinya saat membaca surat dan uang di rekeningnya. Hampir mati itu tidak sia-sia dan bisa menyelamatkan Daisy. Mae setelah itu tidak punya keinginan untuk tahu dengan lebih detail. Tidak melihatnya lagi saja sudah cukup. “Siapa…” Ash mencengkram pinggiran rak yang ada di belakang Mae dengan amat kuat, agar tidak memperlihatkan amarahnya pada Mae. Bayangan Mae yang merintih kesakitan dan memohon ampun, cukup sebagai alasan untuk meremukkan tengkoraknya. Semakin banyak mendengar tentang monster i
“It hurts… Hurt…” (Sakit) Mae menepuk punggung Ash, karena pelukan itu terlalu erat. Tubuhnya sampai nyaris saja terangkat dari lantai.“Maaf… Astaga! Maafkan aku.” Ash pastilah langsung panik, dan memeriksa keadaan Mae sambil memutar tubuhnya.Mae baru saja menyebut dirinya tidak akan menyakiti, tapi tidak sampai semenit kemudian, sudah mengeluh.“Apa sangat sakit? Aku tidak sengaja… Maaf. Aku hanya sangat bahagia. Sungguh. Maafkan aku.”Mae tidak mengatakan apapun, karena sedang kembali takjub sambil memandang Ash. Kali ini Ash memang membuatnya sakit, tapi tidak sedikitpun tumbuh rasa takut dalam hatinya. Mae malah ingin tertawa saat melihat Ash terus mengulang permintaan maafnya. Tampak lucu saat melihatnya panik luar biasa.“Ash, aku baik-baik saja.” Mae menghentikan kepanikan Ash dengan sentuhan di pipinya.“Maaf, aku tidak…”“Aku tahu. Tenanglah.” Mae menyela, ia tidak suka melihat rasa bersalah yang terlihat nyata di wajah Ash.“Sebelum sakit itu—aku juga mungkin merasakan ha