Semakin Lillian mendengarkan, semakin dia bingung. Orang - orang di dalam sana seperti sedang berebut bicara. Dia hanya bisa menangkap pembicaraan yang sepotong - sepotong saat suaranya lebih kencang hingga berhasil menembus pintu kayu yang tebal. Desain paviliun ini memang bagus, semua dari bahan terbaik, sampai - sampai terkesan semi kedap suara. Kaca - kaca dan pintu kayu, semuanya terbuat dari bahan yang berkualitas dan tebal. "Bersabarlah! Aku mengusahakan yang terbaik untukmu." pekik Marcia dengan nada penuh emosi. Wow! Ada apa dengan Marcia? Rasa ingin tahu Lillian melonjak sampai ke ubun - ubun. Mertuanya memang bukan tipe penyayang tapi juga bukan tipe orang yang kasar. Selama menjadi menantu, Marcia tidak pernah semarah itu kepadanya. Kata - kata sinis atau sindiran masih bisa dimaklumi oleh Lillian. Didalam sana ada Ernest, Marcia dan satu orang lagi. Sepertinya pembicaraan ini mengenai salah satu dari mereka. Kegaduhan mereda, tapi penasaran itu tak juga menghilang. Tanp
"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent." Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini, "Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --" "Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --" "Ha? Ap--?" PIP .... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?" Sopir menatap Amara dengan bingung. "Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil. Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya. "Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kece
"Ernest tidak menghilang. Dia ada di paviliun, hanya saja kondisinya sedang tidak sehat." Lillian tidak tahu kenapa dia bisa mengeluarkan pernyataan seperti itu. Entah untuk membela Ernest atau demi dirinya sendiri. Tak taulah.... "O'ya? Kalau begitu maafkan aku yang sudah berpikir yang tidak - tidak. Kalau begitu, sebaiknya kamu siapkan makan siang untuk suamimu dan mengantarkannya kesana. Seorang suami pasti bahagia kalau istrinya setia mendampingi saat sakit," ujar Carina sok bijak. Dia sengaja memasang raut penuh empati. Terjebak dengan pernyataannya sendiri, Lillian hanya bisa menutup mulutnya rapat - rapat sambil mengumpat dirinya sendiri dalam hati.Pelayan datang membawakan makanan dan menatanya di meja. Carina memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Dia mengambil baki, mengisinya dengan piring dan gelas, lalu meletakkan beberapa macam makanan dan minuman diatas alat - alat makan itu. Porsinya cukup untuk dua orang. Tak lama dia kembali menghampiri Lillian, memberikan baki
Suasana ruangan seketika sunyi karena celetukan Amara. Carina menyesali kebodohannya. Harvey melirik Carina dengan tatapan curiga, bertepatan dengan Marcia yang masuk setelah berhasil menenangkan diri karena sempat berselisih pendapat dengan Harvey.Menyadari suasana yang berubah tegang, Marcia mengedarkan pandangan. Matanya bertemu dengan tatapan sedih Carina."Hey, apa kalian semua menungguku? Ayo, ayo, silahkan duduk," ajaknya dengan senyum dipaksakan sembari membimbing anak sahabatnya itu."Kalian bisa makan duluan, Mama. Papa memberitahu kami kalau Ernest sedang tidak sehat. Biar kami menjenguknya sekaligus mengantarkan makanan," jawab Harvey dengan cepat sekaligus berpamitan, lalu dia melanjutkan lagi dalam hati."Biarkan kami akan menyelesaikan masalah kami. Dan setelah itu, kami akan langsung kembali ke St. Moritz."Marcia menghela napas sambil menatap Harvet dengan tatapan yang tidak terbaca. Dia kewalahan mengatur kedua puteranya.Tak peduli pandangan Marcia, Harvey dengan
Nyonya Marcia Luther adalah tipe ibu yang akan melakukan apa pun demi anaknya. Meski yang dilakukan salah sekali pun. Begitu dia mendengar Ernest terlibat masalah, dia langsung berupaya keras menolongnya.Mau seburuk apa pun kelakuannya, dia akan menjadi garda terdepan pembela puteranya.Walau pun Marcia berkata kalau hari ini ada tamu, Harvey tetap meminta waktu untuk bicara. Ini masalah serius. Dia tak mau kalau Ernest kembali menyeret Lillian ke dalam pusaran masalah yang terus menggerus masa depan Ernest.Setelah berbasa basi perpisahan dengan Carina, wanita itu kembali ke dalam rumah. Ibu dan anak itu bertemu di ruang kerja Bernard."Harvey." panggil Marcia sambil menyentuh punggung puteranya yang berdiri menghadap jendela besar.Dia ikut melihat keluar. Dari sini mereka bisa mengamati pemandangan diluar sana. Dan tentu saja, puteranya itu sedang mengamati object yang selalu menarik hatinya, yaitu Lillian yang sedang berbincang dengan Amara di taman.Marcia sadar kalau Harvey dan
Lega! Lillian lega luar biasa saat Harvey dengan jelas menentukan sikap dengan menolak perjodohannya dengan Carina. Tapi rasa lega berubah menjadi perasaan konyol. Kalau Harvey tidak jadi menikah, lantas apa manfaatnya bagi dirinya? Toh, dia tetap istri Ernest. Cerai? Bukankah itu lebih baik? Dia tak perlu terbebani lagi dengan hutang Ernest, lalu tak ada lagi teror kekerasan rumah tangga. Yang lebih penting, pikirannya bisa kembali tenang. Ernest bersama wanita lain pun sudah bukan urusannya. Namun berpisah dengan Ernest, lalu menikah dengan Harvey yang kakak iparnya? Apa kata dunia? Ah, Lillian benar - benar ingin menangis dibuat ruwet oleh perasaannya sendiri. Melihat Lillian melamun, Amara memetik bunga - bunga kecil dan mengumpulkannya diatas sebuah mangkuk kayu kecil bekas pupuk yang tak sengaja ditemukannya di rerumputan. Dia menghampiri dan duduk di sebelah sahabatnya lalu memberikannya mangkuk berisi tumpukan bunga. "Dulu kamu suka sekali memakai mahkota bunga buatanku da
Hari ini benar - benar hari yang tidak masuk akal bagi Lillian. Amara perlahan - lahan berusaha menambal ingatan demi ingatan yang sempat terhapus dari memori Lillian. "Sebenarnya Ernest sudah menceraikan aku? Tapi untuk alasan apa?" gumam Lillian antara percaya dan tidak.Amara menghela napas. "Itulah yang ingin kami ketahui darimu, Lili. Apa penyebab pertengkaran terakhir antara kamu dan Ernest? Saat itu kamu kabur dari rumah tanpa membawa apa pun. Bahkan kartu identitas atau dompet. Petugas kepolisian menemukanmu sebagai korban tabrak lari."Lillian tertegun. Dia sama sekali tidak mengingat apa pun. Iya. Dia dan Ernest memang sering cekcok, banyak hal yang menjadi penyebabnya bahkan hal - hal sepele pun bisa mengundang pertengkaran. Tapi Lillian tidak pernah ingat kalau dia sempat kabur. "Kabur? Kabur bagaimana maksudmu?""Ck! Bukankah tadi aku bertanya kenapa kamu kabur? Kami tak tahu apa - apa. Ernest juga sama saja. Dia sama sekali tidak bisa diharapkan untuk membantu." "Lalu
Marcia datang tergopoh - gopoh menghampiri Lillian dan Amara yang sedang berbincang di taman. Napasnya terengah saat dia bertanya, "Amara, Amara, bisa tolong Aunty?""Ada apa, Aunty?" tanya Amara dengan santai, sepertinya kedatangan Marcia ada hubungannya dengan Ernest."Amara!" Marcia memegang kedua bahu keponakannya dan menatap dengan serius."Iya, Aunty?""Ernest ada di kantor polisi," seru Marcia tertahan."Kalian sudah tahu?" tanya Lillian dan Amara hampir berbarengan.Marcia melepaskan tangannya dari bahu Amara lalu mengusap wajahnya. "Polisi baru saja datang. Kita harus kesana. Aku butuh pengacara. Bisakah kamu suruh Richard menyusul kami disana?""Tapi Ernest berkata kalau dia sudah tidak bekerja sama lagi dengan Richard. Baru saja Ernest menelepon Lillian dan minta tolong dicarikan pengacara." Amara menjelaskan pembicaraan Lillian dan Amara dengan singkat."O'ya? Kalian sudah tau? Apa benar Ernest menghubungimu?" tanya Marcia setelah menyadari kedua orang di hadapannya sudah t
Dua tahun kemudian,"Sebelum jam 4 sore sudah ada di rumah ya?" pinta Harvey.Lillian mengangguk, "Iya, Har. Aku cuma sebentar di rumah makan. Setelah itu baru belanja. Kalau sudah dapat barangnya, pasti aku langsung pulang."Harvey cemberut. Hari ini Lillian ada janji pergi bersama Amara, kalau sudah begitu jam pulangnya tidak akan bisa ditentukan. Sejak putera mereka berusia satu tahun, istrinya itu semakin sibuk sampai - sampai pergi pagi pulang malam. Akhirnya, Harvey lebih memilih bekerja dari rumah sambil menjaga putera mereka.Kini dia jadi bapak rumah tangga, posisi mereka jadi terbalik. Lillian yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada Harvey."Kamu jangan mau kalau diajak keluyuran tidak jelas sama Amara. Nongkrong - nongkrong di cafe, belanja - belanja terus," omel Harvey.Lillian tersenyum. "Aku sudah nolak, Har. Tapi kamu tau sendiri bagaimana Amara kalau sudah punya keinginan. Lagipula, dia masih hamil. Apa kamu tega lihat dia keluyuran sendiri di kantor
Theopillus meyakinkan pada mereka kalau semua yang bernyawa di dalam rumah - rumah yang mengalami kebakaran sudah dievakuasi dan tidak ada yang tertinggal. Anak - anak, orang dewasa, manula, bahkan termasuk juga hewan peliharaan bagi yang memeliharanya di rumah.Kaki Harvey serasa tak berpijak saat mendengar kalau ada korban meninggal di rumah nomer E7, tapi dia memaksa diri untuk mengikuti langkah Theopillus ke sisi lain lapangan.Tidak berbeda dengan Harvey, Richard pun pucat pasi. Mereka berjalan seperti mayat hidup, sambil mendengarkan kronologis kejadian yang disampaikan oleh Theopillus.Dua laki - laki itu oleng saat melihat dua buah tandu yang berisi seseorang yang ditutup selimut sekujur tubuhnya. Mereka tidak bisa melihat wajah orang itu tapi Harvey tak sengaja melihat sebuah tangan dengan kulit putih pucat dari balik selimut di salah satu tandu. Leher Harvey tercekat, jantungnya berdegup kencang saat mengenali gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rantainya memang men
