Lawan!!!!
“Young Lady, aku tidak tahu kau siapa, Tapi itu tadi tidak sopan sekali. Kau mengganggu pembicaraan kami!” Carol bangkit dan menegur dengan kening berkerut.Mae langsung merasakan dejavu karena seperti itulah sikap Mama Carol saat sedang menegur anak yang nakal maupun tidak sopan. Masih terdengar sopan tapi ia tahu amarah yang menyusul berikutnya lebih buruk kalau Poppy terus melawannya.“Aku teman Mae. Aku juga tidak tahu siapa kau, tapi kau baru saja menghina temanku. Aku tidak terima.” Poppy tadi masih terdengar sopan, tapi setelah teguran itu ia langsung meninggalkan sopan santun dan balik menatap Carol dengan wajah ketus.“Teman? Mae, kau punya teman seperti ini?” Carol bukan hanya heran, tapi juga nyaris tidak percaya. Se
“Kau butuh sesuatu? Aku akan ambilkan.” Poppy menawarkan segalanya begitu mereka sampai di dalam apartemen Ash.“Tidak. Sudah cukup.” Mae amat berterima kasih karena Poppy sudah memberinya secangkir teh. Itu saja cukup memberinya kehangatan. Tubuhnya tadi terasa dingin mendadak.Mae hanya bisa menduga itu karena serangan panik. Setelah duduk dengan lebih nyaman di sofa serta minum teh, tubuhnya kembali menghangat sekarang.“Aku salah. Maaf. Aku seharusnya tidak sekasar itu, dan tidak turut campur.” Poppy duduk di samping Mae lalu meminta maaf bertubi-tubi.“Jangan.” Mae menggeleng sambil berusaha tersenyum.“Aku justru terharu dan berterima kasih. Aku—akh
Ash bersiul lalu menatap sekitar. Mencari pergerakan. Dari balik pepohonan, akhirnya terdengar suara raungan mesin mobil. Ash menghela napas lega. Rencana pertukaran itu masih bisa berjalan meskipun ia sedikit terlambat sampai di tempat perjanjian. Sepanjang jalan mereka ke tepi hutan ada banyak sekali serangan tidak jelas. Entah mereka tahu sandera apa yang dibawanya, atau sekedar ingin merampok saja. Ash harus melakukan pekerjaan yang hampir mustahil tadi, karena harus melindungi sandera dan juga melawan musuh yang kebanyakan tidak nampak. Ia kini hanya tinggal berharap pertukaran itu berjalan lebih damai. Ia butuh pulang dan melihat Mae. Menebus kelelahan setelah sekian hari berada di hutan.Ash melirik ke arah pria brengsek yang yang kemarin hampir mati di tangannya, juga Ian. Mereka kini berjaga di sekeliling sandera. Ash lalu maju saat mobil jeep terbuka yang perlahan berhenti di seberang lapangan. Kurang lebih berjarak sepuluh meter darinya.Ash melirik arloji di tangannya. I
“Kau yakin tidak akan memberatkan? Kau akan sibuk, Ro.” Dean bertanya sambil memandang Rowena yang masih memeriksa jadwalnya pada ponsel. Brad baru saja mengirim detail jadwal mereka berdua untuk dua minggu ke depan. “Tidak masalah. Ini bukan pertama kali aku melakukannya.” Rowena mengangkat bahu. Ia sudah menemani Dean selama beberapa kali masa pemilu. Kesibukan kampanye bukan hal baru untuknya.“Terima kasih, Ro. Aku tidak akan bisa melakukannya tanpamu.” Dean meraih tangan Rowena dan mengecup lembut.“Apa lawan yang kau hadapi kali ini sangat berat? Kau sampai menjadi ekstra manis untuk berterima kasih padaku.” Rowena tersenyum lalu bersandar pada bahu Dean.“Apa maksudmu? Aku selalu manis.” Dean tersenyum lega melihat reaksi Rowena itu. Meski sekian puluh tahun berlalu, Dean terkadang masih khawatir untuk bersikap manis padanya. Ada kala Rowena akan menerima, tapi ada juga saat ia akan membalas dengan ketus. Dean harus bisa membaca keadaan hatinya sebelum bisa melakukannya. Mele
“Aku tidak menyarankan kau melihatnya saat ini juga, masih bisa besok.”Poppy menyarankan, tapi kakinya tetap menginjak pedal gas, melajukan mobil Mae. Poppy menentang rencana Mae untuk menjenguk Ash seketika, karena memang tadi Mae sempat pingsan.Butuh beberapa saat penuh kepanikan untuk menyadarkan Mae tadi. Poppy tidak ingin mengulang itu.“Aku ingin melihatnya sekarang.” Mae mengusap tangannya yang kembali terasa dingin. Ia sejak tadi bersusah payah menghitung angka dalam kepalanya untuk mengurangi cemas—dan mencegah serangan panik. Mae tahu ia harus bisa tenang.Satu-satunya hal yang masih membuat Mae bisa bernapas adalah kata ‘terluka’. Ash terluka setidaknya—bukan lebih buruk dari itu. Mae sengaja tidak bertanya luka itu seperti apa, atau separah apa, karena takut. Ia tidak mau mendengar kabar yang lebih buruk lagi. Pada akhirnya ia akan tahu setelah melihat Ash nanti. “Oh, itu Gina.” Poppy berseru lega, menunjuk Gina yang terlihat berjalan cepat menghampiri, begitu mereka tu
“Kami akan mengawasi perkembangannya, dan terus melaporkan pada Anda kalau ada perubahan, Sir.” Dean mengangguk, dan meminta dokter itu pergi dengan kepalanya. Dokter itu sekilas membungkuk lalu keluar dalam langkah sunyi. Sangat hati-hati. Dean mendesah lalu mendekati ranjang. Memandang Ash yang belum sadar sama sekali semenjak kejadian. “Haruskah kau membuatku secemas ini?” keluh Dean sambil menggenggam tangan Ash. Masih hangat tapi lemas. Sudah sekitar dua jam ia menunggu dan belum ada perubahan. “Aku harus berterima kasih padamu? Kata dokter kau tidak melepaskan leher Ash sama sekali untuk memperlambat pendarahannya.” Dean berpaling pada Ian yang ada di sudut ruangan. “Tidak perlu, Sir.” Ian menjawab serius dengan sikap tegap sempurna. “Ya, itu tugasmu sebenarnya. Kalian teman sampai sekarang.” Dean bergumam, lalu kembali memandang Ash. Mengusap selang yang menjadi alat bantu napas Ash. “Sampai sekarang aku masih heran atas pilihan Ash. Tapi kalian bertahan rupanya.” Ian
“Kau masih disini?” Gina terkejut mendapati suaminya masih ada di depan kamar Mae dirawat.“Aku ingin pulang bersamamu. Aku sudah menghubungi Ethel tadi.” Parker meraih tangan istrinya, dan mereka bergandengan keluar dari area rumah sakit.“Ethel kemungkinan tidak peduli kita dimana.” Gina tersenyum. Anaknya yang berusia remaja itu sedang ada dalam periode tidak acuh. Ia saat ini lebih peduli pada ponsel dari pada makhluk hidup.“Bagaimana keadaannya?” tanya Parker, menunjuk ke belakang, bertanya tentang Mae.“Tidur setelah lelah menangis. Poppy akan menemaninya. Besok pagi aku akan menggantikannya—sekaligus mengantarnya pulang.” Gina menghela napas panjang sambil memijat keningnya. Ikut pusing karena menangis. Air mata Mae mudah sekali mengundang iba.“Karena itu aku menunggumu. Kau pasti akan menangis.” Parker tersenyum. Ia tahu istrinya mudah iba.“Yang ini—aku rasa sangat ekstra. Kata Poppy dia yatim piatu, dan adiknya sakit. Tidak ada yang akan mengurusnya.” Gina sudah berhenti m
“Daddy, apa aku bisa melihat Ash hari ini?” Dean yang baru saja menghirup kopinya, harus menahan keluhan dalam hati. Amy menagih janjinya seketika begitu membuka mata. Bahkan turun ke ruang makan masih memakai piyama.Dean melirik Rowena yang juga sedang menikmati teh. Tidak tampak mendengar pertanyaan Amy, fokus pada ponselnya. “Nanti, Amy. Aku belum mendapat kabar lagi,” kata Dean sambil mengulurkan tangan, dan mengangkat Amy agar duduk di pangkuannya. “Kenapa belum? Aku mau sekarang!” Sepertinya pengertian yang tadi malam ada karena kantuk, karena sekarang Amy sudah siap merengek. “Tidak bisa. Kau kesana sekarang pun Ash tidak akan tahu. Ia belum sadar.” Dean sudah membaca laporan yang masuk ke ponselnya tadi pagi. Ash lebih stabil, tapi belum sadarkan diri.“Suruh bangun!” Dean ingin tertawa, tapi salah rasanya. “Seandainya semudah itu, Amy. Daddy akan meminta Ash bangun sejak kemarin.” “Aku ingin melihatnya sekarang pokoknya!”“Amy, turuti ayahmu. Nanti.” Pendek, jelas, t
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga