Semua Bab SUGAR DADDY TERAKHIRKU: Bab 161 - Bab 170

433 Bab

Aku Tidak Mau Mengulang Itu

“Damn it! Mary, kau menakutiku!” Ash tanpa sengaja memaki, karena mendapati Mae berbaring diam dengan mata membuka lebar menatap langit-langit. Masalahnya Mae terlalu diam, sampai Ash mengira Mae masih tidur. Ash tadi berusaha bangun perlahan tanpa banyak menggerakkan ranjang agar Mae tidak terganggu. “Kau melamunkan apa?” tanya Ash, sambil kembali berbaring di samping Mae. Hari sudah terang, tapi Ash tidak perlu bersiap kemanapun. Selama perban masih menempel di lehernya, Parker tidak bisa memaksanya bekerja. “Semua,” gumam Mae. “Semua apa? Tubuhku?” Kalau benar, Ash berharap lamunan Mae berisi pujian, bentuk tubuhnya tidak ada yang buruk seharusnya. “Ya, tapi bukan itu intinya.” Mae bergeser, memiringkan tubuh dan memandang Ash, yang rupanya lebih dulu melakukannya. Tidak mungkin Ash melewatkan kesempatan memandang Mae dari jarak dekat. “Lalu…” “Aku kesal—” “Karena terlalu nikmat?” Ash tentu juga tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda. Mae menarik pipi Ash sebagai hukum
Baca selengkapnya

Aku Tidak Bisa Percaya

“Saya kembali menawarkan kepada Anda untuk bekerja di Scotland Yard. Bukan tanpa resiko, tapi lebih kecil.” Stone menyapa sambil menyerahkan gelas kertas berisi teh. Penawaran itu datang karena Stone melihat luka di leher Ash yang memang cukup mencolok.Ia lalu duduk di samping Ash, karena memang hanya itu tempatnya. Mereka tidak bertemu di cafe, tapi di taman yang tidak jauh dari base. Taman keluarga yang banyak dikunjungi anak-anak. Mereka kini berlarian ribut di sekitar mereka.“Kenapa semua orang ingin menawarkan pekerjaan padaku?” Ash mendengus sambil berdiri.Ia yang memilih taman itu sebagai tempat bertemu hanya tidak menyangka akan seramai itu. Stone mengikuti. Meski tidak dikatakan, ia tahu Ash akan mencari tempat yang lebih sepi agar mereka bisa bicara.“Siapa lagi yang menawarkan pekerjaan pada Anda? Saya harap tidak akan kalah,” tanya Stone.Mata Ash menyipit. Stone terdengar sangat serius. “Tidak ada yang akan kalah, karena memang tidak ada yang menang juga. Aku tidak ak
Baca selengkapnya

Aku Tidak Disana

“Tapi Mama Carol baik, dia tidak mungkin juga…” Ash menggeleng, tidak bisa menerima. Bukti dari Ella, lalu Stone mengarah kesana, tapi Ash selama ini hanya melihat kebaikannya. “Maaf, tapi uang bisa mengubah orang baik menjadi tidak baik dalam sekejap mata. Anda tidak bisa memakai alibi baik untuk membuat seseorang tidak bersalah.” Stone tersenyum pahit. Tentu sudah melihat banyak sekali kasus yang melibatkan uang dan Ash jatuh terduduk dengan mata kosong. Tidak mungkin mudah menerima kenyataan yang berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat itu. “Untuk lebih amannya saya akan menyebut ini kemungkinan. Ada banyak hal yang harus diperiksa untuk membuktikan kalau kesimpulan saya tadi benar. Saya bukan orang yang selalu pasti benar.” Stone sedikit mengurangi kejujurannya saat melihat Ash amat terpukul. “Tapi… Semua benar.” Memang ada kemungkinan salah, tapi Ash tidak bisa menampik benar juga, karena semua kecurigaannya terjawab. “Itu…” “Anda sampai di sini karena mengik
Baca selengkapnya