"Nona," Tiba - tiba saja sopir Lillian masuk ke supermarket dan menyodorkan ponsel kepada Amara. "Ponselnya berdering terus, Nona. Saya menemukannya di jok belakang mobil. Silahkan, Nona. Barangkali ada yang urgent."Amara melihat ada nama Lillian di layar ponsel, dia langsung menggeser tombol hijau. Mengira Lillian tak sabar menunggu, Amara langsung menjelaskan kondisinya saat ini,"Sorry, Say. Tadi di supermarket terdekat tidak ada angka yang sesuai dengan usia Aunty --""Amara, dengarkan aku. Disini berbahaya... --""Ha? Ap--?"PIP.... Telepon mati. Amara membelalakkan matanya dan menoleh ke sopir, "Apa yang terjadi sebenarnya?"Sopir menatap Amara dengan bingung."Pak, ayo, jangan bengong. Sepertinya terjadi sesuatu yang buruk pada Lillian," perintah Amara sambil berlari ke mobil.Sopir tergopoh - gopoh mengikutinya."Cepat, Pak! Lima menit harus sampai!" perintah Amara begitu mereka berdua sudah berada di dalam. Tanpa banyak tanya, sopir langsung mengemudi dengan kecepatan ting
"Har, kenapa HPnya tidak aktif? Aku sudah kirim pesan banyak banget lho dari pagi. Buruan susul aku. Sekarang aku sudah di rumah mama tapi malah bertemu dengan Ernest. Aku sedikit paranoid sama kelakuan Ernest... hehehe... aku ngumpet di kamar mandi. Semoga Amara cepat datang. Dia lagi beli lilin untuk kue ulang tahunnya mama.""Har, cepat pulang.""Har, perutku sakit.""Kebakaran."Suara Lillian melalui voice note terngiang - ngiang di rongga telinganya, berputar seperti kaset rusak, tidak bisa keluar dari kepalanya. Harvey berlari kencang, memaksa seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Menerobos jalanan yang macet, mendorong orang - orang yang menghalangi jalannya."Permisi! Permisi! Istri dan anakku terjebak kebakaran! Permisi!"Di belakangnya, Richard tidak kalah heboh."Menyingkiiir, kami harus menyelamatkan mereka!"Napas kedua laki - laki itu berderu, paru - parunya seperti akan meledak karena dipaksa lari melebihi batas kemampuan. Mereka tidak akan berhenti sebelum
Wajah Carina memucat, dia tak menyangka kalau keisengannya bisa berbuntut panjang. Dia ikut masuk ke dalam lift dengan bahu meluruh, wajahnya penuh penyesalan. "Begini saja, aku akan telepon Lillian dan menjelaskan kalau semua ini salahku. Aku hanya main - main. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat kalian sampai dengan cepat dan selamat di St. Moritz." Dia menawarkan sebuah solusi sebagai upeti perdamaian.Harvey mendengus, sementara Richard berusaha menghubungi Amara, tapi tidak diangkat."Itu akan aku urus nanti. Aku punya perasaan kalau Lillian membutuhkan aku. Jangan - jangan dia mau melahirkan. Seharusnya aku langsung pulang setelah acara pemakaman di hari pertama. Aku bukan suami yang baik," sesal Harvey berkepanjangan. Ternyata sulit menemukan tiket pesawat yang diminta oleh Harvey. Tiket pesawat penerbangan menuju St. Moritz hanya ada dua jam lagi, sesuai jadwal keberangkatan Harvey, mau tak mau mereka menggunakan fasilitas dari Carina. Sebagai permohonan maa
Lillian menarik napas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha berpikir jernih demi memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan. Diluar pertengkaran masih berlanjut."Pertama, kamu yang salah bergaul dengan sepupumu hingga terjerumus dalam obat - obatan dan minuman keras. Aku tidak pernah membuatmu mengkonsumsi barang - barang terlarang itu. Kamu yang salah pergaulan lalu kecanduan. Ernest, dengarkan dulu... kamu salah paham. Aku tidak pernah menyuruh orang untuk menangkapmu. Mereka dari kepolisian yang akan menahanmu karena bisnis obat terlarang. Aku justru memohon supaya kamu direhabilitasi daripada ditahan. Kamu harus sembuh, Ernest.Kedua, uang yang aku berikan padamu, sebaiknya kamu introspeksi. Kamu selalu mengambil sendiri uangku di lemari penyimpanan atau di ATM. Aku diam karena tidak mau memperpanjang masalah. Aku ibumu, kamu ingin memakai uangku maka aku memberikannya.""BOHONG! KAMU PEMBOHONG!""Ernest, demi Tuhan, aku tidak per
"Kenapa kamu membiarkan Harvey menghamilimu?" Ernest merubah pertanyaannya."Maksud kamu, kenapa aku mau dihamili sama Harvey?" tanya Lillian dengan pikiran yang kacau.Ernest mengangguk, "Hm-hm."Demi apa pun di dunia, Lillian tidak tahu harus menjawab apa. Dia belum pernah mendapat pertanyaan seaneh ini. Otaknya berputar secepat yang dia bisa untuk menemukan jawaban yang tepat, tapi yang keluar malah kalimat - kalimat dengan nada bertanya."Karena kami berdua sudah menikah kan? Seorang wanita yang sudah menikah lalu hamil, itu normal kan?"Lillian merasa kalau kecerdasannya mendadak hilang begitu saja. Dia merasa seperti di desak oleh paparazi sinting dengan pertanyaan - pertanyaan wawancara yang super aneh."Memangnya kamu harus hamil?""Ha?"Ya ampun. Apa sih ini? Pertanyaan macam apa ini? Lillian benar - benar ingin kabur dari situasi ini."Orang menikah kan tidak harus punya anak. Diluar sana banyak yang menikah dan tidak punya anak dan mereka tetap bahagia. Child free menjadi t
Lillian terlihat ragu sejenak tapi posisinya dia sudah berada persis di ambang pintu. Boleh dibilang tubuhnya sudah masuk ke dalam ruang tamu. Tak ingin menyinggung Ernest, Lillian terpaksa masuk ke dalam rumah."Kamu itu menantu yang baik, selalu ingat hari penting mertua," ujar Ernest sambil mendahului masuk ke dalam rumah.Lillian sedikit lega saat melihat pintu rumah tidak tertutup sempurna. Itu artinya ketakutannya pada Ernest tidak beralasan. Bisa jadi mantan suaminya benar - benar sudah sembuh."Kamu mau minum apa?" tawar Ernest sambil mempersilahkan Lillian untuk duduk."Oh, terima kasih. Aku tidak haus," tolak Lillian secara halus. Dia menempelkan tubuhnya yang mulai terasa pegal ke sofa yang empuk."Bagaimana kalau air mineral? Botolnya masih tersegel, jangan khawatir aku tidak membubuhkan apa pun di dalamnya," ujar Ernest sambil tertawa pelan.Lillian terkesiap dan merasa sungkan karena Ernest ternyata merasakan kecanggungan sikapnya."Hehe, sorry aku tidak bermaksud sepert
"Apa Tuan sudah tau kalau Nyonya akan pergi menemui desainer baju Nona Amara?" tanya Anna sekali lagi untuk memastikan. Masalahnya, setiap pagi Harvey meneleponnya hanya untuk memastikan kegiatan Lillian dan Anna tadi hanya melapor kalau Lillian akan pergi siang nanti menemui Marcia."Aku sudah mengiriminya pesan Kok. Tadi pagi, aku telepon tapi dia tidak mengangkatnya. Sepertinya aku kesiangan. Kemarin aku janji mau telepon dia sebelum jam tujuh. Aku menelepon dia pukul tujuh tepat."Amara sedang menelepin seseorang. Lillian tidak ambil pusing dan kembali menikmati sarapannya. Sup jagung buatan Anna tiada duanya. "Enak banget supnya," pujinya sambil mengacungkan jempol, puas dengan masakan Anna.Tapi ekspresi Anna tidak begitu senang, dia terlihat khawatir. Ada perasaan tak enak untuk melepas majikannya pergi berdua saja hari ini."Nyonya, saya pernah dengar kalau orang hamil tidak boleh banyak keluyuran. Apalagi kalau sudah mendekati hari H. Sebaiknya di rumah saja, biar tuan yang