“Kau melewati batas, Mary. Jangan mengeluh setelah ini,” bisik Ash, sambil menarik turun semua kain yang ada di tubuh Mae. “Pintu…” Mae berusaha mengatakan kalau mereka belum berpindah jauh, baru beberapa langkah dari pintu, tapi Ash tidak amat peduli. Tidak akan memilih tempatnya dimana juga, karena dimanapun bukan masalah. “Ash!” Mae melenguh, seharusnya memprotes, tapi mulai tidak terlalu peduli juga. Ia malah meremas rambut pirang yang kini ada di lehernya. Menyebarkan rasa hangat membakar seperti kemarin. Seperti permintaan Mae, lebih banyak warna merah. Ash juga sudah tahu ia tidak perlu hati-hati. “Jangan…” Usaha terakhir Mae untuk meminta Ash tidak melakukannya di depan pintu, gagal juga, karena malah beralih menjadi erangan rendah, saat tangan Ash meremas titik hangat yang memang sudah amat berharap mendapat sentuhan. Mae juga sudah lupa mereka ada dimana, dan menurut saja bersama jeritan saat kedua kakinya tidak lagi menapak di lantai saat menerima Ash. Dengan mudah A
Baca selengkapnya