Yang Penting Aku Menemukannya

Mae meronta, tapi tangan itu kuat. Dengan mudahnya ia menyeret Mae masuk ke rumpun pepohonan yang memang membatasi tepi lapangan.“Ugh!”Rontaan Mae terhenti saat punggungnya terhempas. Pria yang menyeretnya itu dengan sengaja menghantamkan tubuhnya ke pohon. Mae langsung berkunang-kunang dan nafasnya sedikit sesak.Tapi ia masih mampu membuka mata dan mengenali siapa pria yang menyakitinya itu. Hoodie yang menutupi kepalanya sudah turun meski penampilannya jauh berbeda. Lebih lusuh dengan banyak cabang tumbuh cukup panjang. Mae tidak akan pernah lupa pada wajah Dex.“Dasar anak setan! Apa yang kau inginkan?!” Mae berseru sambil berusaha mencakar dan menendang Dex.Tapi pukulan datang ke pipi Mae, menghadirkan kilas cahaya ke mata, dan Mae langsung tersungkur jatuh. Dex tanpa ragu memukulnya—keras sampai Mae perlu mengumpulkan kesadaran sebelum bisa menyeret tubuhnya menjauh.Tentu belum cukup. Dex masih dengan mudah menyambar kakinya, dan mengangkat Mae dari tanah. Ia menyandang tubu
Baca selengkapnya

Aku Tidak Menyangka Kau Amat Bodoh

“Kau lihat ini?”Mae yang Ada dalam posisi berbaring menelungkup, mendengus karena tidak mungkin bisa melihat apapun selain jok mobil Dex mendecak—menyadari kesalahannya. Ia turun dan membuka pintu belakang, kemudian menarik kasar Mad agar duduk dengan tegap.“Kau lihat ini?” Dex menunjukkan pisau dengan mata lebih panjang dari telapak tangan dan bergerigi. Jelas bisa melukai dan mematikan saat terbenam dalam daging. Ancaman berbahaya.“Aku tidak akan segan menggunakannya untuk menusuk salah satu anggota tubuhmu kalau kau berani berteriak ataupun terlihat mencurigakan,” desis Dex sambil menatap mata Mae.“Kau mengerti atau tidak?!” bentaknya.Mae mengangguk. Ia mungkin ingin lari tapi tidak dengan menjadi bodoh. Pisau itu bisa dengan mudah membunuhnya.“Bagus. Aku akan melepaskan mulutmu, dan juga tali yang mengikat tanganmu. Tapi kalau kau mencoba untuk melakukan hal yang aneh, jangan salahkan aku kalau nantinya kau akan mati.”Dex diam lagi sampai Mae mengangguk. Baru setelah itu D
Baca selengkapnya

Aku Takut Apa?

Mae jatuh tersungkur karena kejutan itu, tapi dengan cepat teralihkan saat memandang pergumulan antara Ash dan Dex.Bukan pergumulan seimbang, karena jelas Dex hanya menjadi samsak hidup untuk Ash, sampai beberapa bagian wajahnya sobek dan meneteskan darah.Tapi fokus Mae tidak pada semua luka itu. Ia sejak tadi hanya memandang Ash. Mae menemukan hal yang belum pernah dilihatnya. Ash yang marah—benar-benar marah. Wajah seram yang membuat bergidik–jauh dari hangat dan senyum yang membuat Mae salah tingkah.Mae melihat bagaimana bibir Ash mengatup erat dengan rahang mengunci geram. Juga alis yang biasa ramah kini menukik dengan kerutan di kening yang dalam.Tangannya yang lembut saat memeluknya, tidak lagi terlihat. Saat berayun menghantam perut Dex, atau saat menarik kakinya untuk menghantamkan tubuh Dex ke tembok, tidak tampak lembut. Seluruh ototnya bekerja keras.“Babi busuk!” Ash meludah tepat di wajah Dex yang berbaring telentang tanpa daya melawan, lalu mengusap pipinya dengan ji
Baca selengkapnya

Aku Baik-Baik Saja

“Kau melewati batas, Mary. Jangan mengeluh setelah ini,” bisik Ash, sambil menarik turun semua kain yang ada di tubuh Mae. “Pintu…” Mae berusaha mengatakan kalau mereka belum berpindah jauh, baru beberapa langkah dari pintu, tapi Ash tidak amat peduli. Tidak akan memilih tempatnya dimana juga, karena dimanapun bukan masalah. “Ash!” Mae melenguh, seharusnya memprotes, tapi mulai tidak terlalu peduli juga. Ia malah meremas rambut pirang yang kini ada di lehernya. Menyebarkan rasa hangat membakar seperti kemarin. Seperti permintaan Mae, lebih banyak warna merah. Ash juga sudah tahu ia tidak perlu hati-hati. “Jangan…” Usaha terakhir Mae untuk meminta Ash tidak melakukannya di depan pintu, gagal juga, karena malah beralih menjadi erangan rendah, saat tangan Ash meremas titik hangat yang memang sudah amat berharap mendapat sentuhan. Mae juga sudah lupa mereka ada dimana, dan menurut saja bersama jeritan saat kedua kakinya tidak lagi menapak di lantai saat menerima Ash. Dengan mudah A
Baca selengkapnya

