Semua Bab SUGAR DADDY TERAKHIRKU: Bab 131 - Bab 140

433 Bab

Aku Harus Membuatnya Simpati

“Masih tidak datang?” Faraday memandang Carol yang baru saja masuk ke kantornya dengan wajah murung. Tebakannya tidak salah, karena Carol setelah itu menggeleng. “Tidak ada kabar malah. Dia hanya membalas pesanku sekali lalu diam. Hanya membaca saja, tidak dibalas.” Carol mendesah berat sambil menghempaskan diri pada sofa yang ada di sudut. Tidak canggung karena memang sudah terbiasa menghabiskan waktu disana. “Kau meninggalkan Daisy sendiri?” tanya Faraday. “Iya. Dia tidak akan meninggalkan kamar. Aku menambahkan obat agar dia mengantuk tadi.” Carol tidak meninggalkan Daisy dalam keadaan sadar. “Hati-hati. Ginjalnya sudah sangat parah.” Faraday mengingatkan. “Aku tahu. Tapi mungkin kita harus membuatnya lebih sakit.” Carol yang sudah nyaris berbaring, bangun dengan sigap dan memandang Faraday, meminta pendapat. “Maksudmu memaksa Mae datang?” Faraday tampak mengerutkan kening, berpikir. “Ya. Mae tidak akan tega kalau Daisy sakit. Dia pasti akan datang dan kasihan lagi.” Carol t
Baca selengkapnya

Aku Tidak Menyangka

[Kau tidak datang ke Bakewell? Kau dimana?] Mae membaca pesan yang baru masuk dari Mama Carol, dan mengetik balasan. Mae kemarin tidak menanggapi pesannya—maupun panggilan karena malas berpikir tentang Bakewell. Tapi sekarang mulai merasa bersalah. Setidaknya Mae ingin memberi sedikit penjelasan. [Aku ada di Andover. Jauh dari Bakewell. Untuk sementara aku ingin menenangkan diri. Maaf. Aku belum bisa datang. Aku harap Daisy baik-baik saja.] Mae memejamkan mata setelah itu, melawan air mata. Setiap memikirkan Daisy, ia ingin menangis. Mae lalu beranjak ke dapur dan mulai menimbang bahan. Ia akan membuat kue dengan bahan yang dibelinya. Hanya agar pikirannya teralih. Tapi tidak bertahan lama. Mae cepat bosan. Meski sudah memanggang empat loyang cookies, ia tetap bosan. Punggungnya sampai terasa pegal karena berdiri membuat bulatan cookies, tapi tetap bosan. Mae kembali duduk dan memainkan ponselnya. Membaca berita, atau mencari resep. Tapi mencari resep tidak bertahan lama. Mae tid
Baca selengkapnya

Aku Merasa Mudah

Mae antara ingin tertawa lucu, tapi juga merasa heran. Lynch memang sejak awal dokter yang unik. “Mantan, Mae. Aku memang ingin menjadi temanmu sejak lama.” Lynch sedikit meralat. “Jangan berbohong! Itu lebih ngawur lagi. Tidak mungkin kau ingin berteman dengan pasien…” “Kenapa tidak mungkin? Kau termasuk salah orang paling mengagumkan yang aku temui, Mae. Dan aku tidak bicara tentang wajah. Aku tahu kau cantik, tapi aku justru kagum pada sifatmu, lebih dari pada kecantikanmu. Kau sangat gigih dan kuat.” Mae sampai mengerutkan kening. Lynch memang suka memuji seperti itu, tapi saat dibayar. Ini sangat ekstra. “Lynch, apa kau yakin sedang baik-baik saja? Mungkin…”Kalimat Mae terpotong tawa geli Lynch. “Rupanya kau masih sulit percaya pada pujianku. Ya sudahlah. Tidak masalah. Yang penting aku gembira kau mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Sebagai teman, aku akan ikut merayakannya.” “Terserah kau sajalah.” Mae mendengus. “Intinya, pertaruhan kita selesai. Kita bisa be
Baca selengkapnya

