Home / Pernikahan / SUGAR DADDY TERAKHIRKU / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of SUGAR DADDY TERAKHIRKU: Chapter 31 - Chapter 40

433 Chapters

Aku Ingin Tahu

“Ini, minum. Aku rasa kau sangat kurang caffeine. Emosi beruntun yang tidak jelas itu mungkin bisa disembuhkan dengan kafein.” Ian mengulurkan kopi di depan Ash, lalu duduk di sampingnya.Air liur Ash nyaris saja menitik. Aroma harum kopi itu sangat menggoda, lidahnya seolah bisa mengecap rasa pahit, gurih, dan sedikit asam dari cairan yang berwarna hitam itu. Tapi Ash menggeleng dan menyingkirkannya. Kalau tidak dimulai sekarang, akan lebih sulit baginya terlepas dari minuman itu. Sekarang saja ia sudah sangat sulit untuk mengatasi dorongan mencandu kafein yang muncul setiap pagi. Kalau menyerah sekarang, maka ia tidak akan pernah bisa berhenti.Ash mungkin bisa menahan diri untuk tidak minum kopi saat bersama Mae, tapi akan ada aroma yang akan dibawanya. Ash bisa menghabiskan enam cangkir kopi biasanya. Aroma kopi tidak pernah lepas darinya. Ada kemungkinan Mae akan mencium aromanya. Itu yang dihindari Ash.“Kau aneh sekali. Kenapa mendadak kau menghindari kopi? ini tidak normal.”
Read more

Aku Curiga!

“Ini Mary.” Mae tersenyum, karena memang Mama Carol memintanya untuk tersenyum saat memperkenalkannya pada teman. Teman Mama Carol yang mengundang mereka datang kali ini memiliki mata yang besar, membuka dengan ramah dan tampak tersenyum saat mengusap kepalanya. Mae lebih mudah tersenyum padanya juga.“Dan ini yang sakit?” Pria bermata besar itu berpaling pada Daisy yang ada di atas kursi rodanya. Daisy mengangguk dan menjabat tangan yang terulur padanya. “Daisy.” “Kau malang sekali.” Pria itu mendesah dan menepuk pelan kepala Daisy dengan wajah prihatin. Mama Carol pasti sudah menceritakan apa penyakit Daisy kepadanya. “Daisy sangat kuat tapi, sangat tegar melawan penyakit ini. Aku bangga sekali padanya.” Mama Carol mengecup puncak kepala Daisy, dengan lembut. Pria bermata besar itu mengangguk lagi, dan kembali pada Mae. “Mary, kau tolong bawa Daisy ke sana. Bermainlah di dekat kolam. Jangan jauh-jauh.” Pria itu dengan baik hati memberi izin, sambil menunjuk ke arah kolam. Ada
Read more

Aku Tidak Percaya Pada Ketulusan

“Mae, aku sudah memintamu untuk tidak membahasnya.” Ash menggeleng dan menggandeng tangan Mae, turun dari teras kantor polisi itu, sampai masuk ke mobil.“Aku masih ingat, tapi aku tidak ingin percaya.” Mae sejak tadi tidak sedikitpun mengalihkan pandangan dari Ash, yang sekarang kembali berhenti bergerak, batal menghidupkan mobil.“Aku ingin melakukan sesuatu—hal baik untukmu dan kau memilih tidak percaya kalau aku tidak akan meminta apapun? Kau lebih percaya kalau aku meminta tubuhmu. Begitu maksudnya?” Ash bersandar lalu menatap wajah pucat Mae.“Ya, karena masuk akal. Apa yang kau lakukan saat ini sangat tidak masuk akal. Siapa orang yang memberikan ratusan ribu pound tanpa meminta balasan? Keadaan itu hanya dongeng, dan aku benci dongeng.” Mae panjang lebar menjelaskan, nadanya masih menuduh.Ash terdiam, sambil meremas kemudi yang ada di tangannya, karena Mae benar. Dirinya saat ini terlihat tidak meminta imbalan, tapi niatnya tidak semurni itu. Ash melakukan semua itu untuk men
Read more

Aku Tidak Akan Bertanya Lagi

“Aku rasa kau harus makan. Apa kau makan saat di penjara?” tanya Ash.Ia membongkar kotak obat miliknya dan menemukan pereda nyeri. Tapi saat akan memberikannya, Ash meragu.“Aku… makan.” Mae yang sudah duduk di ranjang, mengelus perutnya. Mae tadi tidak merasa lapar, tapi perlahan ingat kalau memang ia tidak menelan makanan apapun semenjak kemarin.Ada makanan yang diantar untuknya, tapi Mae tidak menyentuhnya. Akhirnya dibawa lagi saat jam makan telah lewat. Mae tidak berminat makan, terlalu kalut.“Belum, aku belum makan.” Mae meralat jawabannya sendiri, mungkin itu yang membuatnya pusing.“Sebentar.” Ash meletakkan obat yang di bawanya ke atas meja lalu keluar. Kembali tidak sampai dua menit, membawa bungkusan berwarna hijau tua. Warna yang mengindikasikan kalau bungkusan itu adalah bagian dari peralatan militer yang dibawanya pulang. Memang berasal dari tas yang belum sempat dibongkar Ash semenjak pulang kemarin.“Aku tidak punya makanan lain. Rasanya mungkin keras dan kering, ta
Read more

Aku Tahu Dimana Dia

“Apa maksudmu dihentikan?! Aku tidak ingin menghentikannya!” Dex memprotes setelah mendengar keterangan dari polisi yang baru saja menghubunginya lewat telepon itu. Menyebut kalau kasus penyerangannya dihentikan.“Maaf, tapi bukti yang ada ajukan kurang kuat, dan tidak cukup untuk membuat tuntutan.” Polisi itu menjelaskan lagi dan tentu saja Dex mendengus tidak puas.“Apa maksudmu kurang kuat? Aku sudah memberikan bukti autopsi yang jelas. Aku…”“Anda melakukan otopsi setelah beberapa hari penyerangan itu terjadi— tidak langsung saat itu. Kami tidak bisa memakai hasilnya sebagai bukti. Tidak lagi valid.”Dex sangat ingin mengungkap, tapi tahu benar kalau mengumpat pada polisi akan berakibat buruk. Ia Hanya bisa mengepalkan tangan menahan kejengkelan. ia tidak berpikir untuk melakukan otopsi secepat mungkin karena terlalu malu.“Tapi apa kalian sudah memeriksanya? Apa…”“Kami tidak bisa melakukan pemeriksaan apapun kalau buktinya tidak kuat. Hakim tidak menerbitkan surat penangkapann
Read more

Aku Ingin Tahu Caranya

Mae tadi mengira dirinya sedang bermimpi—atau mungkin sakit kepalanya menjadi semakin parah, karena ia terus mendengar suara pukulan berulang kali. Sampai akhirnya Mae menyadari kalau suara pukulan itu nyata, bukan bagian dari mimpi ataupun sakit kepalanya. Mae juga menemukan sumbernya dengan cepat. Ternyata Ash yang tengah memperbaiki pagar bagian samping. Tidak jauh dari jendela kamarnya Pagar bagian depan rumah itu masih cukup utuh—masih bisa berfungsi dan menutup, tapi untuk bagian samping, hampir semuanya runtuh. Sebenarnya runtuh pun tidak masalah, karena bagian yang runtuh itu tertutupi oleh rumput yang tinggi. Tapi menurut Ash termasuk masalah, karena sekarang ia bekerja keras untuk memperbaikinya. Mae bersandar pada kusen jendela yang terbuka lebar, menikmati teh hangat yang baru saja di bawanya dari dapur, menatap kerja keras yang terjadi di hadapannya. Mae membuka kedua daun jendela yang tingginya hampir sedada itu selebar mungkin, untuk pemandangan yang utuh. Mae meng
Read more

Aku Punya Adik

“Cara… apa…”Mae tidak bisa memberi jawaban, bahkan untuk mengerti saja butuh beberapa saat. Tentu penawaran seperti itu juga belum pernah datang padanya.Biasanya Mae menerima penawaran perhiasan, hadiah, tas, gaun atau barang mewah lainnya, dan tentu penawaran itu bukan pemberian tanpa pamrih. Mae harus memberi balasan atas hadiah itu. Untuk yang ini, sudah pasti Ash tidak memintanya.“Aku tidak pernah merasa harus membuktikan ketulusan pada siapapun, jadi tidak tahu.” Ash mengulang pengakuannya.“Dan kau pikir aku tahu? Aku juga belum pernah merasa harus tahu apakah seseorang tulus,” sergah Mae. Tidak mungkin ia punya jawaban untuk pertanyaan seaneh itu.“Iya juga.” Ash bisa memahami kesulitannya, sekaligus menyadari kalau pertanyaan itu mungkin berlebihan. Ia malah membuat Mae ikut bingung.“Begini saja, apa kira-kira yang paling kau inginkan saat ini? Aku akan memberikannya, tanpa syarat. Hanya aku berikan saja. Tentu dalam bingkai jumlah uang yang aku punya.”Ini lebih mudah seh
Read more

