"Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Kak Sananta ketika akhirnya dia sadar sepagian ini aku beberapa kali melempar pandang tapi tak berbicara apapun. Lelaki itu tengah mematut penampilannya di cermin. Hari ini dia sudah masuk kerja lagi setelah beberapa hari cuti untuk pernikahan dan pesta.
"Hmm ... tidak." Aku tersenyum sambil merapikan belakang kemejanya yang sedikit kusut. Tak ada jas yang harus dikenakannya sehari-hari, bahkan aku hanya melihat tiga benda itu dalam lemari. Pekerjaannya yang seorang manager lapangan tak membutuhkan jas yang banyak. Bahkan sepertinya pakaian harian yang sering dia gunakan untuk bekerja.Tiga tahun bekerja di SS Energi Group, dan posisinya masih setara karyawan lain. Rupanya Papa Saddil benar-benar sengaja mendidik anaknya dari pekerjaan paling bawah sampai nantinya mampu menggantikannya dengan semua kompetensi yang bukan kaleng-kaleng."Tapi matamu mengatakan sebaliknya.""Yakin ingin mendengarnya pagi ini?"Kenapa pula Mbak Santi tak muncul juga. Apakah ini tak akan jadi masalah nanti, atau memang kebiasaan Papa Saddil yang seperti ini? Aku tak bisa mengambil kesimpulan karena sejak datang, baru hari ini berada cukup lama di dapur ini."Sepertinya Sananta benar-benar akan jatuh sedalam-dalamnya padamu." Papa Saddil tertawa kecil membuat pikiran-pikiranku buyar."Maksud Papa?" Aku tak mengerti."Siapa yang tak suka perempuan yang hobi memasak?" Dia tertawa lagi. "Sananta harus rajin olahraga agar tak menggemuk dengan cepat." Papa Saddil menunjuk oven, lalu pergi dengan tawa masih melekat di wajahnya.Aku ikut tersenyum samar. Papa Saddil sepertinya suka bercanda, tapi entah kenapa candaannya terasa garing bagiku. Entah memang selera humorku yang rendah, atau memang karena aku yang belum terbiasa dengan kehadirannya.Sepertinya aku butuh usaha ekstra agar cepat menyesuaikan diri dengan orang-orang di rumah ini.Selain Papa S
"Oh, jadi Mbak sakit perut? Sudah minum obat?" tanyaku. "Sudah barusan, Mbak. Duuh ... gimana ini, Non. Apa wajah Tuan terlihat marah, Non?"Kasihan juga aku melihat wajah pucat Mbak Santi. Sepertinya dia benar-benar takut karena tidak menghidangkan kopi."Enggak. Papa baik-baik saja. Bahkan ngobrol dengan saya.""Benar, Nona? Ooh ... syukurlah. Pasti karena Nona menantunya ada di sini. Biasanya Tuan tidak pernah menginjakkan kaki ke sini, Nona. Semoga Tuan tidak marah padaku." Mbak Santi terlihat komat-kamit, mungkin membaca doa. Namun, belum lagi selesai, dia sudah memberi isyarat permisi dan berlari lagi ke toilet.Mbak Santi yang panik dan ketar-ketir, aku ternyata telah ikut terbawa emosinya. Begitu wanita itu menghilang, aku kembali ingat pada masalahku sendiri.Benarkah selama ini, Tuan Saddil tidak pernah ke dapur, dan karena ingin menyapa menantunya, dia menginjakkan kaki di sini sekalian mengambil kopiny
