Harvey dan Lillian menunjukkan reaksi yang hampir sama dengan pernyataan Amara. "Berubah bagaimana? Aku rasa dia tetap sama," sahut Lillian heran. "Hm?" Harvey mengerutkan kening dan menatap Amara menuntut penjelasan. "Kenapa?" tanya Richard. "Semenjak.... " Amara menelan ludah, terlihat ragu - ragu. "Ehem, tapi ngomong - ngomong, bisa jadi yang aku ceritakan nanti hanya perasaanku saja. Aku takut kalau semua ini hanya pikiran burukku." "Iya, kenapa?" todong ketiga orang lainnya hampir bersamaan, mereka tidak sabar lagi. "Entahlah, aku lupa kapan tepatnya. Yang aku ingat Aunty Marcia dari dulu tidak begitu perhatian kepada anak - anaknya. Dia bahkan membiarkan Harvey diambil kakek dan nenek. Sebelumnya, Ernest tidak mendapat perhatian yang cukup hingga tiba - tiba saja Aunty Marcia berubah. Semua dia lakukan untuk Ernest. Benar atau salah, asalkan Ernest yang meminta maka akan dia usahakan." "Maksudmu memanjakan? Itu sih normal saja. Diakui atau tidak, kebanyakan orang tua punya
Pesawat yang ditumpangi empat sekawan itu akan segera landing. Semua penumpang diminta untuk duduk dan memasang sabuk pengaman masing - masing. Harvey melirik Lillian yang duduk di sebelahnya, istrinya sedang memandang keluar jendela dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca.Perlahan, Harvey menautkan jari - jari mereka lalu mencondongkan kepalanya ke samping wajah Lillian, bertepatan dengan wanita itu menoleh."Astaga!" pekik Lillian terkejut.Harvey terkekeh lalu berkata dengan nada satire, "Welcome to San Antonio. Siap menghadapi kenyataan?""Bagaimana dengan dirimu sendiri?" balas Lillian.Keduanya saling bertatapan dan Harvey menjawab, "Kalau kamu siap, aku siap."Lillian tersenyum. "Aku tahu kalau hubungan darah tidak bisa dihapus dengan cara apa pun. Sekuat apa pun kita ingin menjauh, tetap saja ada waktu dimana kita harus mendekat. Seburuk - buruknya Ernest, dia tetap adikmu. Saudara kita."Harvey menyipitkan mata dan melontarkan candaan. "Sejak kapan Lillianku jadi bijak kaya b
"Ernest dimana?" Pertanyaan Harvey membuat Marcia menarik napas dalam - dalam. Wanita itu mengusap wajahnya yang bebas dari make up, sorot matanya yang tadinya penuh kesedihan kini berganti dengan sorot mata putus asa ketika mendengar nama putera bungsunya disebut."Ada apa, Ma?" tanya Harvey yang tidak tahu secara mendetail mengenai peristiwa dibalik kepergian Bernard."Uhm, dia ada di rumah... " lirih Marcia. "Dia... terlalu shock untuk menghadiri pemakaman."Marcia yakin kalau pertanyaan Harvey adalah pertanyaan yang sama dengan yang ada dibenak para kerabat yang melayat. Untunglah, mereka semua masih menghormati dirinya yang sedang berkabung hingga tak sempat terlontar pertanyaan itu. Tapi pertanyaan penasaran dari Harvey, membuatnya merasa kalau dia harus menjelaskan sesuatu tentang Ernest."Dia... " Suara Marcia terdengar menggantung. Beberapa saat wanita itu diam, lalu kembali berkata, "Ernest merasa sedih dengan kepergian papanya. Mama tahu dia sangat terpukul dengan peristiwa
Keesokan harinya, keluarga inti Luther berkumpul di ruang kerja Bernard. Harvey dan Lillian menunda kepulangannya ke St. Moritz atas permintaan Marcia. Semalam mereka menginap disana dan sama sekali tidak bertemu dengan Ernest. Bahkan saat makan malam pun dia tidak menampakkan diri. Marcia beralasan kalau Ernest sedang shock dan menenangkan diri di paviliun tapi Harvey tak percaya. Dia menduga kalau Ernest sudah kembali ke kebiasaan lamanya yang suka menghilang dan 'asyik' dengan hidupnya sendiri. Hanya ada Richard di ruang kerja Bernard ketika Harvey dan Lillian masuk. Mereka saling menyapa sekilas. Diam - diam Lillian merasa lega karena Ernest belum datang. Bukan karena dia takut, sama sekali bukan. Tapi di saat seperti ini, dia tidak ingin kalau Ernest sampai membuat gaduh suasana yang sedang berduka. Harvey menggandeng tangan Lillian sambil mengedarkan pandangan, rumah ini sebentar lagi akan ditinggalkan penghuninya. Lemari yang berisi koleksi buku Bernard sudah kosong. Rak - ra
Setelah pembagian warisan yang berakhir dengan drama antara Marcia dan Gloria, akhirnya mereka semua kembali ke kehidupan masing - masing. Harvey dan Lillian kembali ke St. Moritz dengan pertanyaan besar tentang Ernest yang terlihat seperti orang kecanduan. Marcia tiba - tiba saja membatalkan niatnya untuk kembali ke St. Moritz tapi dia tidak menceritakan apa pun tentang rencananya di masa mendatang. Yang pasti, dia akan hidup berdua dengan Ernest. Tempat tujuan pertama mereka begitu tiba di St. Moritz sudah pasti adalah rumah Lillian. Dan, kejutan terpampang di hadapan Lillian saat membuka pintu. Kardus - kardus besar sudah tertata rapi di ruang tamu. Ruangan - ruangan sudah bersih layaknya orang mau pindahan. "Har, kenapa jadi rapi begini?" Harvey menoleh kepada istrinya, "Hanya tersisa barang - barang pribadimu yang belum dirapikan. Ambillah, setelah itu ayo pulang ke rumah kita." "Ha?" "Rencana awalku, kita akan tinggal di rumah kita. Kebetulan Mama dan papa meminta tumpanga
Pagi itu, Lillian sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Sungkan karena Harvey sudah lebih dahulu ke dapur memasak makan pagi sederhana mereka, Lillian buru - buru turun ke dapur untuk membantu suaminya.Harum aroma kopi bercampur makanan menguar, menggugah selera makan. Lillian menoleh ke meja makan, ternyata sarapan sudah siap. Dia menemukan dua gelas cappucino hangat dan dua piring American breakfast siap untuk dinikmati.Tapi dimana Harvey?Lillian mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dari balik jendela dapur yang menghadap ke kolam, dia melihat Harvey berjalan mondar mandir disana sedang menelepon seseorang dengan ekspresi yang sangat serius. Keningnya berkerut sambil sesekali tangannya mengusap rambut.Dia bisa merasakan kegelisahan Harvey. Ada sesuatu sedang terjadi. Entah apa.Tak berani mengganggu, Lillian memilih mulai menikmati sarapannya. Semalam dia tidur nyenyak dan pagi ini perutnya terasa sangat kosong. Baru saja satu potong telor masuk ke dalam mulutnya, suara bel b
Petugas keamanan menunduk canggung saat Lillian melewatinya sambil mengucapkan selamat pagi dengan senyum manis terulas di bibir. Ada segerombolan karyawan dari divisi lain yang berpapasan dengannya. Mereka bicara dengan suara rendah sambil melirik Lillian, lalu mereka berhenti bicara ketika jarak mereka sudah lebih dekat. Cara mereka berbicara seperti orang yang sedang menggunjingkan orang lain. Tak mau ambil pusing, Lillian menuju lift dan memencet nomor lantai yang ingin dia tuju. Divisi desain interior. Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka. Ada dua orang mahasiswa magang hendak keluar dari sana. Lillian mengenal mereka karena kedua gadis itu melakukan masa pelatihan di dalam tim yang sama dengan Lillian. Itu sebelum Lillian mengambil cuti. Dia tersenyum ramah dan menyapa mereka dengan ceria. "Selamat pagi, Emma dan Sally. Senang bertemu lagi dengan kalian." Kedua orang yang disapa mengangguk sopan dan menjawab hampir bersamaan. "Selamat pagi, Lillian." Lagi - lagi Lill
Kedua wanita itu diam ketika Lillian masuk ke dalam pantry. Dia menyapa mereka dengan ramah, berpura - pura tidak mendengar percakapan mereka tadi. Mereka membalas senyum Lillian lalu bergegas keluar tanpa mengatakan apa pun lagi.Lillian memutar bola matanya dengan sebal. Dia benci orang yang suka membicarakan orang lain. Setelah mengisi botol minuman, Lillian kembali ke biliknya.Ada sebuah pesan dari Xanders di grup, Lillian segera membacanya. Pesan itu ditujukan kepada semua anggota tim untuk mengingatkan acara makan bersama yang rutin diadakan setiap dua bulan sekali, tujuannya untuk mendekatkan satu sama lain.Sebelum lupa, Lillian mengirimkan pesan pada Harvey tentang acara makan malam itu.Tepat pukul lima sore, Lillian sudah menyelesaikan semua pekerjaannya. Dia menyimpan file hasil desainnya dan merapikan mejanya kembali. Orang - orang yang ada di divisi ini juga sedang membereskan perlengkapan mereka dan bersiap ke rumah makan. Semuanya menyukai acara makan malam gratis ini,
Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor
Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men
"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting
"Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum
Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa
Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per
"Kenapa kamu membiarkan Harvey menghamilimu?" Ernest merubah pertanyaannya."Maksud kamu, kenapa aku mau dihamili sama Harvey?" tanya Lillian dengan pikiran yang kacau.Ernest mengangguk, "Hm-hm."Demi apa pun di dunia, Lillian tidak tahu harus menjawab apa. Dia belum pernah mendapat pertanyaan seaneh ini. Otaknya berputar secepat yang dia bisa untuk menemukan jawaban yang tepat, tapi yang keluar malah kalimat - kalimat dengan nada bertanya."Karena kami berdua sudah menikah kan? Seorang wanita yang sudah menikah lalu hamil, itu normal kan?"Lillian merasa kalau kecerdasannya mendadak hilang begitu saja. Dia merasa seperti di desak oleh paparazi sinting dengan pertanyaan - pertanyaan wawancara yang super aneh."Memangnya kamu harus hamil?""Ha?"Ya ampun. Apa sih ini? Pertanyaan macam apa ini? Lillian benar - benar ingin kabur dari situasi ini."Orang menikah kan tidak harus punya anak. Diluar sana banyak yang menikah dan tidak punya anak dan mereka tetap bahagia. Child free menjadi t
Lillian terlihat ragu sejenak tapi posisinya dia sudah berada persis di ambang pintu. Boleh dibilang tubuhnya sudah masuk ke dalam ruang tamu. Tak ingin menyinggung Ernest, Lillian terpaksa masuk ke dalam rumah."Kamu itu menantu yang baik, selalu ingat hari penting mertua," ujar Ernest sambil mendahului masuk ke dalam rumah.Lillian sedikit lega saat melihat pintu rumah tidak tertutup sempurna. Itu artinya ketakutannya pada Ernest tidak beralasan. Bisa jadi mantan suaminya benar - benar sudah sembuh."Kamu mau minum apa?" tawar Ernest sambil mempersilahkan Lillian untuk duduk."Oh, terima kasih. Aku tidak haus," tolak Lillian secara halus. Dia menempelkan tubuhnya yang mulai terasa pegal ke sofa yang empuk."Bagaimana kalau air mineral? Botolnya masih tersegel, jangan khawatir aku tidak membubuhkan apa pun di dalamnya," ujar Ernest sambil tertawa pelan.Lillian terkesiap dan merasa sungkan karena Ernest ternyata merasakan kecanggungan sikapnya."Hehe, sorry aku tidak bermaksud sepert
"Apa Tuan sudah tau kalau Nyonya akan pergi menemui desainer baju Nona Amara?" tanya Anna sekali lagi untuk memastikan. Masalahnya, setiap pagi Harvey meneleponnya hanya untuk memastikan kegiatan Lillian dan Anna tadi hanya melapor kalau Lillian akan pergi siang nanti menemui Marcia."Aku sudah mengiriminya pesan Kok. Tadi pagi, aku telepon tapi dia tidak mengangkatnya. Sepertinya aku kesiangan. Kemarin aku janji mau telepon dia sebelum jam tujuh. Aku menelepon dia pukul tujuh tepat."Amara sedang menelepin seseorang. Lillian tidak ambil pusing dan kembali menikmati sarapannya. Sup jagung buatan Anna tiada duanya. "Enak banget supnya," pujinya sambil mengacungkan jempol, puas dengan masakan Anna.Tapi ekspresi Anna tidak begitu senang, dia terlihat khawatir. Ada perasaan tak enak untuk melepas majikannya pergi berdua saja hari ini."Nyonya, saya pernah dengar kalau orang hamil tidak boleh banyak keluyuran. Apalagi kalau sudah mendekati hari H. Sebaiknya di rumah saja, biar tuan yang