RaSP. (Royalty and Specialist Protection) : Lembaga yang menyediakan perlindungan untuk keluarga bangsawan Inggris, juga pejabat politik tingkat tinggi.
Mae sudah tahu harinya akan menyebalkan—sudah bersiap, tapi ia tidak bersiap untuk menunggu. Mae tidak tahu kalau ada bagian menunggu yang sangat lama.Setelah tiga jam ada dalam ruangan itu bersama Hubert menunggu giliran hakim memanggil, sekarang di dalam ruang sidang pun, Mae masih harus menunggu hakim membaca dokumen perkara miliknya.Mae mungkin tidak akan mengeluh, seandainya kursinya yang Evelyn tidak berdekatan. Mae bisa mendengar decak lidahnya setiap beberapa menit sekali sekarang. Seperti metronome yang mengingatkan ketukan.Tapi nasib baik masih sedikit ada. Mae lega Evelyn sendiri, anak tiri setan satunya tidak datang—entah kenapa. Mae tidak perlu melihat wajah mesum menjijikkan yang lain—kecuali Hubert.Tapi ada kekurangan juga, karena Mae membawa teman. Beberapa wanita yang pernah dilihat Mae di rumah Barnes atau pemakaman. Mereka kini menjadi penonton sidang, tak lupa sambil berkicau dalam bisikan. Topik kicauan mereka tentu saja Mae. Tidak perlu mendengar, Mae tahu m
“Jangan bicara sebelum aku izinkan! Peringatan untukmu, Mrs. Cooper!”Bentakan galak dari hakim membuat Mae beralih dari Ash. Yang lain yang tadinya juga tertarik melihat siapa yang datang, kembali berpaling pada Mae. Tidak lagi menganggap penting kedatangan Ash.Bahkan Evelyn belum sempat memandang, ia kembali memandang Mae untuk melontarkan senyum ejekan. Puas Mae mendapat teguran.“Maaf, Yang Mulia.” Mae mengangguk dan kembali menunduk. Sekilas ia melirik Hubert yang tampak menggeleng perlahan, menyuruhnya diam saja selama sidang. Tapi memang Mae tidak ingin bicara lagi, sibuk mengira-ngira Ash mengetahui sidang itu dari mana.Mae bahkan membawa surat panggilan itu, Ash seharusnya tidak tahu kalaupun seandainya ia pulang kembali ke rumah untuk sesuatu.Mae beberapa saat tidak fokus, mendongak menatap Ash, tidak mendengarkan pertanyaan hakim untuk Evelyn.Mata mereka bersiborok, dan warna biru itu khawatir, Mae melihatnya lagi. Raut wajah dan mata Ash sama seperti kemarin saat menya
Seperti yang lain, Ash berhenti bergerak—menahan napas saat Hubert menyebut keadaan Mae itu. Rombongan ribut yang tadi ada di depannya juga mendadak diam, bahkan decak dan rintihan Evelyn terhenti.Ash perlahan meremas lututnya. Menahan diri agar tidak terlalu terlihat terpukul.Fakta itu mengejutkan, tapi pada saat yang bersamaan, tidak mencengangkan. Hanya melengkapi aneka pertanyaan yang sudah ada dalam benak Ash. Mengkonfirmasi apa yang kemarin tersentuh olehnya. Mae bukan tidak terpengaruh oleh segala ciumannya, hanya tidak bisa.Ash mengusap wajahnya setelah itu, mengucap syukur dalam hati, karena masih waras saat menyadari keanehan Mae. Kalau benar saat itu ia mengikuti nafsu—atau setelahnya menyerah pada godaan Mae, maka berarti dirinya menyakiti Mae. Meski itu yang diinginkan Mae, tapi tetap akan menyakitinya. Kali ini akal sehatnya menuntun ke jalan yang benar dan lurus.Ruangan itu sedikit terpecah oleh suara kertas yang dibalik, hanya Hakim itu yang tidak kehilangan fokus
Reaksi paling keras tentu dari Evelyn.“Tidak bisa! Semua sudah jelas! Aku tidak terima jalang itu mengambil uang ayahku! Dia tidak berhak…”Suara palu kembali menghentikan protes Evelyn. “Diam! Kau masih ada di ruang sidang, dan hormati lembaga ini!” Hakim itu menunjuk Evelyn dengan palunya.“Kalau kau bisa menangis sebagus itu, seharusnya kau bisa membuat kebohonganmu lebih sempurna!” Hakim itu mencela kebohongan Evelyn akhirnya.“Soal warisan itu, kalau kau masih bermasalah, maka ajukan gugatan perdata, jangan membuang waktuku yang sudah sempit ini!” Hakim itu memberi nasehat tambahan untuk Evelyn saat berdiri untuk meninggalkan ruangan.Evelyn tampak mengepalkan tangan. Kalau bisa, mungkin dia akan berteriak, kalau nasehat itu tidak berguna. Evelyn bukan belum memikirkan gugatan perdata, tapi cara itu tidak mungkin. Warisan ayahnya dan surat-suratnya legal dan sah secara hukum, tidak ada celah untuk digugat, karenanya ia mengambil cara pidana yang ternyata juga gagal.“Selamat,
Ash yang fokus menuruni undakan, berpaling menatap Mae. “Ada apa?” Ia tidak bisa mengikuti jalannya pikiran Mae, tentu bingung mendengar pertanyaannya. “Ini mungkin terdengar membosankan, tapi kenapa kau melakukan hal sejauh ini untukku?” Mae tahu ia mengulang pertanyaan, tapi masih merasa perlu menanyakannya, karena sudah terlalu tidak masuk akal. “Aku ingin menolong…” “Ok, kau baik. Tapi apa harus sejauh ini? Kau memberiku rumah, menghabiskan paling tidak dua ratus ribu pound untukku, padahal kita menikah belum sampai sebulan, sementara aku tidak memberikan apapun padamu. Apa kau melihat ketimpangannya? Kau memberi banyak hal—aku tidak ada!” Ash sudah kembali berjalan, bukan hanya untuk mencari tempat bicara yang lebih tertutup, tapi untuk berpikir. Sayangnya tidak ada apapun di tepi jalan besar itu–kecuali gedung, Ash hanya bisa terus berjalan menyusuri trotoar batu hitam. “Ash? Apa kau mendengarku?” Mae tentu dengan terpaksa mengikuti. “Aku mendengar. Dari semua hal, aku pa
“Itu apa?” Mae bertanya dengan suara tertekan, karena memang saluran napasnya tertekan oleh ingus. Mae sudah mencoba mengeluarkan semua, tapi hanya menghasilkan hidung merah dan kepala sakit sejauh ini. Meski sudah menghabiskan banyak tisu di meja. Mereka duduk di salah satu kedai makanan cepat saji, tidak jauh dari gedung pengadilan. Ash yang mengusulkan setelah Mae lebih tenang. Terlalu jauh untuk langsung pulang dalam keadaan lapar. “Ini?” Ash melepaskan benda yang tadi ditunjuk Mae dan menyerahkannya. Kalung metal dengan dua bandul plat bundar, yang melingkar di lehernya. Mae baru melihat karena Ash melepaskan bagian luar seragamnya—basah karena air mata Mae—menyisakan kaos hijau, dan kalung itu. “Cooper, Ashton. Mayor.” Mae membaca bagian atas tulisan yang ada di bandul itu. Ada tulisan lain, tapi Mae tidak terlalu paham artinya. Ada angka dan huruf. “Itu Dog tag.” (Tanda nama anjing) “Anjing siapa?” Mae kaget. “Bukan hinaan, itu hanya sebutannya. Nama resminya identity
PRANG!Evelyn melempar piring yang ada di meja makan, juga semua kelengkapannya yang sejak tadi sudah tertata rapi. Makan malam belum dihidangkan pelayan, jadi piring itu masih kosong. Setidaknya yang ada di lantai kini hanya pecahan piring dan gelas, tidak lengket bercampur makanan.“Apa kau gila?!” Dex muncul dan menegur. Ia mendekat sambil berjalan pincang dari kamar tempatnya berbaring sejak tadi. Keadaannya belum normal, pangkal pahanya masih sakit karena injakan ‘perampok’ kemarin.“JALANG ITU SIALAN!” pekik Evelyn. Ia baru saja kembali dari gedung pengadilan. Penghiburan yang tadi disampaikan teman-temannya tidak terlalu berguna, Evelyn tetap saja marah luar biasa.“Ada apa… Jangan katakan kita kalah!” Dex terkesiap, mulai bisa menebak apa yang membuat kakaknya menjadi semurka itu.“YA! Jalang itu menang. Brengsek sekali!” Evelyn mengeluarkan semua makian yang sejak tadi tertahan di lehernya. Ia menahan diri agar tidak memaki banyak-banyak di depan teman-temannya, terutama kare
[Maaf aku harus berangkat pagi dan mungkin pulang sangat larut Atau mungkin tidak pulang. Aku sudah memesan tempat untuk makan malam kita besok] Mae setengah menguap saat membuka kulkas untuk mengambil minuman, lalu tanpa sengaja membaca lagi pesan dari Ash—menempel pada pintu kulkas. Mae menemukannya tadi pagi saat membuat sarapan, dan menurutnya itu kemajuan yang mengejutkan. Ash biasanya tidak menitipkan pesan apapun saat pulang terlambat maupun berangkat lebih pagi. Bukannya Mae merasa perlu sebelumnya, tapi pesan itu membuat Mae merasa lebih dihargai. Bukannya Ash belum cukup menghargai Mae sebelumnya, tapi Mae merasa lebih dianggap lagi. Mae bisa melihat perhatian Ash sekarang. Tapi rasa menyenangkan itu tidak bertahan sampai sekarang, karena pesan itu sudah berumur dua hari. Saat ini adalah sabtu. Besok yang disebut dalam surat Ash, adalah hari ini. Hari janji di mana mereka ada akan makan malam bersama. Mae tahu Ash belum pulang—tanpa perlu memeriksa kamar, karena makanan