Aku Tidak Boleh Menikmatinya

“Ash?” Mae memanggil sambil membuka pintu kamar. Mae tahu ia kesiangan—tertidur terlalu lama, tapi seharusnya Ash masih di rumah. “Ash?” Mae sudah sampai dapur dan hanya menemukan jejak teh. Ash ada di rumah memang. Hanya ada satu tempat yang belum diperiksanya. Kamar yang satu lagi. “Ash?” “Oh?” Ash yang duduk menunduk, terperanjat. Tapi senyum yang bisa melelehkan itu, langsung merekah saat melihat Mae. “Kau sudah bangun? Aku sudah memesan makanan tadi, tapi belum—tiga puluh menit lagi sampai.” Ash mengangkat ponsel, memeriksa kemajuan makanan yang dipesannya. “Aku harap kau suka pizza pepperoni. Aku hanya bisa menemukan itu yang cepat.” Ash menimbang jarak yang paling dekat saja tadi. “Suka.” Mae masuk, dan menarik pipi Ash sampai sedikit melar. “Aw?” Ash mengelus pipinya. Tidak sakit, heran saja. “Untuk apa?” tanya Ash. “Aku sudah mengatakannya beberapa kali, jangan terlalu sering tersenyum seperti itu,” kata Mae, sambil duduk di pangkuan Ash, tanpa permisi. Namun si em
Baca selengkapnya

Aku Membalas Dendam Padanya

Ruby tentu saja tidak bisa mengatakan apapun. Ia nyaris tidak bisa percaya ucapan seperti itu bisa dihasilkan oleh bibir Ash. Sekali lagi, ada sisi yang mengejutkan. “Merajut—aku memakainya untuk mengendalikan insting itu. Candu adrenalin yang tidak sehat itu berkurang saat aku merajut. Aku harap tidak terlalu menakutkan untukmu.” Ash mengusap rambut Mae. “Tidak.” Mae menggeleng. Apa yang dikatakan Ash memang menakutkan, tapi tidak membuatnya takut, karena tahu Ash tidak pernah memperlihatkan sisi itu padanya. Apa yang disebut ‘merah’ oleh Mae, amat jauh dari keji atau haus darah. Mae pernah melihat dan mengalami keji. Jauh berbeda dari Ash. “Tapi—ada apa dengan ayahmu?” Mae masih ingin memohon, tapi ingin tahu juga apa alasan yang tadi sempat disebut Ash. “Itu… sedikit rumit.” Ash kembali duduk, dan menarik Mae agar juga kembali duduk di pangkuannya. “Aku membencinya—aku bahkan tidak ingin mengikutinya saat ayahku pertama datang menjemput. Kebencian untuk alasan yang salah saat
Baca selengkapnya

Aku Tidak Mau Mendengar Nama Itu

Tapi Mae bahkan tidak berpikir ke arah sana. “Mungkin karena Mama Carol belum mengatakannya? Aku ingat saat Mama Carol pertama menyebut Daisy. Katanya Daisy memang selalu di rumah sakit, tidak bisa tinggal bersamaku setelah orang tuaku meninggal. Mama Carol baru mengatakan padaku tentang Daisy setelah bisa lebih paham,” kata Mae. Kepolosan yang tidak mengherankan. Ash tidak akan mencela bagaimana Mae begitu percaya pada penjelasan itu karena dirinya mungkin akan sama saja. Kebohongan masuk akal yang diucapkan oleh orang yang paling dipercaya oleh Mae. Seumur hidup Mae mengenal Mama Carol sebagai pelindung. “Setelah mengatakan kau punya adik, Mama Carol membawamu ke rumah sakit.” Ash menyusun alur waktu agar lebih mudah menjelaskan pada Stone nanti. “Ya, Daisy sangat lemah saat itu, tidak bisa menyapa, tapi manis.” Mae tersenyum. Ash juga tidak heran mendengar penilaian itu. Kalau dirinya yang saat itu berpenampilan anak remaja ugal-ugalan masih bisa mendapat simpati Mae, maka sep
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1516171819
...
44
DMCA.com Protection Status