Aku Belum Tidur Dengannya

“Sentuh dia lagi, aku yang akan dengan senang hati meledakkan kepalamu.” Ash mengancam dengan nada tenang, tapi ujung pistol di tangannya menempel persis di belakang kepala pirang yang tengah menunduk. “Hei, relax. Kita ada di pihak yang sama.” Pria berambut pirang bermata gelap itu berdiri sambil tersenyum santai, seolah tidak baru saja merobek pakaian dari wanita yang ada dalam rombongan, dan berusaha menciumnya. Wanita itu kini bergeser—dan terisak—kembali mendekati anggota rombongan lain yang segera menyambut dan memeluknya. Ada empat orang disana. Dua wanita—yang satu baru berumur sepuluh kemungkinan. “Aku tidak sudi berada di pihak yang sama dengan babi busuk seperti dirimu!” Ash masih mengacungkan pistol di tangannya, dengan jari pada pelatuk. Ia serius. Pria pirang itu mendecak. “Kau berani mengancamku? Aku akan…”“Ya, karena tidak akan ada yang peduli apakah kau mati atau tidak. Kita sama-sama tidak bernama di sini. Kau mati, maka aku akan menguburmu di bawah sana.” Ash m
Baca selengkapnya

Aku Datang Berkunjung

“Cepat sekali perginya.” Mae berkomentar saat melihat Poppy hanya tinggal sendiri begitu ia kembali dari memesan minuman di kasir. Harper dan Enola yang tadi ada sudah tidak terlihat. Pergi tanpa merasa perlu berpamitan dengan Mae. “Memang. Anaknya pulang cepat atau semacam itu.” Poppy menyebut alasan Harper dan Enola pergi sambil terkekeh. Seperti Gina, Poppy sangat menyambut gembira kedatangan Mae di Andover. Ia langsung mengajak Mae bertemu. Sayangnya bersama Harper dan Enola tadi—hanya tidak bertahan lama. Harper tidak bisa menolak langsung ajakan Poppy. Diantara mereka Mae yang memiliki level setelah Gina sebenarnya—juga Poppy. Suami Poppy pangkatnya setara Ash, sedang suami Enola dan Harper ada di satu tingkat di bawah mereka. Sedang Gina tentu sudah sama sekali berbeda. Ia tidak ikut berkumpul tanpa rencana resmi atau acara untuk dibahas. Gina berada di level yang lebih tinggi sebagai istri Parker. “Sampai kapanpun dia tidak akan suka padaku bukan?” Mae duduk dan mulai
Baca selengkapnya

Aku Punya Mimpi

“Kita tidak pergi ke rumahmu?” tanya Carol, saat melihat Mae menghentikan mobil di depan deretan cafe. “Tidak. Maaf, aku tidak bisa.” Mae menggeleng, lalu turun. Ia membantu Mama Carol turun dari mobil dan memapahnya sampai ke dalam cafe. Trotoar di sana cukup terjal, Mama Carol akan kesulitan melangkah karena keadaan punggungnya itu. “Aku padahal ingin melihatmu tinggal dimana.” Carol mendesah kecewa. “Maaf.” Mae meminta maaf lagi, tapi tidak memperpanjang penjelasan maupun mencari alasan untuk sikapnya itu. Sikap Mae tidak berubah. setelah mendengar penjelasan Ash tentang masa lalu, Mae masih belum bisa membawa Mama Carol mendekati tempat hidupnya bersama Ash—ataupun menjelaskan kepadanya siapa Ash. Terlalu rumit. Bicara kepada Lynch kemarin membuat Mae ingat salah satu nasehatnya— menyelesaikan masalah satu demi satu, tidak menumpuk sekaligus. Saat ini Mae ingin menyelesaikan masalah Daisy dulu. “Aku pikir kau masih tidak suka kopi.” Carol heran saat masuk ke cafe. Aroma cafe
Baca selengkapnya

Aku Ingin Menjadi 'Bersih'

“Kau apa?” Carol tampak terkejut. “Aku akan membuka toko roti—suamiku yang ini mengizinkan. Nanti hasilnya akan aku pakai untuk membiayai Daisy. Pasti bisa, Mama. Setelah transplantasi ginjal itu Daisy tidak akan membutuhkan cuci darah rutin bukan? Uangnya akan aku pakai untuk modal.” Mae punya uangnya. Warisan dari Barnet sudah masuk ke dalam rekeningnya. Ada email dari bank yang memberitahu Mae kemarin. Mae tidak tahu bagaimana bisa hal itu terjadi—karena tidak pernah merasa melakukan apapun untuk mengurusnya, tapi bersyukur tentu. Tapi meskipun ada—dan masih akan bersisa cukup lumayan kalau Mae tetap memberi jatah kepada Daisy seperti normalnya—jumlah itu tidak akan cukup untuk modal membuka toko. Mae akan memberi jumlah yang lebih kecil, dan berharap sisanya bisa dipakai untuk membuka toko. Nanti ia akan mendapat pemasukan—dan bisa dipakai untuk hidup bersama Daisy serta Mama Carol seperti biasa. Mungkin jumlahnya tidak akan bisa langsung besar, tapi seharusnya cukup. Keadaan
Baca selengkapnya

Aku Temannya

“Young Lady, aku tidak tahu kau siapa, Tapi itu tadi tidak sopan sekali. Kau mengganggu pembicaraan kami!” Carol bangkit dan menegur dengan kening berkerut.Mae langsung merasakan dejavu karena seperti itulah sikap Mama Carol saat sedang menegur anak yang nakal maupun tidak sopan. Masih terdengar sopan tapi ia tahu amarah yang menyusul berikutnya lebih buruk kalau Poppy terus melawannya.“Aku teman Mae. Aku juga tidak tahu siapa kau, tapi kau baru saja menghina temanku. Aku tidak terima.” Poppy tadi masih terdengar sopan, tapi setelah teguran itu ia langsung meninggalkan sopan santun dan balik menatap Carol dengan wajah ketus.“Teman? Mae, kau punya teman seperti ini?” Carol  bukan hanya heran, tapi juga nyaris tidak percaya. Se
Baca selengkapnya

Aku Tidak Tertindas

“Kau butuh sesuatu? Aku akan ambilkan.” Poppy menawarkan segalanya begitu mereka sampai di dalam apartemen Ash.“Tidak. Sudah cukup.” Mae amat berterima kasih karena Poppy sudah memberinya secangkir teh. Itu saja cukup memberinya kehangatan. Tubuhnya tadi terasa dingin mendadak.  Mae hanya bisa menduga itu karena serangan panik. Setelah duduk dengan lebih nyaman di sofa serta minum teh, tubuhnya kembali menghangat sekarang.“Aku salah. Maaf. Aku seharusnya tidak sekasar itu, dan tidak turut campur.” Poppy duduk di samping Mae lalu meminta maaf bertubi-tubi.“Jangan.” Mae menggeleng sambil berusaha tersenyum.“Aku justru terharu dan berterima kasih. Aku—akh
Baca selengkapnya

Aku Seharusnya Pulang

Ash bersiul lalu menatap sekitar. Mencari pergerakan. Dari balik pepohonan, akhirnya terdengar suara raungan mesin mobil. Ash menghela napas lega. Rencana pertukaran itu masih bisa berjalan meskipun ia sedikit terlambat sampai di tempat perjanjian. Sepanjang jalan mereka ke tepi hutan ada banyak sekali serangan tidak jelas. Entah mereka tahu sandera apa yang dibawanya, atau sekedar ingin merampok saja. Ash harus melakukan pekerjaan yang hampir mustahil tadi, karena harus melindungi sandera dan juga melawan musuh yang kebanyakan tidak nampak. Ia kini hanya tinggal berharap pertukaran itu berjalan lebih damai. Ia butuh pulang dan melihat Mae. Menebus kelelahan setelah sekian hari berada di hutan.Ash melirik ke arah pria brengsek yang yang kemarin hampir mati di tangannya, juga Ian. Mereka kini berjaga di sekeliling sandera. Ash lalu maju saat mobil jeep terbuka yang perlahan berhenti di seberang lapangan. Kurang lebih berjarak sepuluh meter darinya.Ash melirik arloji di tangannya. I
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1213141516
...
44
DMCA.com Protection Status