Home / Romansa / Istri Tebusan Paman Mantanku / Chapter 221 - Chapter 230

All Chapters of Istri Tebusan Paman Mantanku: Chapter 221 - Chapter 230

260 Chapters

221. Terpaksa

Keesokan harinya, Kian tidak menghubungi Miya lagi. Tugasnya sudah selesai. Bisa disebut Kian sukses besar. Ia sudah membuat Helga cemburu, sakit hati, dan kecewa berat.Jika ada cara yang lebih halus, tentunya sudah Kian lakukan sejak dulu. Namun, Helga jelas-jelas bukan tipe wanita yang bisa diajak berdamai dengan cara halus. Wanita itu harus merasakan sesuatu yang luar biasa dan setelah itu, ia baru menyadari jika ia benar-benar harus menghentikan semua permainan gila ini.Kian merasa lebih lega, seperti ada satu beban yang terlepas dalam hidupnya. Sepertinya ia bisa pulang besok ke rumahnya. Marisa sudah mengiriminya lagi pesan singkat. Ia khawatir ada salah satu anggota keluarganya yang melihat kelakuan Kian kemarin dengan Miya.Namun, Kian sudah memasang tingkat keamanan yang tinggi agar jangan sampai ada yang melihat foto-foto itu. Seharusnya semuanya aman. Kalaupun Marisa melihatnya, ia tidak peduli. Lebih bagus jika mereka menyadari jika Helga bukanlah wanita yang harus ia ni
Read more

222. Menyerah

Semenjak kejadian itu, Kian tidak pernah bertemu lagi dengan Helga atau menerima pesan darinya. Mereka seperti yang hilang kontak, tapi ternyata Helga lebih banyak berbicara dengan orang tuanya.Kian pikir, ibunya tidak menyukai Helga. Memang sepertinya begitu. Ibunya menyuruh Kian untuk menikah dengan Helga hanya supaya ibunya tidak perlu menderita karena ayahnya marah-marah terus setiap hari.Semenjak Kian menyerah akan keinginan orang tuanya, ayahnya jadi lebih bersemangat. Sama halnya dengan ibunya yang jadi semakin sehat dan segar.Percuma saja Kian melakukan sandiwara dengan Miya. Ujung-ujungnya, ia harus mengikuti keinginan orang tuanya. Ia sama sekali tidak ada suara di rumah ini, tidak ada haknya sama sekali untuk berbicara, mengemukakan pendapat. Semuanya seperti menentangnya.Bukan karena surat warisan itu, bukan karena semua harta kekayaan ayahnya. Kian terpaksa menyetujui pernikahan bodoh itu hanya supaya ibunya tidak menderita lagi. Keadaan terlihat lebih damai. Hanya Ki
Read more

223. Merindukanmu

Jika dikatakan Laureta bahagia tinggal seorang diri di tempat kosan sederhana dan bekerja bersama orang-orang baru yang baik hati, itu tidak benar. Dalam hatinya, ia masih merasa hampa dan kesepian.Laureta mengeluarkan cincin pernikahannya yang ia simpan di sebuah plastik kecil yang selama ini selalu ia simpan di dalam dompet. Ia mengenakan cincin itu dan tersenyum tipis. Kepedihan masih mengganjal di dalam hatinya setiap kali ia melihat cincin itu.Tak bisa dipungkiri, sejujurnya Laureta masih merindukan Kian. Teringat sikap Kian saat terakhir kali mereka masih bersama. Pria itu membelanya di depan ayahnya. Lalu ia murka saat melihat Laureta berciuman dengan Erwin.Laureta meringis mengingat ciuman itu. Ia sama sekali tidak merasa senang akan ciuman itu. Perpisahannya dengan Kian justru ia tutup dengan ciumannya bersama Erwin. Ia menyesal akan hal itu.Andai ia bisa memutar balikkan waktu, ia ingin tetap bersama Kian sampai detik-detik terakhirnya bersa
Read more

