“Brownies…” “Huh?” Mae yang hanya harus menekan angka 1—angka terakhir panggilan darurat, tersentak kaget. Ia baru saja mendengar Ash bicara. “Ash?” Mae membatalkan niatnya memanggil ambulans, dan menepuk punggung Ash lagi. Kalau bisa ditanya, Mae akan bertanya tentang keadaannya—dan apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya. “Ash?” Perlahan, Mae membalik tubuhnya. “Kau itu kenapa?!” Setelah bersusah payah, Mae akhirnya melihat keadaan Ash dengan lebih baik, tapi malah semakin heran. Tubuh Ash sangat kotor, pakaiannya penuh lumpur, juga wajah sampai rambut. Ia lebih buruk dari gelandangan yang tidak mengenal mandi dua bulan—lumpur di wajahnya mulai berkerak, dan aromanya kurang lebih sama juga. Masam karena keringat, padahal biasanya cukup wangi. “Ash?” Mae menepuk pelan pipinya. “Brownies…” Mae sampai mendekatkan telinga ke bibir Ash, merasa salah mendengar. Tidak mungkin Ash membicarakan kue. “Apa? Katakan lagi,” pinta Mae, memasang telinga. “Brownies… mau lagi.” Mae
Ash mengusap wajah dan menghela napas. Otaknya belum pulih dari rasa letih, kerjanya masih lambat, padahal hal itu perlu dipikirkan dengan kepala jernih. Ia tidak boleh membuat kesalahan.“Jangan diusap seperti itu. Kau akan mengotori karpet. Sebentar.” Mae menghentikan tangan Ash, lalu bangkit meninggalkannya.Mae tadi dengan hati-hati mengumpulkan remahan lumpur kering pada handuk kecil yang disiapkannya, percuma kalau Ash malah sembarangan menghamburkan ke segala arah sekarang.Namun, memang Ash tidak berminat bergerak lagi begitu Mae menyentuhnya. Ia menatap Mae yang bergerak mondar-mandir antara kamar dan dapur.“Ini.” Mae kembali, dan mengulurkan handuk basah. Bukan hanya basah, tapi hangat. Ash menatap handuk di tangannya, kembali bingung oleh segala perhatian itu. Tidak mengira Mae bisa memberi perhatian sampai detail kenyamanan dengan membasahi handuk dengan air hangat.“Bukan untuk dipandang saja, Ash. Kau itu kenapa?” Mae mendecak, dan mengambil lagi handuk itu, dengan tid
Ash awalnya tidak mengindahkan, tapi tangan itu bergerak memaksa Ash menerima, tidak peduli pada perbedaan ukuran tubuh.Ash akhirnya menerima, tapi tetap memakai tangannya sendiri untuk duduk. Penerimaan itu hanya formalitas agar tidak membuat kecewa.Akhirnya Ash bisa melihat wajah ‘penolongnya’, polos, dengan mata berbinar, tersenyum, memamerkan giginya yang tidak lengkap. Rambutnya berantakan, dan jelas baru saja bermain seharian di bawah matahari.“Aku Mary.” Gadis itu tersenyum lagi dengan cerah.“Kau siapa?” tanyanya.“Ashton Payne.” Ash tidak biasanya berminat berkenalan dengan siapapun penghuni lain rumah adopsi, tapi senyum itu terlalu murni untuk ditolak.“Apa sakit? Ini, agar kau tidak sakit.” Tangan Mary yang tadi menolongnya, terulur lagi dengan lollipop berwarna pink di tangannya.“Ini simpananku, tapi untukmu saja.” Penawaran manis, tapi Ash menolak dengan gelengan. Ash tidak merasa perlu permen tentu.Lagi, tangan itu memaksa, terus terulur dan menggoyangkan permen it
“Ini.” Mae mengulurkan piring, saat Ash masuk ke dapur. Rambutnya masih basah. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dan akan mengambil minum.“Apa?” Ash bingung.“Di situ.” Mae menunjuk meja makan.Belum menjelaskan apapun, tapi Ash sudah melangkah dan duduk dengan patuh, menunggu saat Mae kembali mondar-mandir di dapur.“Aku mencoba resep baru untuk sausnya, tapi seharusnya lezat.” Mae meletakkan piring lain di hadapan Ash, berisi kentang tumbuk, asparagus rebus bertabur merica hitam, dan salmon disiram saus berwarna putih.“Ini untuk apa?” Ash mengangkat piring kosong yang masih di tangannya. Ia mengira Mae akan mengisinya dengan makanan.“Oh, itu untuk…” Mae kembali bangkit, dan membawa piring lain, lebih besar, berisi… brownies bertabur almond yang identik dengan apa yang dibawa Ash kemarin.Mae memindahkan sepotong ke atas piring kosong itu, dan mengembalikannya di hadapan Ash.“Kau menginginkannya bukan?” tanya Mae, ingin memastikan mimpi Ash benar, meski sudah hampir seratus pe
“Aku tidak memaksa. Hanya usul.” Ash langsung menegakkan punggung. Rasanya bahkan lebih buruk, dibanding saat kemarin ia membuat kesalahan pada Parker. “Usul yang buruk!” sergah Mae. Ia tidak pernah ingin membahas penyakitnya dengan Ash yang pasti. “Tapi kau memang sakit. Kau tidak ingin sembuh?” Ash bukan ingin menantang, tapi Mae terkesan tidak ingin membuat keadaannya menjadi lebih baik. “Memang kalau sembuh kenapa? Kau ingin apa? Agar kau bisa tidur denganku segera setelahnya?” Mata Mae menyipit sampai hampir menyerupai garis, curiga amat sangat. Ash mendesah. Ia telah membangunkan Mae dengan pertanyaan itu. Hilang sudah Mary, hanya tinggal Mae sekarang. “Kau tahu itu tidak benar, Mae. Bukan itu tujuanku.” Mencintai atau tidak, Ash tidak berpikir ke arah sana saat menginginkan kesembuhan Mae. Jangankan tidur bersama, Ash bahkan belum tahu bagaimana caranya untuk bicara tanpa membawa kekacauan untuk Mae saat ini. Tentang kesalahannya, tentang penyakitnya, dan banyak lagi. Ash
“Apa kau kerasukan setan neraka, atau melampiaskan kejengkelan? Tolong katakan kalau ini bukan akibat mood-mu yang buruk!” Ian mengeluh, memaki, dan menegur Ash dalam satu kalimat bisikan. Bisikan yang sulit juga, karena harus dilakukan sambil berlari. Bukan hanya Ian yang berlari tentu. Ash mempraktikkan latihan berstandar siksa neraka itu pada seluruh anggota kompi yang dipimpinnya. Ash sedikit menurunkan levelnya tapi, tentu tidak ingin anak buahnya banyak yang mati. Satu-satunya hal yang membuat mereka tidak bisa mengeluh berjamaah—kecuali Ian—atas kesulitan itu adalah kenyataan kalau Ash mengikuti semua langkah latihan itu. Ash ikut berlari, melompat, merangkak dan lainnya. Ikut berkeringat dan berlumpur lagi. Tidak mungkin ada yang berani mempertanyakan. Kalau Ash saja bisa melakukannya, maka mereka juga harus bisa. “Ash? Katakan padaku!” Ian menuntut lagi dalam bisikan, setelah berhasil menyusul Ash melompati halang rintang. Lompatan itu yang terakhir. Yang lain memilih be
“Mae?” Daisy menarik tangan Mae, setelah tidak mendapat tanggapan padahal sudah bicara cukup panjang.“Oh? Bagaimana?” Mae mengedip kebingungan, memang sejak tadi ia melamun. Tidak terlalu mendengar apa yang dikatakan Daisy.“Ada apa denganmu? Aku tadi menunjukkan ini, tapi kau tidak peduli.”Daisy mengulurkan ponsel Mae yang ada di tangannya, memperlihatkan gambar kue yang diinginkannya—croissant berbentuk kerang dengan taburan gula halus. Mae tadi memang menawarkan pada Daisy untuk meminta kue yang manapun, tapi malah tiba-tiba diam.“Kau menginginkan ini? Boleh saja. Aku akan mencoba membuatnya. Kau ingin yang berisi custard? Lemon custard aku rasa bisa, atau coklat.”Mae mendecak setelah itu, karena pilihan coklat dengan otomatis membuatnya memikirkan Ash. Orang yang sedang tidak ingin dipikirkannya—apalagi sejak tadi sudah mengisi lamunannya tanpa permisi. Semakin tidak ingin memikirkan, Mae malah merasa semakin mudah mengingatnya.“Lemon. Tapi ada apa denganmu?” Daisy harus kem
“Bagaimana?”Ash sejenak menatap nama pada ponselnya. Memastikan telah menyentuh nama yang benar. Memang Mae, tapi suaranya berbeda.“Lepaskan! Kau Ashton? Pria yang dekat dengan kakakku?”Ash mendengar suara keributan—perebutan ponsel sepertinya. Saat menyebut ‘kakak’, Ash sadar siapa yang menjawab panggilannya itu. Adik yang pernah dianggapnya tidak ada.“Ya?” Ash tidak yakin harus menjawab apa, antara ingin iya saja—mengikuti kata hatinya, tapi mendengar teriakan dan kepanikan Mae di latar belakang, sepertinya ia tidak akan setuju.“Ya saja? Iya atau tidak—Mae, tunggu di sana, atau aku akan berlari!”Ash mendengar keributan lagi, dan sepertinya Mae masih kalah, karena Ash kembali mendengar suara asing setelahnya.“Aku Daisy. Kau Ashton bukan? Aku membaca namamu di ponsel Mae.”“Ya, halo. Ash saja.” Ash yang tadinya bersandar, langsung menegakkan diri—lebih resmi, padahal jelas tidak ada yang melihat sikapnya.“Oke, Ash. Apa kau ingin bicara pada kakakku?” tanya Daisy.“Ya, aku…”“B