Daisy jangan durhaka gitu :((
Ash menutup pintu kamar dengan amat perlahan, setengah mati berusaha agar tidak menimbulkan suara sekecil apapun karena Mae baru saja jatuh tertidur setelah kegelisahan panjang.Bukan hanya menangis, bahkan setelah tertidur pun ia masih mengigau dan bermimpi buruk. Kalau tidak sangat terpaksa, Ash tidak akan meninggalkannya sendirian malam ini. Tapi ia harus keluar. Ash meraih mantel yang tergantung dengan tergesa, karena tidak mau membiarkan Stone menunggu lama lebih lama lagi.Tadi Ash sampai harus berkali-kali mengingatkan kalau Stone sebenarnya memiliki jabatan yang cukup tinggi di Scotland Yard, agar hatinya lebih rela meninggalkan Mae. Biar bagaimana, bantuan Stone tidak boleh disia-siakan.“Terima kasih sekali lagi karena bersedia menunggu,” kata Ash. Tidak lupa untuk menghargai begitu melihat Stone berdiri di lobby apartemennya. Ia bahkan bersedia datang ke Andover.“Bukan masalah.” Stone tersenyum dan mengangguk sambil mengulurkan ponselnya. Memperlihatkan beberapa gambar yang
“Temannya itu. Mae punya teman. Aku bertemu dengannya. Kasar sekali. Mungkin dari dia. Pengaruhnya besar sekali pada Mae.” Carol mendecak saat mengingat kekasaran yang diterimanya di cafe kemarin.“Masih ada yang berteman dengannya? Aku pikir kau memastikan hal itu tidak terjadi.” Faraday heran.“Well, aku tidak mungkin mengawasinya terus menerus bukan?” Carol melotot pada Faraday. Kesal merasa disalahkan.“Tapi berbahaya buat kita.” Faraday semakin gelisah.“Aku pikir akan seperti biasanya. Lingkungannya yang ini berbeda. Memang jauh dari Bakewell. Apa karena itu masih ada yang mau berteman dengannya?” gumam Carol. Ia luput mempertimbangkan ini.Biasanya, siapapun pria yang dinikahi Mae, atau ‘memeliharanya’ sebagai sugar baby, tidak akan membuat situasi berbeda. Orang-orang akan menjauhi Mae—memperlakukannya seperti kuman. Ini yang benar dan diharapkan Carol. Ia butuh Mae terkucil agar tidak ada yang memperngaruhi jalan pikiranya.“Ya, Andover terlalu jauh. Mereka tidak mungkin tahu
“Ini bukan pertunjukan.” Mae mengoreksi pengertiannya kemarin, setelah melihat banner dan aneka flyer yang dibagikan saat mereka masuk ke arena ice skating besar itu. “Oh, bukan. Amy termasuk atlit. Meski seperti kemampuannya sangat bagus. Ini pertandingan kualifikasi untuk mengikuti olimpiade. Kalau lolos Amy akan mewakili Inggris pada Olimpiade musim dingin nanti.” Ash menjelaskan. Ia memang hanya menyebut ice skating saja. Wajar Mae mengira pertunjukan. “Oh, Wow! Aku kini agak sedikit lebih mengerti kemanjaannya. Boleh kalau begitu.” Mae tidak akan terlalu mengecam sifat itu. Amy memang membutuhkan dukungan penuh untuk menghadapi tantangan setinggi itu.“Awalnya aku hanya iseng mengusulkan agar energi Amy disalurkan ke arah positif—selain merusak kebun dan tatanan rumah. Ia tidak cocok dengan berkuda, maka akhirnya ini.” Ash menunjuk ke arah rink (gelanggang es) yang putih di depan mereka.“Tidak ada yang menyangka Amy akan menjadi sangat hebat. Ia menjuarai beberapa turnamen hany
“Aku tidak ingin bercanda, karena kita sudah tidur bersama. Dan aku—maaf, ternyata bodoh, karena tidak memikirkan ini sejak awal.” Ash membuka sejenak topi yang dipakainya agar bisa mengusap wajah dengan bebas.“Aku juga tidak memikirkannya. Jangan merasa bersalah sendiri.” Mae malah ingin tertawa melihat kegalauan Ash itu.“Tidak, ini salahku. Aku yang seharusnya lebih memikirkannya, kau sudah jelas mengatakan tidak ingin hamil, dan tubuhmu yang akan menanggung, Mary. Aku tidak akan merasakan apapun.” Ash tentu saja lebih peduli pengaruh kehamilan pada keadaan Mae.“Aku bersalah kalau kau hamil saat tidak menginginkannya,” lanjut Ash dengan wajah lebih cemas. Ia benar-benar melanggar permintaan Mae dengan tidak berhati-hati.“Aku mengatakan tidak mau? Kapan—Oh!” Mae tadinya mengernyit, tapi kemudian tertawa geli. “Kau masih mengingat itu rupanya.” Mae tidak mengira Ash akan membahas keinginannya yang dulu ikut menjadi syarat pernikahan mereka. Mae menyebut tidak menginginkan anak.“I