Aku Ingin Tahu Apa yang Dilakukannya

“Kau membuat apa? Aromanya harum.” Ash masuk ke dapur, karena seluruh rumahnya kini beraroma manis dan jeruk. Mae baru saja mengeluarkan kue hasil buatannya dari oven.Oven itu tidak rusak ternyata, hanya ada saluran gas di balik pintu yang belum dibuka. Modelnya terlalu kuno sampai Mae tidak tahu cara memakainya. Setelah Ash menunjukkan, kegiatan membuat kue untuk Daisy berjalan lancar.“Lemon layer cake.” Mae mulai menghias kue itu. Ia membelah kue bulat itu menjadi dua, dan menyatukannya lagi memakai whipcream beraroma lemon juga yang sudah dibuatnya.“Kau hobi membuat kue?” tanya Ash—sambil terus mengawasi gerakan Mae yang cekatan. Mae terlihat seperti profesional. Tapi hobi itu tidak terlalu sesuai dengan kehidupan Mae menurut Ash.“Bukan hobi, tapi aku membuatnya untuk Daisy. Ia menyukai kue, tapi tidak bisa sering membelinya. Kue buatan toko terlalu banyak gula dan bahan-bahan yang tidak diketahui. Sekali dua kali tidak masalah, tapi kalau sering, akan lebih aman kalau membuat
Read more

Aku Lawan yang Tangguh

“Sebulan?” Mae kecewa tentu. Ia mengira operasi Daisy bisa dilakukan segera setelah ia memberikan uang, bukan harus menunggu lagi.“Ini bukan pembelian, Mae. Kau tidak bisa mendapat barang hanya karena membayar. Aku masih harus memberikan uang ini pada orang yang mengurus daftar donor, agar ia bisa mengubah urutan nama Daisy menjadi nomor satu. Kalau tersedia, Daisy akan mendapat prioritas.” Dokter Faraday menjelaskan dengan lembut dan wajah menyesal.“Prosesnya masih panjang rupanya,” kata Mae dengan muram.“Sebulan itu tidak pasti, asalkan dalam waktu dekat ada donor yang cocok, Daisy bisa langsung dioperasi.” Dokter itu memberikan penghiburan sambil menepuk tangan Mae yang ada di meja. “Aku memberi sebulan itu karena menurut temanku ada donor cukup cocok dengan Daisy sebenarnya, hanya pendonornya masih hidup–koma. Brain dead, hanya ditopang oleh alat bantu medis agar tetap bisa bernafas. Saat ini keluarganya sedang bertikai untuk menentukan nasibnya. Berharap saja mereka bisa cepa
Read more

Aku yang Membuatnya Menderita

“Kesempatanmu habis. Dia tidak akan membalas perasaanmu.” Ash baru saja berbelok, berjalan menuju kantornya, saat mendengar Ian, sedang bicara pada Ella, di depan pintu kantornya. Ella adalah satu-satunya anggota wanita dalam kesatuan Ash. Ia kemarin juga ikut ke Peru. “Just shut up! Kau berisik!” Ella terlihat kesal, dan menampar bagian belakang kepala Ian. Itu normal, Ian memang bisa membuat siapapun mudah kesal padanya.“Aku serius, kau akan sakit hati kalau terus berharap padanya.” Ian mengeluh sambil mengusap kepalanya. “Aku rasa kau sangat salah kalau mengambil nasehat masalah cinta darinya.” Ash menyahut. Ian dan Ella terperanjat dan Ella tampak pucat saat mengangkat tangannya ke kening—memberi hormat pada Ash. Ia tidak sesantai Ian tentu, kedekatannya berbeda. Pucat itu bukan karena takut tapi, lebih ke arah panik karena seharusnya pembicaraan tadi tidak didengar oleh Ash. “Ini, kau bagi saja.” Ash mengulurkan kotak rapi berpita pink—pada Ella, tapi tangan Ian yang menyam
Read more
PREV
123456
...
44
DMCA.com Protection Status