Home / Pernikahan / Kakak Iparku Mencintaiku / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Kakak Iparku Mencintaiku: Chapter 21 - Chapter 30

108 Chapters

Bab 21 - Ciuman Di Rumah Mertua

Tiga hari setelahnya, setelah Harvey memastikan kondisi kesehatan Lillian, mereka akhirnya berangkat ke San Antonio. Awalnya Marcia dan Bernard memaksa Lillian untuk langsung ikut, tapi Harvey dengan keras menolak dengan alasan tak mau menanggung resiko di perjalanan. Atas anjuran dokter, waktu paling aman bepergian luar kota setelah operasi menggunakan metode laparoskopi minimal satu minggu. Salah seorang asisten rumah tangga di San Antonio melapor pada Harvey kalau Ernest mengamuk karena mabuk. Tak ada yang bisa mengatasinya. Hal itu semakin menguatkan tekad Harvey untuk mencegah Lillian pulang tanpa dirinya. Harvey harus menyelesaikan beberapa urusan kantor sebelum bisa pulang San Antonio.Khawatir dengan kondisi rumah, Marcia dan Bernard terpaksa pulang lebih dulu ke San Antonio. Sedangkan Amara, dia memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama Richard sebelum kembali kesana. Tentu saja, Richard yang akan mengantarnya kembali ke San Antonio.Lillian dan Harvey saling berdiam diri
Read more

Bab 22 - Udang Di Balik Batu

Posisi intim seperti ini ditambah ruang kamar yang tertutup rapat, lama kelamaan orang bisa mencurigai hubungan mereka. Dan saat ini, Lillian tidak siap berkonfrontasi dengan siapa pun di keluarga Luther. Cukup Ernest saja yang menjadi masalahnya."Turunkan aku!" perintah Lillian tak bisa dibantah.Harvey mendesah keras. Terlihat sekali laki - laki itu enggan menuruti permintaan Lillian. Sayangnya, Lillian sudah berhasil menguasai diri. Dia melihat Harvey dengan tatapan membunuh. Kalau sudah begini, mau tak mau Harvey menurut. Itu lebih baik dari pada Lillian ngambek berkepanjangan.Dia menurunkan Lillian dan balas berseru, "Ya, Papa. Tunggu!"Ketika Harvey membuka pintu kamar, Bernard sudah menunggunya. Laki - laki paruh baya itu berdiri dengan gagah mengenakan kemeja warna denim dan celana jeans hitam lengkap dengan sepatunya."Papa mau pergi?" tanya Harvey heran. Sehari - hari Bernard biasanya mengenakan celana pendek dan kaos kalau di rumah."Kalian sudah tiba? Sejak kapan?" Bernar
Read more

Bab 23 - Tak Mudah Jatuh Cinta

Jonathan menghela napas panjang, "Iya, benar. Sejak istriku meninggal, Carina ikut kemana pun aku pergi. Relasinya sedikit. Itulah sebabnya aku ingin dia belajar sekaligus berteman lebih banyak diluar sana."Marcia pun ikut menghela napas, lalu memasang ekspresi sedih dan menghampiri Carina lalu merangkulnya, "Anggaplah kami keluarga sendiri. Kelak berteman dekatlah dengan Harvey. Dia laki - laki yang baik dan sangat melindungi wanita.""Aku setuju sekali. Har, kami yang sudah tua ini ingin bernostalgia. Tolong temani Carina ke dapur. Dia berjanji akan membuatkan makan siang istimewa untuk kita hari ini. Dan Carina, anggaplah rumah sendiri," tambah Bernard sambil tersenyum ramah."Tolonglah Carina, Nak. Bantulah puteriku belajar bisnis. Aku yakin kamu sangat berpengalaman di bidang ini," pinta Jonathan sungguh - sungguh kepada Harvey.Tak mau menjanjikan apa pun, Harvey memilih diam dan menatap Jonathan dengan tatapan yang dingin.Harvey bukan orang bodoh. Dia dengan mudah bisa menebak
Read more

