Home / Romansa / TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of TERJEBAK PERNIKAHAN DADAKAN: Chapter 11 - Chapter 20

89 Chapters

11. PENGGANTI

TDP 11"Dengarkan aku sekarang." Wanita itu mendekat. Ekspresinya tak tertebak."Aku akan mengembalikan uang muka itu. Tak peduli seberapa besar kau mempermalukan aku, aku akan menuruti kehendakmu kali ini.""Baguslah kalau begitu." Aku coba mengabaikan sikapnya yang playing victim."Tapi kau harus menuruti kata-kataku ini, Hara. Aku tak tenang melihat sikapmu yang keras kepala. Aku tak tahu berapa lama lagi aku akan hidup, karena diagnosa dokter mengatakan aku terkena stroke ringan. Aku takut kalau aku sakit atau meninggal tak ada yang akan menjagamu dan harta peninggalan orang tuamu.""Kau harus segera menikah, Hara. Hanya dengan itu Bibi akan tenang. Walau kau menganggapku jahat tapi aku tak pernah berhenti memikirkanmu, Hara. Jika kau menikah, kau akan memiliki seseorang yang akan sehidup semati denganmu. Melindungimu dan mempertanggungjawabkanmu."Oh. Bibi Sartika memang punya rencana luar biasa untukku."Kenap
Read more

11. INSIDEN

TDP 12"Kamu tahu kenapa aku nekad menerobos kamarmu tadi pagi? Karena aku mendengar rencana Ferdinand sebelum aku masuk ke rumahmu. Dia sedang menelepon seseorang dan membicarakan pernikahan. Pernikahan paksa antara kamu dan dirinya. Aku tak tahu apa rencana pastinya, tapi aku tak ingin kamu terjebak di rumah itu. Makanya aku paksa bawa kamu ke sini.""Hara, segera setelah Sananta datang, kamu pergi ke pengacara untuk menanyakan masalahmu ini. Mungkin akan butuh waktu untuk mengurus berkas yang baru dan kamu akan terus dibawah tekanan.""Kenapa kamu malah melibatkan Kak Sananta dalam urusan ini, Ri? Dia tak tahu apa-apa dan aku tak ingin dia mengetahui sebobrok apa bibiku. Bagaimanapun juga dia adalah keluargaku.""Karena kamu perempuan, dan kamu terancam. Kamu butuh pelindung." Ari menatapku sendu. "Sementara aku tak mampu melakukannya." Dia terlihat sedih."Kamu tahu kenapa Ferdinand ngotot ingin menikah secepat mungkin denganmu?"
Read more

13. KEPUTUSAN

Seminggu lalu ketika Kak Sananta menginjakkan kaki di rumahku dan kuperkenalkan sebagai calon suami. Hari ini kami telah resmi menikah.Bibi Sartika benar-benar terkena mental. Dia bahkan tidak menyapaku sama sekali. Dia sangat marah hingga berkurung diri di kamar. Dia juga tak menghadiri akad nikahku yang sederhana, sama seperti Ferdinand yang selalu melihat Kak Sananta seperti ingin menelannya. Dan hari ini, lelaki itu menghilang entah ke mana.Aku memang sudah memutuskan untuk menikah saja. Posisi Kak Sananta cukup kuat untuk melindungiku dari trik-trik yang mungkin dirancang Bibi Sartika. Aku harus menutupnya sesegera mungkin sebelum mereka berhasil melakukannya.Kak Sananta yang seorang putra bos tambang, dan keterikatan dana satu miliar yang belum dikembalikan, membuat Bibi Sartika dan anaknya mati kutu. Mereka tak bisa berkutik dan terpaksa menerima jika rencananya gagal total.Mungkin pernikahan ini terdengar seperti aku memanfa
Read more

14. PAMIT

TDP 14Aku berziarah ke makam orang tuaku sebagai pasangan suami istri. Tak bisa kubendung air mata ketika berbicara pada batu nisan. Sebelum ijab kabul, aku juga sudah mengajak Kak Sananta ke sini, hari ini sekaligus untuk pamitan."Ayah, Ibu. Hara sudah menikah. Semoga pernikahan Hara langgeng dan bahagia. Maafkan juga Hara terpaksa menyuruh Bibi Sartika pergi dari rumah. Hara kecewa, rasanya ingin membalas, tapi hanya itu satu-satunya keluarga yang Hara punya."Aku terus bicara pada gundukan tanah. Setelahnya digantikan oleh Kak Sananta. Dia mengusap batu nisan ayah dan ibuku bergantian."Aku berjanji akan menjaga Hara dengan baik. Ayah dan Ibu beristirahatlah dengan tenang di sana."Aku terharu. Kak Sananta mengucapkannya dengan tulus. Seminggu yang berlalu sangat cepat, dia berhasil membuatku semakin jatuh cinta. Bahkan rasa sedih karena Ari tak datang, hanya bertahan sebentar. Ari sedang menyelesaikan proyek apartemen yang terkendal
Read more

15. PESTA

Setelah menyelesaikan semua masalahku di kampung dan mengamankan semuanya, aku akhirnya berpijak kembali di rumah Kak Sananta. Tuan Saddil menyambut kami dengan hangat."Selamat datang, menantu miliarderku," ujarnya sambil tertawa. Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya. "Istirahatlah dulu, lusa kita akan mengadakan pesta."Pesta yang mewah yang telah disiapkan oleh mertuaku. Dihadiri oleh tamu-tamu dan kolega SS Energi Group. Kehadiranku di sisi Kak Sananta sepertinya cukup diterima. Tuan Saddil yang akhirnya kupanggil Papa mengenalkanku dengan ceria pada tamu-tamunya."Menantuku itu, meski terlihat sendirian, dia seorang miliarder. Orang tuanya sudah meninggal karena kecelakaan."Tak ada yang salah dengan kata-kata itu. Itu adalah pembelaan kenapa menantu CEO SS Energi Group terlihat sendirian. Tapi entah kenapa aku tak enak hati mendengarnya. Kalimat itu kudengar berkali-kali. Aku tak merasa memiliki harta yang banyak a
Read more

16. PENGANTIN BARU

"Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Kak Sananta ketika akhirnya dia sadar sepagian ini aku beberapa kali melempar pandang tapi tak berbicara apapun. Lelaki itu tengah mematut penampilannya di cermin. Hari ini dia sudah masuk kerja lagi setelah beberapa hari cuti untuk pernikahan dan pesta."Hmm ... tidak." Aku tersenyum sambil merapikan belakang kemejanya yang sedikit kusut. Tak ada jas yang harus dikenakannya sehari-hari, bahkan aku hanya melihat tiga benda itu dalam lemari. Pekerjaannya yang seorang manager lapangan tak membutuhkan jas yang banyak. Bahkan sepertinya pakaian harian yang sering dia gunakan untuk bekerja. Tiga tahun bekerja di SS Energi Group, dan posisinya masih setara karyawan lain. Rupanya Papa Saddil benar-benar sengaja mendidik anaknya dari pekerjaan paling bawah sampai nantinya mampu menggantikannya dengan semua kompetensi yang bukan kaleng-kaleng."Tapi matamu mengatakan sebaliknya.""Yakin ingin mendengarnya pagi ini?"
Read more

17. TOLONG, HARA!

Kenapa pula Mbak Santi tak muncul juga. Apakah ini tak akan jadi masalah nanti, atau memang kebiasaan Papa Saddil yang seperti ini? Aku tak bisa mengambil kesimpulan karena sejak datang, baru hari ini berada cukup lama di dapur ini."Sepertinya Sananta benar-benar akan jatuh sedalam-dalamnya padamu." Papa Saddil tertawa kecil membuat pikiran-pikiranku buyar."Maksud Papa?" Aku tak mengerti."Siapa yang tak suka perempuan yang hobi memasak?" Dia tertawa lagi. "Sananta harus rajin olahraga agar tak menggemuk dengan cepat." Papa Saddil menunjuk oven, lalu pergi dengan tawa masih melekat di wajahnya.Aku ikut tersenyum samar. Papa Saddil sepertinya suka bercanda, tapi entah kenapa candaannya terasa garing bagiku. Entah memang selera humorku yang rendah, atau memang karena aku yang belum terbiasa dengan kehadirannya.Sepertinya aku butuh usaha ekstra agar cepat menyesuaikan diri dengan orang-orang di rumah ini.Selain Papa S
Read more

18. AZAS MANFAAT

"Oh, jadi Mbak sakit perut? Sudah minum obat?" tanyaku. "Sudah barusan, Mbak. Duuh ... gimana ini, Non. Apa wajah Tuan terlihat marah, Non?"Kasihan juga aku melihat wajah pucat Mbak Santi. Sepertinya dia benar-benar takut karena tidak menghidangkan kopi."Enggak. Papa baik-baik saja. Bahkan ngobrol dengan saya.""Benar, Nona? Ooh ... syukurlah. Pasti karena Nona menantunya ada di sini. Biasanya Tuan tidak pernah menginjakkan kaki ke sini, Nona. Semoga Tuan tidak marah padaku." Mbak Santi terlihat komat-kamit, mungkin membaca doa. Namun, belum lagi selesai, dia sudah memberi isyarat permisi dan berlari lagi ke toilet.Mbak Santi yang panik dan ketar-ketir, aku ternyata telah ikut terbawa emosinya. Begitu wanita itu menghilang, aku kembali ingat pada masalahku sendiri.Benarkah selama ini, Tuan Saddil tidak pernah ke dapur, dan karena ingin menyapa menantunya, dia menginjakkan kaki di sini sekalian mengambil kopiny
Read more

19. KEMANA ARI?

Sampai Kak Sananta pulang malam harinya, hatiku tak kunjung membaik. Aku merasa sangat malu, merasa bodoh, dan sederet perasaan negatif lain hingga sepanjang hari rasanya ingin menangis keras-keras, tapi takut ketahuan oleh seseorang.Ingat Bibi Sartika, semakin bertambah buruklah hariku. Tak ada yang bisa kulakukan untuknya, dan aku lagi-lagi merasa jadi anak durhaka. Di satu sisi berusaha berpikir bahwa ini karena ulahnya sendiri, tapi di sisi lain seolah menciderai nurani.Akhirnya, berkat bantuan seorang teman ketika kuliah, aku menyewakan pengacara untuk bibiku itu. Hanya itu yang bisa kulakukan untuknya."Apakah muka tegangmu ini karena panggilan tak terjawab siang tadi, Sayang?" tanya Kak Sananta saat kami sedang menuju meja makan. Papa Saddil belum kembali dan aku tak tahu jam berapa dia akan pulang. Entah bagaimana, sejak kejadian tadi pagi, aku merasa mertuaku itu menjadi semacam momok untukku. Mungkin jika Papa pulang sekaran
Read more

20. JAMUAN

TDP 20Beberapa hari lalu, aku sudah berbelanja dua helai gaun setelah sebelumnya scroll lama di ponsel, mencari tahu tren dan style yang biasa digunakan di acara-acara seperti itu. Mbak Santi tak banyak membantu. Karena pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga tentulah tidak memerlukannya keluar masuk butik atau membeli gaun dan semacamnya. Namun, aku cukup senang sudah ditemani.Ingat zaman pendidikan, aku memang sedikit tertutup orangnya. Bisa bergaul dengan banyak orang, tapi sedikit yang menjadi teman dekat. Bahkan bisa dikatakan aku tak memiliki seorangpun untuk berbagi masalah pribadi.Aku membahas masalah sekolah, pertemanan, jalan-jalan, tapi tak pernah bercerita soal hidupku yang gersang. Di rumah pun aku tak memiliki teman dekat karena teman yang dekat denganku akan terintimidasi oleh Bibi Sartika. Hanya Ari yang tahu bagaimana hidupku sebenarnya.Ah. Ari lagi. Dan pesanku masih centang satu. Kali ini tanganku meletakkan kuas wajah dan
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status