“Kau mengenalnya?”Pertanyaan identik dan terucap bersamaan, dari Dean dan Ash. Tentu sama-sama heran mendengar Rowena menyebut Mae.“Ya, kami pernah bertemu dalam situasi menarik.” Rowena menyeringai.“Maafkan, saya. Itu—Maaf sekali.” Mae semakin tergagap, karena paham betul maaf itu tidak akan berguna sekarang. Sudah sangat terlambat.“Situasi apa?” Ash mengernyit, tidak bisa membayangkan. Mae menggeleng. Tidak mungkin menceritakannya sekarang.“Ini wanita yang dekat denganmu?” Rowena bertanya dengan alis terangkat sambil melirik ke arah Dean yang mengangguk. Ia sudah menyampaikan itu pada Rowena.“Ya.” Ash menjawab sendiri juga.“Yang sampai tinggal bersama?” Rowena seolah memastikan kalau wanita yang dibicarakan Dean memang Mae, atau mungkin ia berharap ada wanita yang lain lagi. Mae ingin menangis rasanya.“Ya, apa ada masalah?” Ash sudah mengambil sikap defensif tentu saja.“Tidak—untuk saat ini.” Rowena menatap Mae lagi. Seperti kemarin saat di bazar, menilai dari ujung rambut s
Carol duduk di depan cafe tempatnya bertemu Mae kemarin. Kebetulan ada kursi panjang tempat beristirahat yang nyaman dengan naungan kanopi. Tapi memang lawannya udara dingin. Carol harus memaki beberapa kali saat yang ditunggunya belum juga datang.Ia berangkat pagi, tapi sepertinya terlalu pagi, karena tidak ada siapapun familiar terlihat memasuki cafe itu. Carol sudah sedikit menyesal tidak mencari informasi lebih jelas terlebih dulu sebelum datang. Setelah sekian jam duduk menanti, ia merasa punggungnya tidak lagi hanya sakit pura-pura karena amat pegal.“Ah… itu dia.” Carol tersenyum saat melihat sasarannya. Poppy yang berapi-api tampak berjalan mendekati cafe bersama dua wanita lain, dan lebih sempurna lagi karena tidak bersama Mae.Kalau bersama Mae, Carol harus menyiapkan skenario berbeda. Carol bahkan sudah bersiap seandainya Poppy tidak datang. Ia akan datang lagi besok. Tapi ia percaya Poppy akan datang. Cafe di belakangnya itu sudah jelas menjadi pusat tongkrongan nyaman tem
“AMELIA COOPER!”Begitu nama Amy dipanggil, Mae tersentak dari lamunannya. Bukan karena suara keras panggilan itu, tapi oleh sorakan yang mengikutinya.Mae menatap sekitar dengan takjub, karena hampir semua penonton bertepuk tangan dan memandang ke arah Amy yang bersiap di pinggir rink bersama pelatihnya.“Hampir semua orang mengenal Amy, bukan hanya karena anak dari perdana menteri tapi karena ia atlet yang hebat. Statusnya sebagai anak dari perdana menteri membantunya lebih mudah dikenali memang, tapi kebanyakan mereka adalah fans yang memang mengagumi Amy.” Ash menjelaskan dengan cepat dalam bisikan sebelum akhirnya suasana kembali sunyi. Tapi Mae sudah tidak terlalu mendengar kalaupun Ash melanjutkan penjelasan, karena terpesona. Bocah yang saat ini meluncur pelan ke tengah rink es itu tidak tampak seperti bocah yang kemarin membentak dan menunjuk Ash. Ia tampak amat nyaris magis—karena terlalu cantik. Mata Amy mirip Ash, tapi rambutnya mirip warna rambut Rowena sebelum beruban s
“Jangan panik, Mae.” Ash menenangkan begitu mereka masuk ke dalam mobil. Ash bahkan tidak bisa melarikan diri.Selain mengingat Amy yang akan mengamuk, sudah ada dua mobil RaSP yang mengawal di di depan dan belakang mobilnya. Mereka pasti akan mengejar kalau ia nekat membelokkan mobil ke jalur yang lain.“Aku sudah membuat kesalahan bodoh pada ibu—maksudku dia.” Mae bingung harus menyebut Rowena apa.“Itu hanya kesalahan kecil. Rowena tidak akan mengingat—”“Dia mengingat namaku, Ash! Setelah beberapa bulan lebih, dia masih ingat namaku! Orang yang ditemuinya dengan random, pada bazar yang ramai!” Ash tidak bisa menyanggah, karena orang sesibuk Rowena—bertemu dengan banyak orang setiap harinya—seharusnya tidak akan mengingat Mae secara spesifik, kecuali karena memang masih ingat kejadiannya.“Begini saja. Kau fokus saja pada Amy. Tidak perlu amat memperhatikan apa yang diucapkan ayahku atau Rowena. Kau ajak bicara saja Amy. Bagaimana?” Ash mengusulkan cara darurat.Amy anak yang sulit
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga