“Foto yang tadi… tidak ada apa-apanya dibanding yang asli.” Daisy tampak membelalak saat Ash mendekat bersama Mae. Penampakan asli Ash, mengukuhkan teori kalau kemampuan kamera dalam menangkap keindahan tidak akan sempurna seperti mata. Ash yang asli terlalu indah. “Well, paling tidak kalian serasi.” Daisy mengangguk puas saat melihat mereka berdiri berjejer. Tipe cantik dan tampan yang memuaskan. “Kau itu bicara apa?!” sergah Mae, melotot lagi. “Aku dan Ash—hanya berteman. Tidak ada…” “Apa ada teman yang menyusulmu ke sini hanya setelah dua hari sambil membawa itu?” Daisy terkekeh sambil menunjuk hadiah dari Ash, yang tentu sama sekali tidak mencerminkan teman. “Ash…” Mae mendesis lirih, sambil menyenggol lengan Ash, menyuruhnya melakukan sesuatu untuk mendukung pernyataan teman itu. Ash tampak mengedip beberapa kali—untuk menghapus kecewa. Ia tidak suka tentu. Meski sudah terduga saat Mae menyebut Daisy tidak boleh tahu, tapi mendengar mereka hanya teman, rupanya terlalu pahi
“Kenapa kau di belakang? Aku tidak akan tiba-tiba mati saat kau duduk di depan.” Daisy memprotes karena Mae duduk di belakang, bersamanya, bukan di samping Ash yang tentu saja menyetir. Mereka sudah turun, tapi Daisy masih kesal.“Bisakah kau tidak bicara hal menyeramkan seperti itu?!” Mae menegur, sedikit keras. Ia bisa membiarkan Daisy bicara apapun, tapi tidak kematian.“Kau yang keterlaluan. Ash kesini untuk menemuimu, tapi kau meninggalkannya,” sergah Daisy.“Tidak masalah. Mae boleh duduk dimana saja.” Ash menyela kesekian kali, mencegah pertengkaran kakak beradik itu menjadi lebih besar. Ia mulai merasa menjadi juru damai sejak tadi. Mereka bisa berdebat atas hal sekecil apapun, membuat perjalan itu sangat tidak membosankan.“Tentu saja kau tidak keberatan. Kapan kau akan keberatan mengabulkan keinginan Mae?” Daisy dengan mudah melihat kecenderungan Ash menuruti Mae.“Tempat ini indah.” Dengan nada ceria, Ash sengaja mengubah pembahasan, mengalihkan pandangan ke sekitar.Tapi
“MARY!” Ash berseru memperingatkan.Opsi lari itu masih berlaku tapi berlari ke arah Mae, Ash tidak peduli lagi apakah benar ada Mama Carol di sana atau tidak, yang penting mobil itu tidak menyentuh Mae.Sebanyak apapun latihan yang dilakukannya, ini pertama kali Ash mendera ototnya sekuat itu. Ash mengerahkan seluruh daya upaya yang dimiliki, melompat dan mengulurkan tangan menyambar mantel Mae dan menariknya.“Akh!” Mae tertarik pada saat yang tepat, mobil itu lewat tepat di depannya—-diantara Mae dan kursi roda Daisy, hanya berhasil menyambar ujung mantel Mae yang berkibar karena tarikan Ash.Tapi pendaratannya tidak terlalu mulus, selain mendapat teguran berupa klakson panjang, tubuh Mae membentur dada Ash. Lalu akibat kekuatan tarikan yang terlalu besar, Ash kehilangan keseimbangan, ikut terdorong jatuh bersama tubuh Mae. Tapi hanya Ash yang mendapat hantaman saat bahunya membentur jalan berbatu.Sepersekian detik itu, Ash berhasil merengkuh seluruh tubuh Mae dalam pelukan, memas
“Mae!”Mae berpaling dan tubuhnya langsung lemas, lega luar biasa. Dokter Faraday tampak berlari kecil menyusuri lorong UGD.“Dokter… Daisy…” Mae menunjuk ke pintu UGD, sambil berjalan menghampirinya. Dan hanya itu. Sebelum bisa bicara, air matanya sudah mendahului.“Mae… tenang dulu. Aku sudah datang—untunglah aku ada di dekat sini. Aku akan memeriksa Daisy, dan dia akan baik-baik saja.” Dokter Faraday, menepuk pundak Mae perlahan.“Daisy jatuh, aku tidak bisa menangkapnya. Maafkan aku…” Mae kembali gagal menjelaskan, dan menangis. Mae ingin berhenti menangis, tapi tidak bisa. Entah berapa kali Mae menghapus, air matanya terus turun.“Aku paham, Mae. Sebentar, aku akan memeriksanya. Setelah itu, kita akan membawa Daisy pulang. Kau tenang saja.” Faraday membantu Mae kembali duduk.“Maaf, aku harus ke dalam.” Mae tidak dalam keadaan bisa ditinggal, tapi Faraday memang harus masuk.“Ya, tolong sembuhkan Daisy,” pinta Mae, sambil berusaha menghapus air matanya lagi.Faraday tersenyum, l
Ash ‘mengupas’ kertas pembungkus burger, dan menyerahkannya pada Mae, tapi kedua tangan Mae sedang menggenggam tangan Daisy.“Makanlah. Kau yang akan mati kalau tidak makan, bukan aku.” Daisy menggoyangkan tangannya yang sehat, melepaskan diri dari Mae. Tangannya yang kiri masih disangga dan di gips. Tangan yang menjadi pusat perhatian Mae sejak tadi.“Look, I'm fine. Totally fine. Aku bahkan tidak berpura-pura atau mencoba membuatmu tidak khawatir. Aku benar-benar baik-baik saja.” Daisy meyakinkan Mae agar kadar khawatirnya berkurang.Ash yang ikut memandang Daisy, mengangguk. Sangat setuju. Di matanya, saat ini keadaan Daisy malah terlihat baik. Tidak sangat pucat. Lebih cerah dibanding pertama bertemu dengannya tadi—saat di teras.“Aku tadi bisa memakan semua makanan rumah sakit tanpa muntah, tidak merasa pusing atau apapun. Tidak ada yang nyeri juga meski aku melewatkan minum obat. Apalagi yang harus aku katakan agar kau berhenti khawatir?” Daisy menepuk pelan pipi Mae yang ada da
Ash membuka mata, dan mendapati tubuhnya melesak—hampir tertelan permukaan sofa. Perlu usaha lebih keras untuk bangun dan duduk. Tadi malam saat berbaring, rasanya biasa saja, tapi berat tubuhnya tidak untuk ditopang sofa tua memang. Alasan yang sama membuat Ash ingat kalau ia perlu membuang sofa yang ada di ruang tengah rumahnya. Ash mudah sekali lupa tentang itu—karena sejauh ini, pikirannya mudah penuh saat sudah dikuasai Mae. “Hanya sofa saja kau sudah lega dan bisa tidur nyenyak? Ck, seharusnya kau meminta kamar, kebetulan ranjang Mae cukup besar. Kau melewatkan kesempatan.” Ash berpaling, dan tampak Daisy mendekat memakai kursi rodanya. Daisy baru saja mencela kenyataan Ash tidur di sofa, bukan kamar Mae. Menurutnya itu bukan prestasi, dan tidak boleh membuat Ash tidur nyenyak. Kemarin malam Ash memutuskan untuk menginap, karena memang sudah terlalu malam untuk kembali kemanapun. Ia akan tertidur di jalan kalau memaksakan diri. “Mae… Tidak secepat itu Mae akan menerimaku.”
Terima kasih atas bantuanmu,” kata Mae, untuk Ash yang berjalan pelan di sampingnya, menuju gerbang. Hari belum amat terang, tapi Ash harus kembali karena tentu harus bekerja. Ia harus menyetir jarak lumayan. “Aku mungkin terpaksa memanggil Mama Carol kalau kau tidak ada.” Mae melanjutkan, lalu berdiri setelah membuka gerbang. “Kau itu kenapa?” Mae heran, karena Ash terlihat tersenyum terlalu lebar. Mae tidak merasa mengatakan sesuatu yang lucu. “Aku hanya gembira kedatangan ku tidak sia-sia. Aku sudah khawatir kau akan marah selamanya.” Tentu saja Ash bahagia mendengar bantuannya mendapat pengakuan. Mae mendengus mendengar alasan Ash, lalu berpaling, memilih memandang pagar gompal yang ada di sebelah tangannya. Benda random yang menjadi objek hanya karena Mae tidak ingin memandang senyum Ash. Tidak peduli pagi atau sore, senyum itu tetap menyilaukan ternyata. “Aku juga,” kata Mae, alasan lainnya menghindar adalah penyesalan. “Kau juga gembira aku datang?!” Ash menyambar secepa
“Astaga! Begitu rupanya. Ini menyeramkan. Syukurlah Daisy baik-baik saja sekarang.” Mama Carol mengusap wajahnya sambil menghela napas. Ia baru pulang kurang lebih dua puluh menit yang lalu, dan Mae menceritakan apa yang terjadi.“Maaf, Mama. Aku ceroboh menjaganya.” Mae menunduk sambil mengusap air matanya. Sekali lagi heran. Ia tidak ingin menangis!“Aku kecewa, tapi ya sudah. Ini musibah.” Mama Carol tampak berdiri dengan susah payah. Pengobatan itu katanya cukup mengurangi sakit di punggungnya, tapi tidak sampai tuntas memang.“Maaf.” Mae bergumam pelan saat Carol mengusap pelan rambutnya.“Jangan menangis, Mae. Kau harus kuat bukan? Demi Daisy. Kalau bukan kau, siapa lagi yang akan berdiri untuknya? Kalau kau menangis, Daisy akan semakin sedih. Kau tidak menginginkan ini bukan?” Carol merengkuh Mae, berbisik di telinganya.“Ya, aku tahu, Mama. Aku yang akan merawat Daisy. Aku kakaknya.” Mae mengangguk, dan memeluk tubuh gempal yang hangat itu. Cukup lega Mama Carol tidak sampai s