Sampai Kak Sananta pulang malam harinya, hatiku tak kunjung membaik. Aku merasa sangat malu, merasa bodoh, dan sederet perasaan negatif lain hingga sepanjang hari rasanya ingin menangis keras-keras, tapi takut ketahuan oleh seseorang.Ingat Bibi Sartika, semakin bertambah buruklah hariku. Tak ada yang bisa kulakukan untuknya, dan aku lagi-lagi merasa jadi anak durhaka. Di satu sisi berusaha berpikir bahwa ini karena ulahnya sendiri, tapi di sisi lain seolah menciderai nurani.Akhirnya, berkat bantuan seorang teman ketika kuliah, aku menyewakan pengacara untuk bibiku itu. Hanya itu yang bisa kulakukan untuknya."Apakah muka tegangmu ini karena panggilan tak terjawab siang tadi, Sayang?" tanya Kak Sananta saat kami sedang menuju meja makan. Papa Saddil belum kembali dan aku tak tahu jam berapa dia akan pulang. Entah bagaimana, sejak kejadian tadi pagi, aku merasa mertuaku itu menjadi semacam momok untukku. Mungkin jika Papa pulang sekaran
TDP 20Beberapa hari lalu, aku sudah berbelanja dua helai gaun setelah sebelumnya scroll lama di ponsel, mencari tahu tren dan style yang biasa digunakan di acara-acara seperti itu. Mbak Santi tak banyak membantu. Karena pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga tentulah tidak memerlukannya keluar masuk butik atau membeli gaun dan semacamnya. Namun, aku cukup senang sudah ditemani.Ingat zaman pendidikan, aku memang sedikit tertutup orangnya. Bisa bergaul dengan banyak orang, tapi sedikit yang menjadi teman dekat. Bahkan bisa dikatakan aku tak memiliki seorangpun untuk berbagi masalah pribadi.Aku membahas masalah sekolah, pertemanan, jalan-jalan, tapi tak pernah bercerita soal hidupku yang gersang. Di rumah pun aku tak memiliki teman dekat karena teman yang dekat denganku akan terintimidasi oleh Bibi Sartika. Hanya Ari yang tahu bagaimana hidupku sebenarnya.Ah. Ari lagi. Dan pesanku masih centang satu. Kali ini tanganku meletakkan kuas wajah dan
Jam setengah sepuluh malam. Aku pamit ke toilet sebentar. Kandung kemihku penuh, dan aku merasa pusing.Acara ini membuatku jetlag.Mulai dari alkohol yang sepertinya jadi minuman wajib, sampai pada para wanita yang berpakaian terlalu seksi. Mungkin mereka pengisi acara atau bagaimana. Aku jadi sangat risih karena di mejaku ada Papa Saddil dan Paman Munir. Sementara wanita-wanita itu santai saja berlalu lalang menikmati acara. Tak banyak, tapi mencolok. Ini mungkin biasa bagi mereka, tapi aku yang tak terbiasa diserang rasa sungkan setengah mati.Di toilet aku sampai muntah. Begitu kembali ke mejaku ternyata dua orang tua yang membuat segan itu telah pergi. Seketika kurasakan lega luar biasa."Kakak mau ke mana?" tanyaku saat Kak Sananta berdiri melihat kedatanganku."Aku ada pertemuan dulu sebentar, Sayang. Kamu mau ikut atau tunggu di sini saja?" jawab Kak Sananta sedikit ragu."Pertemuan?" Aku men
TDP 22Sepanjang pagi ini, aku tak bisa bangun. Kepalaku pusing dan mual yang tak berkesudahan. Tubuhku pun rasanya seperti habis kena pukul, sakit tak menentu."Pergilah, Kak," suruhku serak ketika Kak Sananta masih saja duduk di pinggir pembaringan sambil mengusap lenganku. Seharusnya dia sudah berangkat, tapi karena kondisiku ini sepertinya dia masih menundanya."Aku minta maaf sudah meninggalkanmu semalam." Suara Kak Sananta dipenuhi oleh rasa bersalah. "Harusnya aku paksa kamu ikut atau suruh seseorang menemanimu.""Ini bukan salah Kakak." Jujur kepalaku berdenyut ketika bicara, tapi kukuatkan tekad agar suamiku ini segera berangkat. Aku tak tahu apa yang terjadi, yang pasti mungkin Papa Saddil sangat marah padaku. Aku tak bisa menjaga nama baik mereka di depan umum. Jangan sampai Kak Sananta kena getahnya juga."Aku yang kalap makan dan minum. Norak memang," gumamku nyaris tak terdengar. "Pergilah, Kak. Nanti Papa marah."
TDP 23Harapanku benar-benar terwujud. Kehidupan tenang selama tiga bulan belakangan, serta hubungan yang membaik dengan Bibi Sartika. Kami sepakat untuk melupakan semuanya. Pun ketidaknyamananku dengan sikap tak tertebak dari Papa Saddil tak lagi mengganggu. Mertuaku itu sangat sibuk belakangan ini, sering berpergian bahkan sampai seminggu. Pun ketika bertemu sesekali di meja makan, perbincangan bisnis dan pekerjaan yang mendominasi antara Papa Saddil dan Kak Sananta.Dari obrolan keduanya, setidaknya mereka berhasil mendapatkan dua proyek baru. Satu baru saja dimulai, satu lagi dalam target. Kak Sananta ditugaskan langsung untuk menangani calon proyek yang masih dalam pengurusan kepemilikan.Itu membuatnya semakin sibuk. Hingga bulan madu kami yang tertunda masih terus tertunda. Tak masalah bagiku. Toh setiap hari dan hanya sesekali saja dia meninggalkanku sendirian. Alih-alih bekerja, aku justru memilih masa-masa belajar menjadi
TDP 24.Setengah berlari, aku keluar dari gedung berlantai sepuluh itu. Tubuhku lemas dan pandanganku buram. Tapi aku harus cepat pergi dari sini sebelum ada yang menyadari kedatanganku.Dalam taksi online, air mataku bercucuran sambil mencengkeram ponsel. Ingin bicara dengan seseorang, tapi tak tahu itu siapa. Aku tak punya siapapun, oh, dunia hening yang membuat nyaman kemarin ternyata menyimpan bahan peledak.Jika semua yang dikatakan oleh Papa Saddil itu, maka habislah aku.Bibi Sartika. Kebunku. Ayahku.Apa hubungan mereka semua?Apakah kebunku saat ini sedang digarap? Bagaimana bisa? Semua masalah telah selesai dan aku menyimpan semuanya di tempat yang benar-benar aman.Kenapa malah Papa Saddil mengatakan surat usang tak berharga dibandingkan surat kuasa?Apakah aku sudah melewatkan sesuatu yang sangat penting?Apa benar Papa Saddil akan membuat aku kehilangan semuanya? Suami? Anak? Bagaimana bis
"Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra
TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik
TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m
"Aku tidak pernah pergi, Hara," jawabnya dengan muka penuh kepalsuan. Matanya jelas memindaiku dan dua orang yang bersamaku."Oh ya? Aku masih ingat seorang perempuan mengaku ibumu menangis minta bantuan karena kau melarikan semua hartanya. Apakah kalian sudah baikan?" "Wah, wah. Sepertinya kau sangat sinis padaku, Hara. Padahal aku benar-benar senang melihatmu lagi. Apakah kau tidak bahagia dengan pernikahanmu? Wajahmu terlihat kuyu.""Di mana ibumu?" tanyaku berusaha tak terprovokasi dengan kata-katanya. "Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau telah membuangnya begitu saja? Ah ya ... kudengar kau akhirnya menjual juga kebunmu itu setelah omong kosongmu yang setinggi langit itu. Sudah kuduga. Siapa sih, yang tak tergoda oleh uang?"Aku mengepalkan tangan mendengar kata-kata tenang tapi menusuk dari Ferdinand. Nampaknya dia berusaha terus membuatku kena mental dengan sikapnya."Eh. Kau menjual atau memberinya secara
Si Ari benar-benar membuat penasaran. Tapi dia kukuh mingkem menjaga rahasianya. Sebal sekali rasanya ketika mengetahui dia menyimpan sesuatu serapat itu dariku.Namun, kemudian aku menyadari jika antara aku dan Ari telah banyak berubah. Kami bukan dua orang anak kecil lagi yang biasa teriak-teriak kalau mau pamit pipis. Ari ada di sini, mungkin memang karena kebutuhan batinnya untuk memastikan aku tetap aman, tapi untuk urusan hati dan pribadinya, kami jelas memiliki jarak. Apalagi dengan statusku yang sudah bersuami.Dan aku tentu harus bersyukur dan berterima kasih, meski ketika terbangun di hening malam, sesuatu selalu saja menyelinap di hatiku. Perasaan was-was dan tak nyaman terkait Ari. Takut dengan ancaman Tuan Saddil tapi mencoba percaya penuh pada Kak Sananta.Waktu berlalu dengan kegelisahan dalam senyap itu. Juga tentang hatiku yang tak jua siap untuk melihat sebentar saja ke kebunku yang telah menjadi area tambang itu. Sementara rind
"Untuk saat ini, berdamai dengan kenyataan adalah yang terbaik, Ra. Ingat apa yang kamu perjuangkan sekarang, lebih besar dari apa yang mungkin telah hilang," ujar Ari mengingatkan. Mungkin dia paham apa yang kurasakan saat melihat tanganku memegangi perut."Setelah kamu melahirkan dan semuanya lancar, barulah kita bisa pikirkan lagi langkah selanjutnya. Okey?""Lalu bagaimana dengan berkas yang kukirimkan pada Tuan Saddil? Bukankah aku sudah memulainya?" Aku putus asa sekarang. Aku tahu maksud Ari baik, tapi aku merasa semua yang akan kulakukan kini terlihat sia-sia."Untuk sementara, kamu bisa tetap berpura-pura. Pura-pura tak tahu apa yang sudah kamu ketahui. Lagipula, itu cuma proposal sedikit ganti rugi untuk warga, 'kan? Aku berani bertaruh, Tuan Saddil akan menyetujuinya begitu membaca namamu tertera di sana.""Atau bisa jadi dia akan ke sini untuk mengancamku." Kepercayaan diriku kemarin telah lenyap tak bersisa. Aku masih selabi
"Aku menemukannya." Seusai sarapan, aku menghampiri Ari di ruang tengah tempat dia biasa membuka laptop. Di samping pria itu terdapat sepiring cemilan dan cangkir kopi."Apa?" tanggapnya tanpa menoleh."Ini." Kusodorkan foto lama yang bahkan warnanya mulai memudar. Ari mengerutkan keningnya sejenak. Tentu saja dia tak akan mengenali orang itu dengan mudah. Dia tak pernah bertemu langsung dan hanya sempat melihatnya di galeri ponsel fotoku beberapa kali. Lagipula, penampilannya sangat jauh berbeda dengan yang sekarang."Siapa?" Ari menyerah. "Tuan Saddil." Ari membesarkan bola matanya, lantas mengambil foto yang kuletakkan di atas meja dan mendekatkan ke wajahnya. "Kenapa beda sekali?""Tentu saja. Yang ini dia gondrong, yang sekarang botak. Ini juga pakai kumis, sekarang semuanya licin."Di samping Tuan Saddil, ayahku nampak tersenyum lebar. Dan ini bukan hanya foto satu-satunya bersama Tuan Saddil.
Cukup lama kami berada di gudang itu. Mungkin sudah lebih satu jam. Aku sudah mendapatkan setumpukan benda yang akan kubawa. Kunaikkan kembali kardus-kardus itu ke tempatnya. Tapi perutku yang besar sedikit membuatku kerepotan. Beban pas mengangkat tidak sama ketika hanya mengambilnya turun.Sementara Bu Sarmiah yang lebih pendek dariku merapikan rak yang lebih rendah."Biar aku saja." Ari mendekat. Aku sedikit bergeser ke samping. Pemuda itu lincah menaikkan beberapa kardus ke atas. Prang.Suara benda bersenggolan terdengar seiring sesuatu menimpa pucuk kepalaku."Aduh." Aku menjengit, sakit dan kaget. Sepertinya sesuatu tersenggol oleh kardus yang dinaikkan Ari hingga isinya berhamburan di lantai disertai suara berisik."Nona!""Kamu tak apa?" Ari tergopoh mendekat. Memeriksa kepalaku dengan raut cemas."Tak apa. Cuma sedikit kaget. Apa sih itu tadi?" Puncak kepalaku terasa panas dan perih. Aku bahk
Sambungan di ujung telepon hening sesaat. Sebelum akhirnya beberapa detik kemudian terdengar lagi suara."Tak ada tanggapan sama sekali?" Suara Kak Sananta terdengar hilang-hilang timbul. Jaringan nampak sekali tidak stabil. "Tidak. Pihak pertambangan menutup akses untuk bertemu dengan masyarakat. Aku tidak tahu akan separah ini. Apakah dunia tambang memang seperti ini?" Aku mengembuskan napas pelan. "Biasanya tidak seperti ini. Tetap ada dana khusus yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Nanti aku akan mengurusnya lagi. Kamu tenang saja."Percakapan kami kemudian beralih lagi ke hal remeh temeh. Rasanya cukup lega mengetahui Kak Sananta tiba dengan selamat. Dia sudah langsung terjun ke proses pengolahan lahan hingga kami tak memiliki banyak waktu luang untuk bercerita. Kubayangkan jika Kak Sananta yang mengepalai proses pertambangan kebunku. Tapi kemudian andaian itu segera kuenyahkan. Jika Kak Sananta ya