Mae, bandel, tapi ga salah sigh wkwkwk
“Ash?” Mae memanggil sambil membuka pintu kamar. Mae tahu ia kesiangan—tertidur terlalu lama, tapi seharusnya Ash masih di rumah. “Ash?” Mae sudah sampai dapur dan hanya menemukan jejak teh. Ash ada di rumah memang. Hanya ada satu tempat yang belum diperiksanya. Kamar yang satu lagi. “Ash?” “Oh?” Ash yang duduk menunduk, terperanjat. Tapi senyum yang bisa melelehkan itu, langsung merekah saat melihat Mae. “Kau sudah bangun? Aku sudah memesan makanan tadi, tapi belum—tiga puluh menit lagi sampai.” Ash mengangkat ponsel, memeriksa kemajuan makanan yang dipesannya. “Aku harap kau suka pizza pepperoni. Aku hanya bisa menemukan itu yang cepat.” Ash menimbang jarak yang paling dekat saja tadi. “Suka.” Mae masuk, dan menarik pipi Ash sampai sedikit melar. “Aw?” Ash mengelus pipinya. Tidak sakit, heran saja. “Untuk apa?” tanya Ash. “Aku sudah mengatakannya beberapa kali, jangan terlalu sering tersenyum seperti itu,” kata Mae, sambil duduk di pangkuan Ash, tanpa permisi. Namun si em
Ruby tentu saja tidak bisa mengatakan apapun. Ia nyaris tidak bisa percaya ucapan seperti itu bisa dihasilkan oleh bibir Ash. Sekali lagi, ada sisi yang mengejutkan. “Merajut—aku memakainya untuk mengendalikan insting itu. Candu adrenalin yang tidak sehat itu berkurang saat aku merajut. Aku harap tidak terlalu menakutkan untukmu.” Ash mengusap rambut Mae. “Tidak.” Mae menggeleng. Apa yang dikatakan Ash memang menakutkan, tapi tidak membuatnya takut, karena tahu Ash tidak pernah memperlihatkan sisi itu padanya. Apa yang disebut ‘merah’ oleh Mae, amat jauh dari keji atau haus darah. Mae pernah melihat dan mengalami keji. Jauh berbeda dari Ash. “Tapi—ada apa dengan ayahmu?” Mae masih ingin memohon, tapi ingin tahu juga apa alasan yang tadi sempat disebut Ash. “Itu… sedikit rumit.” Ash kembali duduk, dan menarik Mae agar juga kembali duduk di pangkuannya. “Aku membencinya—aku bahkan tidak ingin mengikutinya saat ayahku pertama datang menjemput. Kebencian untuk alasan yang salah saat
Tapi Mae bahkan tidak berpikir ke arah sana. “Mungkin karena Mama Carol belum mengatakannya? Aku ingat saat Mama Carol pertama menyebut Daisy. Katanya Daisy memang selalu di rumah sakit, tidak bisa tinggal bersamaku setelah orang tuaku meninggal. Mama Carol baru mengatakan padaku tentang Daisy setelah bisa lebih paham,” kata Mae. Kepolosan yang tidak mengherankan. Ash tidak akan mencela bagaimana Mae begitu percaya pada penjelasan itu karena dirinya mungkin akan sama saja. Kebohongan masuk akal yang diucapkan oleh orang yang paling dipercaya oleh Mae. Seumur hidup Mae mengenal Mama Carol sebagai pelindung. “Setelah mengatakan kau punya adik, Mama Carol membawamu ke rumah sakit.” Ash menyusun alur waktu agar lebih mudah menjelaskan pada Stone nanti. “Ya, Daisy sangat lemah saat itu, tidak bisa menyapa, tapi manis.” Mae tersenyum. Ash juga tidak heran mendengar penilaian itu. Kalau dirinya yang saat itu berpenampilan anak remaja ugal-ugalan masih bisa mendapat simpati Mae, maka sep
“Anda siapa dan mau apa?”Daisy memandang heran pada pria yang ada di depan pintu. Tidak biasanya ada tamu yang datang ke rumah bobrok itu. Ia memakai seragam warna biru dan tampak resmi.“Selamat siang, Miss. Perkenalkan, nama saya Bob Morgan. Saya dari kantor urusan perumahan kota.” Pria yang mungkin berusia empat puluhan lebih itu menyerahkan kartu namanya. Daisy memeriksa sekilas. Tampak resmi.“Ada urusan apa?” tanya Daisy, sudah tidak amat curiga tapi tidak juga memberi jalan untuk masuk.“Akan ada wacana pengembangan jalan baru di sekitar sini. Saya harus melakukan pemeriksaan masing-masing rumah di area ini untuk memastikan dimana saluran pembuangan dan juga saluran gas. Maaf, tapi mungkin Anda akan sedikit terganggu.” Bob menjelaskan dengan detail, sembari mengangsurkan dokumen yang sekali lagi terlihat valid. Daisy membacanya sekilas saja. Sangat teknis. Jenis tulisan yang jauh berbeda dari bacaannya sehari-hari—novel. “Tapi aku tidak tahu apapun tentang rumah ini. Mama C
“Aku akan menunggu di sini.” Ash menunjuk area di depan pintu kamar Daisy yang tadi ditunjukkan oleh perawat.Ashingin menemani Mae seterusnya, tapi ada resiko bertemu dengan Mama Carol, ia terpaksa menghentikan langkah di sana. Kalau kemarin Ash menghindari pertanyaan berkenaan dengan kejadian sepuluh tahun yang lalu, sekarang Ash semakin tidak ingin menunjukkan wajahnya karena kecurigaan yang telah menumpuk itu. Ia tidak bisa memprediksi perubahan seperti apa yang akan terjadi kalau dirinya muncul sekarang di depan Mama Carol—bisa jadi lebih buruk.“Ya.” Mae masih sangat oleng, tapi berhasil menapak tanah sejak tadi. Tidak sangat ambruk. Ia membuka pintu dengan tangan gemetar dan melangkah pelan.Mae sudah cukup lega mendengar Daisy cukup kuat karena sudah bisa meninggalkan UGD, tapi hatinya kembali mencelos sampai terasa mengerut saat melihat keadaan Daisy. Masih belum sadar dengan berbagai peralatan menempel di tubuhnya. Wajahnya tampak cekung dan pucat.“Inikah yang kau inginkan?
Ash menatap sekitar dan berjalan pelan sambil meraba tembok rumah sakit yang usang itu. “Kenapa keadaannya menyedihkan begini?” Ash mengernyit, lalu menatap kaca jendela retak yang juga tidak diperbaiki. Udara musim dingin yang membeku mengalir bebas ke lorong itu.Rumah sakit itu tidak besar, hanya dua lantai, tapi yang menjadi perhatian pertama Ash adalah usang. Ada banyak Rumah Sakit kecil yang memang kompeten—tapi yang ini tidak terlihat seperti itu.Kalau Daisy memang selemah itu, maka hal pertama yang ingin dilakukannya adalah membawa Daisy keluar dari sana, memindahkannya ke rumah sakit yang jauh lebih baik. Ash tidak akan pernah membawa siapapun ke rumah sakit itu, meskipun hanya untuk mengobati luka robek akibat ranting. Bisa-bisa lukanya akan tercemar tetanus. Ash melihat amat banyak karat di pegangan tangga besi tadi.Lalu sepi. Ash belum pernah melihat rumah sakit amat sepi seperti itu. Mungkin terdengar seperti kabar baik, karena tidak ada orang sakit, tapi orang bodoh
“Aku akan mengusahakan obatnya, Mae. Jangan khawatir. Daisy masih bisa bertahan saat ini.” Faraday tersenyum menenangkan sambil menepuk punggung tangan Mae.“Terima kasih, Dokter.” Mae mengangguk dengan lega. Ia membutuhkan jaminan itu.“Bagaimana dengan ginjalnya?” tanya Mae. “Maaf sekali, tapi keluarga pasien itu masih menginginkannya bertahan. Mereka belum merelakannya.”Mae meremas kedua tangannya. “Bagaimana dengan Daisy? Lalu apa—”“Tenang, Mae. Daisy tetap ada di urutan donor paling atas. Ia yang akan menjadi prioritas saat ini. Kalau memang tidak dari pasien itu, maka yang lain akan datang. Percayalah.”Mae ingin percaya, tapi rasanya kembali jauh. Kemarin Faraday memberinya harapan dalam hitungan bulan berikut, tapi kini kembali tidak pasti.“Tapi Daisy semakin buruk, tidak akan bertahan,” katanya.“Jangan berdoa seburuk itu, Mae. Daisy sangat kuat bisa bertahan sampai sekarang. Ini sudah diluar perkiraanku, ini kabar baik. Kau harus optimis.” Faraday tersenyum.“Aku akan opt
“Kau tidak perlu menemani,” kata Mae, saat Ash tampak mengikutinya kembali ke kamar Daisy.“Aku tidak sibuk. Aku akan menunggu.” Ash tidak mungkin meninggalkan Mae saat tidak stabil.“Mungkin lama. Aku ingin menunggu Daisy siuman. Apa kau mau menunggu di dalam?” Mae sudah membuka pintu kamar.“Tidak.” Ash langsung mundur. Menghindar agar tidak terlihat.“Aku akan menunggu—Ada apa?” Ash bertanya karena wajah Mae berubah heran saat memandang ke dalam.“Mama Carol tidak ada.” Mae heran melihat Daisy sendirian. Mama Carol seharusnya di dalam.“Eh?” Ash langsung kembali maju, dan mengintip ke dalam. Daisy memang sendirian.“Kemana dia?” Mae melangkah masuk dan ingin marah. Bukan bagaimana, tapi Daisy tidak seharusnya ditinggalkan sendiri. Ada perawat, tapi mereka tidak akan selalu mendampingi Daisy.“Tidak masalah.” Ash malah lega tentu, setidaknya ia bisa melihat keadaan Daisy secara langsung, selain menemani Mae.“Bisakah kau bertanya dia dimana dan kapan kembali?” Ash meminta pada Mae, u
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga