“Kau membuat apa? Aromanya harum.” Ash masuk ke dapur, karena seluruh rumahnya kini beraroma manis dan jeruk. Mae baru saja mengeluarkan kue hasil buatannya dari oven.Oven itu tidak rusak ternyata, hanya ada saluran gas di balik pintu yang belum dibuka. Modelnya terlalu kuno sampai Mae tidak tahu cara memakainya. Setelah Ash menunjukkan, kegiatan membuat kue untuk Daisy berjalan lancar.“Lemon layer cake.” Mae mulai menghias kue itu. Ia membelah kue bulat itu menjadi dua, dan menyatukannya lagi memakai whipcream beraroma lemon juga yang sudah dibuatnya.“Kau hobi membuat kue?” tanya Ash—sambil terus mengawasi gerakan Mae yang cekatan. Mae terlihat seperti profesional. Tapi hobi itu tidak terlalu sesuai dengan kehidupan Mae menurut Ash.“Bukan hobi, tapi aku membuatnya untuk Daisy. Ia menyukai kue, tapi tidak bisa sering membelinya. Kue buatan toko terlalu banyak gula dan bahan-bahan yang tidak diketahui. Sekali dua kali tidak masalah, tapi kalau sering, akan lebih aman kalau membuat
“Sebulan?” Mae kecewa tentu. Ia mengira operasi Daisy bisa dilakukan segera setelah ia memberikan uang, bukan harus menunggu lagi.“Ini bukan pembelian, Mae. Kau tidak bisa mendapat barang hanya karena membayar. Aku masih harus memberikan uang ini pada orang yang mengurus daftar donor, agar ia bisa mengubah urutan nama Daisy menjadi nomor satu. Kalau tersedia, Daisy akan mendapat prioritas.” Dokter Faraday menjelaskan dengan lembut dan wajah menyesal.“Prosesnya masih panjang rupanya,” kata Mae dengan muram.“Sebulan itu tidak pasti, asalkan dalam waktu dekat ada donor yang cocok, Daisy bisa langsung dioperasi.” Dokter itu memberikan penghiburan sambil menepuk tangan Mae yang ada di meja. “Aku memberi sebulan itu karena menurut temanku ada donor cukup cocok dengan Daisy sebenarnya, hanya pendonornya masih hidup–koma. Brain dead, hanya ditopang oleh alat bantu medis agar tetap bisa bernafas. Saat ini keluarganya sedang bertikai untuk menentukan nasibnya. Berharap saja mereka bisa cepa
“Kesempatanmu habis. Dia tidak akan membalas perasaanmu.” Ash baru saja berbelok, berjalan menuju kantornya, saat mendengar Ian, sedang bicara pada Ella, di depan pintu kantornya. Ella adalah satu-satunya anggota wanita dalam kesatuan Ash. Ia kemarin juga ikut ke Peru. “Just shut up! Kau berisik!” Ella terlihat kesal, dan menampar bagian belakang kepala Ian. Itu normal, Ian memang bisa membuat siapapun mudah kesal padanya.“Aku serius, kau akan sakit hati kalau terus berharap padanya.” Ian mengeluh sambil mengusap kepalanya. “Aku rasa kau sangat salah kalau mengambil nasehat masalah cinta darinya.” Ash menyahut. Ian dan Ella terperanjat dan Ella tampak pucat saat mengangkat tangannya ke kening—memberi hormat pada Ash. Ia tidak sesantai Ian tentu, kedekatannya berbeda. Pucat itu bukan karena takut tapi, lebih ke arah panik karena seharusnya pembicaraan tadi tidak didengar oleh Ash. “Ini, kau bagi saja.” Ash mengulurkan kotak rapi berpita pink—pada Ella, tapi tangan Ian yang menyam
“Tentu. Saya akan segera berangkat.”Suasana hati Ash yang muram—karena diskusinya dengan Ian yang tidak memuaskan—langsung cerah. Stone baru saja mengatakan kalau ia punya kabar menarik tentang kasus Mae. “Saya bisa mengatakannya lewat telepon, tapi ada hal yang perlu saya perlihatkan.” Stone menyimpan kabarnya sampai mereka bertemu.“OK. Kita bertemu nanti.”Ash menyimpan kembali ponselnya, lalu berjalan ke tengah lapangan, dan meniup peluit. Tangannya terangkat ke atas. Semua tentara yang sejak tadi berlari mengelilingi lapangan, langsung berkumpul di depannya. Berbaris rapi satu lapis, berjumlah hampir seratus orang—minus yang bertugas jaga. Keadaan mereka semua sama—termasuk Ian dan Ella, berkeringat, napas terengah, kumal, dan tentu menderita. Memang itu tujuannya.Ash menyuruh mereka berlari mengelilingi lapangan sebanyak seratus kali tadi. Mereka sudah melakukan separuhnya paling tidak, sudah cukup lumayan. Lapangan itu lebih besar dari ukuran lapangan sepak bola, lima pulu