Bab 24 - Terlihat Seperti Pasangan

Di dalam kamar, Lillian berusaha keras membaca majalah interior yang sengaja dibawanya dari St. Moritz. Tapi, dia kesulitan konsentrasi. Buku itu terbuka, lembar demi lembar dia balik tanpa tahu dengan benar apa isinya. Sampai di halaman terakhir, dia akan menutup buku. Lalu kembali membukanya dan melakukan hal yang sama.Beberapa kali mengulang membaca, Lillian tetap tak mendapatkan apa pun dari majalah yang dibacanya.Lillian benar - benar bingung. Dia yang menyuruh Harvey pergi, dia pula yang merasa kesepian. Lebih heran lagi, hatinya terus gelisah. Akhirnya dia menutup buku dan memasukkan tasnya ke dalam lemari. Dia sama sekali tidak berminat menata pakaiannya.Setelah itu Lillian duduk termenung, mulai merunut peristiwa dari awal Ernest mulai sering menghilang hingga memeras dirinya.Dari situ, Lillian merasa dirinya bodoh. Apakah dengan berkorban Ernest akan merasa tersentuh hatinya? Apakah dengan mengalah hubungan mereka akan kembali seperti dulu?Awalnya Lillian berpikir kalau
Read more

Bab 25 - Ceraikan Aku!

Semakin Lillian mendengarkan, semakin dia bingung. Orang - orang di dalam sana seperti sedang berebut bicara. Dia hanya bisa menangkap pembicaraan yang sepotong - sepotong saat suaranya lebih kencang hingga berhasil menembus pintu kayu yang tebal. Desain paviliun ini memang bagus, semua dari bahan terbaik, sampai - sampai terkesan semi kedap suara. Kaca - kaca dan pintu kayu, semuanya terbuat dari bahan yang berkualitas dan tebal. "Bersabarlah! Aku mengusahakan yang terbaik untukmu." pekik Marcia dengan nada penuh emosi. Wow! Ada apa dengan Marcia? Rasa ingin tahu Lillian melonjak sampai ke ubun - ubun. Mertuanya memang bukan tipe penyayang tapi juga bukan tipe orang yang kasar. Selama menjadi menantu, Marcia tidak pernah semarah itu kepadanya. Kata - kata sinis atau sindiran masih bisa dimaklumi oleh Lillian. Didalam sana ada Ernest, Marcia dan satu orang lagi. Sepertinya pembicaraan ini mengenai salah satu dari mereka. Kegaduhan mereda, tapi penasaran itu tak juga menghilang. Tanp
Read more

Bab 106 - Misi Penyelamatan

"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent." Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini, "Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --" "Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --" "Ha? Ap--?" PIP .... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?" Sopir menatap Amara dengan bingung. "Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil. Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya. "Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kece
Read more

Bab 27 - Permainan Psikologi

"Ernest tidak menghilang. Dia ada di paviliun, hanya saja kondisinya sedang tidak sehat." Lillian tidak tahu kenapa dia bisa mengeluarkan pernyataan seperti itu. Entah untuk membela Ernest atau demi dirinya sendiri. Tak taulah.... "O'ya? Kalau begitu maafkan aku yang sudah berpikir yang tidak - tidak. Kalau begitu, sebaiknya kamu siapkan makan siang untuk suamimu dan mengantarkannya kesana. Seorang suami pasti bahagia kalau istrinya setia mendampingi saat sakit," ujar Carina sok bijak. Dia sengaja memasang raut penuh empati. Terjebak dengan pernyataannya sendiri, Lillian hanya bisa menutup mulutnya rapat - rapat sambil mengumpat dirinya sendiri dalam hati.Pelayan datang membawakan makanan dan menatanya di meja. Carina memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Dia mengambil baki, mengisinya dengan piring dan gelas, lalu meletakkan beberapa macam makanan dan minuman diatas alat - alat makan itu. Porsinya cukup untuk dua orang. Tak lama dia kembali menghampiri Lillian, memberikan baki
Read more

Bab 28 - Interogasi

Suasana ruangan seketika sunyi karena celetukan Amara. Carina menyesali kebodohannya. Harvey melirik Carina dengan tatapan curiga, bertepatan dengan Marcia yang masuk setelah berhasil menenangkan diri karena sempat berselisih pendapat dengan Harvey.Menyadari suasana yang berubah tegang, Marcia mengedarkan pandangan. Matanya bertemu dengan tatapan sedih Carina."Hey, apa kalian semua menungguku? Ayo, ayo, silahkan duduk," ajaknya dengan senyum dipaksakan sembari membimbing anak sahabatnya itu."Kalian bisa makan duluan, Mama. Papa memberitahu kami kalau Ernest sedang tidak sehat. Biar kami menjenguknya sekaligus mengantarkan makanan," jawab Harvey dengan cepat sekaligus berpamitan, lalu dia melanjutkan lagi dalam hati."Biarkan kami akan menyelesaikan masalah kami. Dan setelah itu, kami akan langsung kembali ke St. Moritz."Marcia menghela napas sambil menatap Harvet dengan tatapan yang tidak terbaca. Dia kewalahan mengatur kedua puteranya.Tak peduli pandangan Marcia, Harvey dengan
Read more

Bab 29

Nyonya Marcia Luther adalah tipe ibu yang akan melakukan apa pun demi anaknya. Meski yang dilakukan salah sekali pun. Begitu dia mendengar Ernest terlibat masalah, dia langsung berupaya keras menolongnya.Mau seburuk apa pun kelakuannya, dia akan menjadi garda terdepan pembela puteranya.Walau pun Marcia berkata kalau hari ini ada tamu, Harvey tetap meminta waktu untuk bicara. Ini masalah serius. Dia tak mau kalau Ernest kembali menyeret Lillian ke dalam pusaran masalah yang terus menggerus masa depan Ernest.Setelah berbasa basi perpisahan dengan Carina, wanita itu kembali ke dalam rumah. Ibu dan anak itu bertemu di ruang kerja Bernard."Harvey." panggil Marcia sambil menyentuh punggung puteranya yang berdiri menghadap jendela besar.Dia ikut melihat keluar. Dari sini mereka bisa mengamati pemandangan diluar sana. Dan tentu saja, puteranya itu sedang mengamati object yang selalu menarik hatinya, yaitu Lillian yang sedang berbincang dengan Amara di taman.Marcia sadar kalau Harvey dan
Read more

Bab 30 - Sudah Tidak Bucin

Lega! Lillian lega luar biasa saat Harvey dengan jelas menentukan sikap dengan menolak perjodohannya dengan Carina. Tapi rasa lega berubah menjadi perasaan konyol. Kalau Harvey tidak jadi menikah, lantas apa manfaatnya bagi dirinya? Toh, dia tetap istri Ernest. Cerai? Bukankah itu lebih baik? Dia tak perlu terbebani lagi dengan hutang Ernest, lalu tak ada lagi teror kekerasan rumah tangga. Yang lebih penting, pikirannya bisa kembali tenang. Ernest bersama wanita lain pun sudah bukan urusannya. Namun berpisah dengan Ernest, lalu menikah dengan Harvey yang kakak iparnya? Apa kata dunia? Ah, Lillian benar - benar ingin menangis dibuat ruwet oleh perasaannya sendiri. Melihat Lillian melamun, Amara memetik bunga - bunga kecil dan mengumpulkannya diatas sebuah mangkuk kayu kecil bekas pupuk yang tak sengaja ditemukannya di rerumputan. Dia menghampiri dan duduk di sebelah sahabatnya lalu memberikannya mangkuk berisi tumpukan bunga. "Dulu kamu suka sekali memakai mahkota bunga buatanku da
Read more
PREV
123456
...
11
DMCA.com Protection Status