224. Jas Hujan Baru

Ketika mereka baru jalan beberapa kilometer, tiba-tiba hujan pun turun sangat deras. Jeri tampak panik. Ia segera membelokkan setirnya dan berteduh di bawah jembatan jalan tol.“Aduh, maaf ya, Ta. Aku hanya punya jas hujan keresek dan sudah bolong. Atau jas hujannya untukmu saja ya, Ta,” ucap Jeri sambil membuka joknya hendak mengeluarkan jas hujan keresek.“Eh, tidak usah, Jer,” tolak Laureta. “Kita berteduh dulu saja. Masa aku yang pakai jas hujan, tapi kamu kehujanan?”“Tidak apa-apa. Aku cukup pakai jaket saja.” Jeri tersenyum sambil menyerahkan jas hujan kereseknya yang tampak menyedihkan.Laureta meringis melihatnya. “Hmmm, tidak usah, Jer.”Jeri pun tahu diri. Ia menarik kembali jas hujannya itu dan menutup joknya. Beberapa motor pun ikut berteduh di sana. Udara terasa begitu dingin hingga Laureta menggigil.“Aduh, kamu kedinginan ya. Jaketmu terlalu tipis. Kamu mau pakai jaket aku?”Laureta menggelengkan kepalanya. “Tidak usah, Jer. Terima kasih. Kamu baik sekali.”Jeri nyengi
Read more

225. Ibu Layla

Hujan yang deras itu membuat jalanan jadi sangat macet dan agak banjir. Jeri menerobos antrian panjang mobil dan berjalan terus tanpa henti.“Kalau naik angkot, kamu tidak akan bisa bergerak, Ta. Ini macet sekali!” seru Jeri sambil menoleh-noleh ke belakang. Laureta mengangguk sambil mengerjapkan matanya yang terkena air hujan.Akhirnya, setelah menerobos kemacetan, mereka pun tiba di kosan Laureta. Jeri hendak memarkirkan motornya di dalam, tapi Laureta mencegahnya.“Ibu kosku bilang, ini adalah kosan putri. Jadi, tidak boleh ada laki-laki yang masuk ke sini kecuali keluarga,” ucap Laureta memperingatkan.“Oh, ya ampun.” Jeri terkekeh. “Maaf, aku tidak tahu. Hmmm, kamu tinggal di sini sendirian?”“Ya, begitulah. Ada teman-teman kosan yang lain.”Jeri mengangguk. “Sekali lagi, maaf ya karena sudah mengganggumu. Seharusnya kamu sudah pulang lebih awal, tapi kita malah kehujanan
Read more

226. Mengakhiri Segalanya

“Menurutmu, mana yang yang lebih bagus? Gaun yang model ini atau yang ini?” tanya Reksi.Ia sedang menunjukkan beberapa foto gaun pengantin pada Erwin. Namun, tak sedikit pun Erwin peduli. Pikirannya dipenuhi oleh ingatan akan ciuman terakhirnya dengan Laureta.Erwin telah merusak rumah tangga Laureta hanya dengan satu ciuman. Ia tidak menyangka jika semuanya akan berakhir seperti ini. Laureta pergi untuk selamanya dari rumahnya, pergi dari hidup Erwin.Ia tidak bisa melihat wanita itu lagi untuk selamanya. Sampai saat ini, Erwin tidak tahu Laureta ada di mana.Sungguh ia amat menyesal. Setiap hari ia selalu dirundung rasa bersalah yang tak ada habis-habisnya.Beberapa kali, Erwin melihat pamannya. Hatinya perih karena pamannya tampak seperti orang lain, seperti boneka kayu yang keras dan dingin. Tidak ada lagi sikap ramah darinya.Semenjak neneknya sakit dan Om Kian kembali ke rumah, ia benar-benar telah berubah menjadi orang lain yang Erwin tidak kenal. Meski selama ini, Om Kian sel
Read more

227. Memulai Sesuatu Yang Baru

“Apa katamu?!” bentak ibunya.“Aku tidak bisa menikahi wanita yang tidak aku cintai.”“Mama tidak terima alasan seperti itu! Menikah tidak perlu pakai cinta! Sudah Mama beritahu padamu waktu itu! Apa kamu sudah lupa? Kamu harus menikah secepatnya! Lebih bagus kalau dia hamil lebih dulu supaya di keluarga kita kehadiran seorang bayi! Kamu tidak perlu bersaing lagi dengan Kian karena dia sudah gagal. Kamu adalah kandidat terbaik! Kamu akan mendapatkan harta warisan dari kakekmu!”Erwin sudah lelah mendengar urusan tentang warisan. Lebih lagi, ia muak sekali dengan semua ini.“Ma, bisa tidak kita hentikan semua pembicaraan tentang warisan? Aku ini hanya cucunya kakek. Mama adalah anaknya. Warisannya untuk Mama saja. Aku tidak menginginkannya.”“Tutup mulutmu! Tidak usah berkata hal omong kosong! Kamu itu adalah cucu laki-laki pertama di keluarga ini! Kamulah yang berhak mendapatkan semuanya!”
Read more

228. Lenyap Sudah

Tiga bulan seharusnya cukup untuk Laureta mencari tempat tinggalnya yang baru. Sepertinya ia harus menggunakan sebagian tabungannya untuk mengontrak sebuah rumah yang layak untuk dirinya dan bayinya kelak. Uangnya masih cukup untuk mengontrak rumah kecil.Tinggal di kosan dan membesarkan seorang bayi memang bukan ide yang bagus. Semua orang akan bertanya-tanya dan menggosipkan dirinya yang buruk.Ibu Layla memang tidak salah. Hanya saja, Laureta merasa hidup ini terlalu kejam untuk dirinya yang lemah ini. Sungguh ia merasa tidak berdaya dan ingin menangis sejadi-jadinya jika melihat kehidupannya yang penuh penderitaan.Satu hal yang ia yakini, jika ia memang diizinkan Tuhan untuk mengalami semua ini, itu artinya ia memang pasti mampu menghadapinya. Ada hal yang tidak ia mengerti, tapi ia hanya bisa pasrah.Sambil menanti pelangi muncul sehabis hujan yang deras, Laureta pun berusaha menelusuri jalan untuk mencari rumah kontrakan yang pas untuknya.I
Read more

229. Sebuah Kesempatan

Debar jantung di dada Laureta terasa begitu kencang hingga terasa ke tenggorokannya. Sekujur tubuhnya gemetar. Ia tahu jika apa yang akan ia lakukan adalah sebuah dosa besar. Namun, sungguh ia sudah tidak tahan lagi melanjutkan hidupnya.Kalaupun ia mati, tak akan ada orang yang menyadarinya. Ia hanya akan seperti orang yang hilang di dasar laut dan tubuhnya habis dimakan ikan. Tak akan ada yang mencarinya atau kehilangan dirinya. Tak ada.Ditatapnya jalanan yang ramai oleh kendaraan di bawahnya. Angin terasa semakin kencang menerpa wajahnya. Ia sedang memutuskan akan terjun kakinya terlebih dahulu atau ia melompat saja ke bawah.Tiba-tiba, sandalnya terlepas dari kakinya dan terbang ditiup angin. Laureta memperhatikan sandalnya yang pada akhirnya jatuh ke atas atap. Sandalnya terbuat dari karet dan sama sekali tidak rusak.Semuanya akan berbeda jika Laureta yang jatuh ke bawah. Tubuhnya akan hancur. Ia mungkin tidak akan merasakan sakit.Laureta mencoba menenangkan hati dan pikiranny
Read more

230. Sang Penolong

“Terima kasih,” ujar Laureta pelan.Pria itu terkekeh. “Sama-sama. Ingat, kamu itu masih muda. Jangan pernah berpikir untuk bunuh diri lagi. Itu namanya dosa! Dosa besar! Hukumannya bukan sekedar mati saja, tapi masuk neraka. Kamu mau masuk neraka?”Laureta menggelengkan kepalanya. Ia tak menyangka jika ada orang asing yang mau repot-repot memarahinya dengan nada bicara yang keras dan tampaknya sangat kesal padanya. Sejujurnya, ia memang pantas untuk dimarahi.Setidaknya, pria itu hanya memarahinya sedikit saja. Laureta benar-benar bersyukur setelah menyadari jika ia masih bisa hidup sampai detik ini. Tanpa sadar, ia mengusap perutnya dan meminta maaf lagi untuk kesekian kalinya.“Aku tidak bisa menemukan identitas apa pun dari sakumu. Kamu bilang tasmu dicuri, ya kan. Uhm, siapa namamu?”“Namaku Laureta,” jawabnya.Pria itu mengangguk, lalu ia mengulurkan tangannya. “Kenalkan, namaku Ivan.”Laureta menjabat tangan Ivan sambil mengangguk.“Terima kasih karena sudah menolongku,” ucap L
Read more
PREV
1
...
212223242526
DMCA.com Protection Status