Ash tidak membacanya dari dokumen Hubert kemarin, karena fokus pada tuntutan. Ia tidak membaca detail bagian itu. “Apa itu? Kenapa…” Ash menjepit mulut Ian dengan tangannya, memintanya diam. “Apa ini berarti Mary akan bebas?” Ash berusaha fokus pada kemajuan. Ash ingin menghapus keterangan itu, dari ingatannya dan dari kenyataan agar tidak ada orang yang tahu. Tetapi sudah terlanjur. Sudah tertulis di banyak dokumen dan sudah banyak orang yang tahu. “Saya sudah mengirim surat otopsi yang asli ini, dan mereka akan menimbang ulang, tapi bukan berarti melenggang bebas. Kemungkinan pembunuhan berencana sudah tidak mungkin, tapi kasus kelalaian yang menyebabkan seseorang meninggal masih sangat bisa.” “Kelalaian bagaimana?” Ian sudah pulih dari tersedak dan heran sekarang. “Bisa jadi korban meminum obat itu atas permintaan tersangka—untuk ‘menghidupkan’ alat….” “Aku paham.” Ash menyela. Tidak perlu mendengar detail lagi. “Dari situ jaksa masih bisa membuat tuntutan. Bukan sengaja,
“Aku akan membuat lebih banyak kalau memang mereka suka.” Mae berdiri akhirnya, tapi tidak lancar. Gerakannya lambat, karena punggungnya sakit. Ia melakukan yoga itu karena alasan yang sama. Anak tiri setan itu tenaganya amat kuat. Benturan pada punggung Mae tadi rupanya cukup kuat. Mae tidak merasakannya saat melarikan diri, tapi setelah sampai dan tenang, Mae menyadari dan berusaha membuatnya menjadi lebih baik dengan melakukan yoga. Melakukan peregangan agar ototnya lemas.“Mae? Apa kau sakit?” Ash tidak lagi berpaling, setelah melihat bagaimana Mae bersusah payah menegakkan tubuh, ia tidak lagi memikirkan hal lain—termasuk bentuk tubuh Mae, dan mendekatinya.“Ada apa?” tanya Ash.“Punggung.” Mae menjelaskan separuh saja lalu duduk di sofa.“Apa punggungmu sakit? Tapi kenapa? Apa karena kue itu? Kau membuat terlalu banyak?”Mae yang sedang berusaha mengelus punggungnya menatap Ash. “Kue?”“Itu… Kau bekerja cukup keras tadi.” Ash hanya melihat bagaimana Mae begitu sigap membuat kue
“Mae?” Ash mengembalikan kesadaran Mae—dengan sentuhan di pipi—yang mudah saja terhanyut setiap kali mengingat monster itu. Mari melihat akhrinya. Mata biru Ash yang menatapnya sangat jernih. Tidak terlihat ingin menikmati, tidak terlihat puas.Bersama kerutan keningnya, Mae hanya melihat khawatir. Peduli, ingin tahu apa yang menimpanya. Mae juga sudah lama tidak melihat itu. Mae harus mengingat dan mencari untuk tahu kalau raut wajah itu adalah bentuk khawatir karena lupa. “Apa sangat sakit? Apa aku salah? ” Ash yang tidak juga mendapat jawaban, tentu semakin panik, mengira Mae semakin sakit karena sentuhannya.“Bukan itu.” Mae menggeleng. “Aku bertemu Dex. Dia…”“Dexter? Dia melakukan ini padamu? ” Ash mencengkram lengan Mae, terkejut, dan murka bersamaan. Ia tidak perlu menebak siapa Dex. Ash melihat nama Dexter dari surat panggilan polisi untuk dirinya. Tidak sulit menyimpulkan siapa. “Kau tahu siapa dia?” Mae terkejut juga pastinya. “Aku melihatnya saat pemakaman itu.” Buk
“Tapi aku tidak bisa mengangkatnya. Ukurannya cukup besar, tapi tetap lincah. Semua bola yang aku lempar ditangkap olehnya, tepat sekali. Oh, namanya Molly. Aku belum menyebutnya kemarin.” Suara Daisy yang bercerita, terdengar terlalu bersemangat, sampai nafasnya berbunyi. Mengerahkan segala tenaga yang dimilikinya untuk mewakili antusias. Mae bisa membayangkan bagaimana cara Daisy saat mengatakannya. Pasti duduk di atas kursi rodanya, sambil mengangkat tangan untuk memperagakan lemparan bola. Daisy selalu ekspresif saat bercerita. Mae berpindah dari dapur, duduk di kursi makan. Punggungnya sudah lebih lumayan, tapi belum bisa dipakai untuk lama berdiri. Daisy bisa sangat lama saat menelepon, lebih baik ia duduk. “Apa dia sangat menurut?” tanya Mae. Seperti biasa, Daisy menceritakan tentang anjing peliharaan dokter Faraday. Mama Carol mengajaknya berkunjung lagi ke sana pagi tadi. “Ya, Poppy terlihat senang sekali saat aku datang. Aku baru membuka pintu taksi, tapi sudah menggongg
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga