Home / Pernikahan / Kakak Iparku Mencintaiku / Chapter 51 - Chapter 60

All Chapters of Kakak Iparku Mencintaiku: Chapter 51 - Chapter 60

108 Chapters

Bab 51 - Minta Tunjangan

Beberapa jam kemudian, Langit Lausanne berganti menjadi malam, Harvey memeluk Lillian di bawah selimut. Keduanya masih polos tanpa sehelai benang pun. Setelah 'pertengkaran' yang berakhir dengan desahan dan geraman, mereka kini kelelahan dan terlelap.Pemandangan di luar rumah yang akan mereka tinggali selama beberapa hari ke depan terlihat indah, atap - atap kayu dengan latar belakang biru gelap menjelang hitam pekat, jajaran lampu - lampu kerlap kerlip menambah syahdu suasana.Di atas meja, ponsel Harvey bergetar mengganggu tidur nyenyak pemiliknya. Harvey berguling ke samping, pelan - pelan melepaskan pelukannya di pinggang Lillian dan bangun dari tidurnya. Dia duduk dan menghela napas. Ujung matanya melirik ke arah jam tangan miliknya yang tergeletak di atas nakas. Pukul sepuluh malam, siapa yang meneleponnya malam - malam.Suara getaran ponsel kembali terdengar. Harvey segera menyambar ponsel dan matanya terbelalak lebar.Papa."Kamu ada dimana, Har?"Suara berat Bernard terdeng
Read more

Bab 52 - Tentang Ernest Lagi

Lillian bangun bertepatan dengan Harvey yang menyudahi teleponnya dengan Bernard. Dan, demi menurunkan tensi darahnya yang naik karena cerita Bernard, Harvey memutuskan untuk berendam air panas bersama istrinya.Harvey duduk di ujung jacuzzi yang menggelegak menciptakan gelembung di permukaan. Matanya memandangi dengan sorot mendamba pada Lillian yang tengah memilih - milih film yang akan mereka tonton sambil berendam. Setelah memilih salah satu film yang pernah box office di jamannya, Lillian meluncur mulus mendekat pada Harvey.Layar TV memutar credit film pilihan Lillian diiringi dengan soundtrack yang sangat populer. Mendengarnya, Harvey pun mengerang."Kamu sudah berkali - kali nonton film ini, Lili.""Eh, tapi ini film legend banget. Dari masa ke masa bahkan sampai udah ke perayaan peraknya. Aku suka sekali film ini.""Meski berkali - kali menonton, kamu selalu menangis tersedu - sedu di endingnya.""Mau bagaimana lagi? Kan memang menyedihkan sekali endingnya. Kenapa sih harus m
Read more

Bab 53 - Masalahnya Dimana?

Harvey menoleh pada Lillian. Gadis kecil yang dulu sangat disayanginya itu kini berubah menjadi wanita dewasa, istrinya. Wanita pujaannya itu memegang gelas kosong sambil memandangnya dengan lembut."Hmm... ""Apa ada sesuatu yang perlu aku tahu?" tanya Lillian santai, tak ingin memaksa Harvey.Alis Harvey bertaut memandang Lillian, menimbang untuk bercerita atau tidak. Kalau iya, apa Lillian perlu tahu semua atau hal - hal yang penting saja. Entah kenapa dia tak ingin membawa Ernest dalam percakapan mereka.Lillian berdehem. "Biasanya Mama hanya menelepon kalau ada masalah saja kan? Tapi kalau kamu masih belum mau cerita tidak apa - apa.""Ha?" Harvey mendongak, tak menyangka Lillian bisa sekalem itu. Biasanya dia sudah ngambek atau cemberut kalau keinginannya tidak dituruti."O'ya, tunggu sebentar. Aku lupa ngomong kalau ada makanan lain yang belum tersaji. Kamu pasti suka."Lillian bergerak lincah ke sudut dapur dan kembali dengan membawa sepiring onion goreng berwarna keemasan. Di
Read more

Bab 54 - Lari Dari Kenyataan

Kesempatan Ernest untuk bersenang - senang tiba ketika keesokan harinya Bernard harus pergi keluar untuk mengurus beberapa keperluan. Diam - diam Ernest pergi dan membeli beberapa 'barang' menggunakan uang yang diambilnya dari brankas milik Marcia. Saat semua orang sudah masuk ke dalam kamar, dia mengurung diri di paviliun belakang, tempat yang paling jarang dikunjungi oleh Bernard. Semalaman, hampir setiap menit dia mengkonsumsi alkohol, sesekali menghisap rokok dengan pandangan menerawang. Pill yang diminumnya kian melambungkan khayalan ke hal - hal yang menyenangkan. Lupa dengan permasalahan yang sedang dia hadapi. Lari dari kenyataan. "Ya ampuuuun, Erneeeeeest!" seru Marcia setelah mencari - cari Ernest pagi ini. Bernard sudah menanyakan keberadaan putera mereka, khawatir kalau - kalau Ernest kembali menghilang dan kembali muncul dengan setumpuk masalah. Wanita paruh baya itu mengibaskan tangannya, bau sumpek sisa - sisa asap rokok masih terasa. Dia berjalan menyeberangi ruang
Read more

Bab 55 - Menghilang

Dua hari Ernest menghilang tanpa kabar. Marcia menyesal sekali tidak memasang CCTV di seluruh penjuru rumah. Terbiasa dengan hidup aman selama ini, mereka hanya memasang CCTV di bagian depan rumah dan ruang tamu. Sedangkan Paviliun hanya tersorot dari bagian depan, kemungkinan besar Ernest pergi lewat pintu samping paviliun. Pelayan - pelayan yang tersisa tidak ada satu pun yang bertemu dengan tuan muda mereka.Mau bertanya pada tetangga? Tentu saja hal ini bukan ide yang baik.Marcia tidak hanya gugup tapi juga panik. Bernard akhirnya menyadari kalau Ernest tidak pulang ke rumah. Semalaman mereka bertengkar, suaminya menyalahkan dia karena dianggap terlalu memanjakan Ernest.Kemana lagi Marcia harus mencari Ernest. Puteranya itu hanya membawa uang cash yang diambil diam - diam dari lemari penyimpanan, ponselnya mati dan Marcia tidak mengenal teman - teman Ernest.Mau melapor ke polisi, tapi Ernest baru saja lolos dari masalah pidananya. Selain itu, aturan pelaporan orang hilang baru
Read more

Bab 56 - Luka Masa Lalu

Nyonya besar itu mengeluarkan sesuatu dari mulut dan meludahkan benda itu ke atas telapak tangannya sendiri. Sebuah gigi. "Sayang!" seru Bernard bergegas menghampiri Marcia. Dia baru kembali dari perkebunan dan melihat sendiri bagaimana Marcia tergelincir.Bernard mengambil tissue, mengusap darah yang masih mengalir di bibir Marcia."Apa yang sakit?" tanyanya panik. Semarah - marahnya Bernard, dia sangat mencintai istrinya.Marcia menggeleng. Dia berusaha terlihat tenang, tapi kakinya berdenyut karena terkilir."Ambil baskom, air garam dan air dingin. Suruh seseorang memanggil Ernest untuk turun. Sekarang juga!" titahnya pada pelayan sambil membantu istrinya berjalan ke sofa.Pelayan mengangguk lalu tergopoh - gopoh pergi dan kembali lagi dengan barang - barang yang diminta oleh tuannya. Sementara seorang pelayan yang lain memanggil Ernest dengan perasaan takut. Semua pekerja tahu kalau Ernest tipe orang yang sulit dan mudah emosi terhadap pekerja seperti mereka.Bernard membersihkan
Read more

Bab 57 - Kabar Dari San Antonio

Tubuh Bernard terguling dan jatuh tak terkendali ke lantai satu. Tangan laki - laki berambut putih itu menggapai pinggiran tangga untuk menghentikan laju tubuhnya. Tapi, gagal."Bernard!" panggil Marcia panik.Dia ingin bergerak secepat mungkin tapi mendadak kakinya tak bertenaga, seperti orang lumpuh. Wanita itu menoleh ke Ernest."Ernest, apa yang kamu lakukan?! Lihat Papamu!" teriaknya panik.Pertanyaan Marcia seperti membangunkan Ernest dari tidurnya. Matanya terbuka lebar dan jantungnya berdegup kencang."Kenapa dengan Papa?" tanyanya sambil mengedarkan pandangan mengikuti arah yang ditunjuk oleh Marcia."Papa!" seru Ernest.Dia berlari secepat mungkin menghampiri Papanya dan berusaha membangunkannya, mengguncang badannya. Tapi Bernard tidak membuka mata.Marcia mulai menangis.Ernest semakin terbelalak ketika melihat darah keluar dari hidung Papanya. Dengan gemetar, dia mengusap cairan merah itu dengan jari. Sayangnya, darah tak juga berhenti.Kedua pelayan terbengong - bengong m
Read more

Bab 58 - Sebuah Keputusan

"Kamu benar - benar mau ikut pulang? Apa tidak apa - apa?" tanya Harvey untuk kesekian kalinya.Setelah meninggalkan Richard di kamarnya, mereka kembali ke kamar masing - masing. Amara memutuskan kalau akan kembali ke San Antonio dengan entah kereta atau pesawat, dia akan mencari transportasi tercepat yang bisa didapat.Lillian menyarankan hal yang sama kepada Harvey. Dia bahkan meminta suaminya supaya bekerja sama dengan Amara untuk mencari tiket pulang secepatnya.Tapi, Harvey tampak bimbang."Iya, Har. Mana bisa aku tetap melanjutkan liburan sementara suamiku sedang berkabung?" Lillian mengikat tali jubah tidur yang dipakainya dan merapikan rambut dengan tangan. Dia duduk di atas kasur, menutupi kaki hingga pangkal pahanya dengan selimut."Aku rasa naik pesawat lebih cepat sampai ke San Antonio," tambah Lillian lagi."Sayang, aku menyesal sekali liburan kita selesai sebelum waktunya," ucap Harvey pelan. Dia mengikuti Lillian, menyusup ke tempat tidur dan duduk di sana dengan ekspres
Read more

Bab 59 - Penyesalan Marcia

Harvey dan Lillian menunjukkan reaksi yang hampir sama dengan pernyataan Amara. "Berubah bagaimana? Aku rasa dia tetap sama," sahut Lillian heran. "Hm?" Harvey mengerutkan kening dan menatap Amara menuntut penjelasan. "Kenapa?" tanya Richard. "Semenjak.... " Amara menelan ludah, terlihat ragu - ragu. "Ehem, tapi ngomong - ngomong, bisa jadi yang aku ceritakan nanti hanya perasaanku saja. Aku takut kalau semua ini hanya pikiran burukku." "Iya, kenapa?" todong ketiga orang lainnya hampir bersamaan, mereka tidak sabar lagi. "Entahlah, aku lupa kapan tepatnya. Yang aku ingat Aunty Marcia dari dulu tidak begitu perhatian kepada anak - anaknya. Dia bahkan membiarkan Harvey diambil kakek dan nenek. Sebelumnya, Ernest tidak mendapat perhatian yang cukup hingga tiba - tiba saja Aunty Marcia berubah. Semua dia lakukan untuk Ernest. Benar atau salah, asalkan Ernest yang meminta maka akan dia usahakan." "Maksudmu memanjakan? Itu sih normal saja. Diakui atau tidak, kebanyakan orang tua punya
Read more

Bab 60 - Selamat Tinggal, Suamiku

Pesawat yang ditumpangi empat sekawan itu akan segera landing. Semua penumpang diminta untuk duduk dan memasang sabuk pengaman masing - masing. Harvey melirik Lillian yang duduk di sebelahnya, istrinya sedang memandang keluar jendela dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca.Perlahan, Harvey menautkan jari - jari mereka lalu mencondongkan kepalanya ke samping wajah Lillian, bertepatan dengan wanita itu menoleh."Astaga!" pekik Lillian terkejut.Harvey terkekeh lalu berkata dengan nada satire, "Welcome to San Antonio. Siap menghadapi kenyataan?""Bagaimana dengan dirimu sendiri?" balas Lillian.Keduanya saling bertatapan dan Harvey menjawab, "Kalau kamu siap, aku siap."Lillian tersenyum. "Aku tahu kalau hubungan darah tidak bisa dihapus dengan cara apa pun. Sekuat apa pun kita ingin menjauh, tetap saja ada waktu dimana kita harus mendekat. Seburuk - buruknya Ernest, dia tetap adikmu. Saudara kita."Harvey menyipitkan mata dan melontarkan candaan. "Sejak kapan Lillianku jadi bijak kaya b
Read more
PREV
1
...
45678
...
11
DMCA.com Protection Status