TDP 20Beberapa hari lalu, aku sudah berbelanja dua helai gaun setelah sebelumnya scroll lama di ponsel, mencari tahu tren dan style yang biasa digunakan di acara-acara seperti itu. Mbak Santi tak banyak membantu. Karena pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga tentulah tidak memerlukannya keluar masuk butik atau membeli gaun dan semacamnya. Namun, aku cukup senang sudah ditemani.Ingat zaman pendidikan, aku memang sedikit tertutup orangnya. Bisa bergaul dengan banyak orang, tapi sedikit yang menjadi teman dekat. Bahkan bisa dikatakan aku tak memiliki seorangpun untuk berbagi masalah pribadi.Aku membahas masalah sekolah, pertemanan, jalan-jalan, tapi tak pernah bercerita soal hidupku yang gersang. Di rumah pun aku tak memiliki teman dekat karena teman yang dekat denganku akan terintimidasi oleh Bibi Sartika. Hanya Ari yang tahu bagaimana hidupku sebenarnya.Ah. Ari lagi. Dan pesanku masih centang satu. Kali ini tanganku meletakkan kuas wajah dan
Jam setengah sepuluh malam. Aku pamit ke toilet sebentar. Kandung kemihku penuh, dan aku merasa pusing.Acara ini membuatku jetlag.Mulai dari alkohol yang sepertinya jadi minuman wajib, sampai pada para wanita yang berpakaian terlalu seksi. Mungkin mereka pengisi acara atau bagaimana. Aku jadi sangat risih karena di mejaku ada Papa Saddil dan Paman Munir. Sementara wanita-wanita itu santai saja berlalu lalang menikmati acara. Tak banyak, tapi mencolok. Ini mungkin biasa bagi mereka, tapi aku yang tak terbiasa diserang rasa sungkan setengah mati.Di toilet aku sampai muntah. Begitu kembali ke mejaku ternyata dua orang tua yang membuat segan itu telah pergi. Seketika kurasakan lega luar biasa."Kakak mau ke mana?" tanyaku saat Kak Sananta berdiri melihat kedatanganku."Aku ada pertemuan dulu sebentar, Sayang. Kamu mau ikut atau tunggu di sini saja?" jawab Kak Sananta sedikit ragu."Pertemuan?" Aku men
TDP 22Sepanjang pagi ini, aku tak bisa bangun. Kepalaku pusing dan mual yang tak berkesudahan. Tubuhku pun rasanya seperti habis kena pukul, sakit tak menentu."Pergilah, Kak," suruhku serak ketika Kak Sananta masih saja duduk di pinggir pembaringan sambil mengusap lenganku. Seharusnya dia sudah berangkat, tapi karena kondisiku ini sepertinya dia masih menundanya."Aku minta maaf sudah meninggalkanmu semalam." Suara Kak Sananta dipenuhi oleh rasa bersalah. "Harusnya aku paksa kamu ikut atau suruh seseorang menemanimu.""Ini bukan salah Kakak." Jujur kepalaku berdenyut ketika bicara, tapi kukuatkan tekad agar suamiku ini segera berangkat. Aku tak tahu apa yang terjadi, yang pasti mungkin Papa Saddil sangat marah padaku. Aku tak bisa menjaga nama baik mereka di depan umum. Jangan sampai Kak Sananta kena getahnya juga."Aku yang kalap makan dan minum. Norak memang," gumamku nyaris tak terdengar. "Pergilah, Kak. Nanti Papa marah."
TDP 23Harapanku benar-benar terwujud. Kehidupan tenang selama tiga bulan belakangan, serta hubungan yang membaik dengan Bibi Sartika. Kami sepakat untuk melupakan semuanya. Pun ketidaknyamananku dengan sikap tak tertebak dari Papa Saddil tak lagi mengganggu. Mertuaku itu sangat sibuk belakangan ini, sering berpergian bahkan sampai seminggu. Pun ketika bertemu sesekali di meja makan, perbincangan bisnis dan pekerjaan yang mendominasi antara Papa Saddil dan Kak Sananta.Dari obrolan keduanya, setidaknya mereka berhasil mendapatkan dua proyek baru. Satu baru saja dimulai, satu lagi dalam target. Kak Sananta ditugaskan langsung untuk menangani calon proyek yang masih dalam pengurusan kepemilikan.Itu membuatnya semakin sibuk. Hingga bulan madu kami yang tertunda masih terus tertunda. Tak masalah bagiku. Toh setiap hari dan hanya sesekali saja dia meninggalkanku sendirian. Alih-alih bekerja, aku justru memilih masa-masa belajar menjadi
TDP 24.Setengah berlari, aku keluar dari gedung berlantai sepuluh itu. Tubuhku lemas dan pandanganku buram. Tapi aku harus cepat pergi dari sini sebelum ada yang menyadari kedatanganku.Dalam taksi online, air mataku bercucuran sambil mencengkeram ponsel. Ingin bicara dengan seseorang, tapi tak tahu itu siapa. Aku tak punya siapapun, oh, dunia hening yang membuat nyaman kemarin ternyata menyimpan bahan peledak.Jika semua yang dikatakan oleh Papa Saddil itu, maka habislah aku.Bibi Sartika. Kebunku. Ayahku.Apa hubungan mereka semua?Apakah kebunku saat ini sedang digarap? Bagaimana bisa? Semua masalah telah selesai dan aku menyimpan semuanya di tempat yang benar-benar aman.Kenapa malah Papa Saddil mengatakan surat usang tak berharga dibandingkan surat kuasa?Apakah aku sudah melewatkan sesuatu yang sangat penting?Apa benar Papa Saddil akan membuat aku kehilangan semuanya? Suami? Anak? Bagaimana bis
"Bolehkah aku pulang kampung untuk beberapa hari, Kak?" Malam itu, kebetulan sekali semua orang sedang menikmati hidangan. Setelah beberapa hari ini cuma aku dan Kak Sananta yang mengisi meja makan.Dari ekor mata, bisa kulihat tangan Papa Saddil berhenti bergerak. Aku sengaja mengatakan ini untuk melihat reaksi mereka berdua.Seharian tadi, sampai mereka pulang, aku sudah berpikir apa yang harus aku lakukan terlebih dahulu.Kak Sananta menatapku sejenak. "Kenapa mendadak? Jadwalku masih padat bulan ini.""Nggak mendadak, sih, aku sudah memikirkannya dari minggu kemarin. Cuma baru bilangnya hari ini," senyumku senatural mungkin. "Apakah di sini membuatmu bosan?" Papa Saddil melemparkan pertanyaan. Tangannya yang semula berhenti kembali menyuap makanan."Ah, tidak, Pa. Aku nyaman di sini. Tapi aku berpikir untuk mengolah kembali lahanku yang terbengkalai. Sayang jika harus dibiarkan semak belukar lagi. Aku ingin menanam
TDP 26Rasa penasaranku akan siapa Tuan Saddil telah membangkitkan sikap nekadku.Sejak terbangun pagi hari tadi aku bertekad tidak akan memanggilnya papa lagi. Dia sudah mengkhianatiku. Dia sudah menipuku. Kenyataan yang disampaikan Bu Sarmiah memiliki efek domino lebih besar setelah aku melewati satu malam lagi.Meski sudah mendengar, aku tetap ingin membuktikan sendiri. Jika bertanya adalah hal yang mustahil, sepertinya mencari tahu diam-diam harus kucoba. Setidaknya mencari informasi."Papa sudah berangkat, ya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Santi. Meski ada tiga asisten lain di rumah ini, Mbak Santi adalah yang bertugas mengurus makanan dan melayani kebutuhan seisi rumah. Sehingga aku lebih dekat dengannya dibanding tiga asisten lain yang masing-masing mengurus pakaian dan kebersihan.Apalagi cuma Mbak Santi yang boleh masuk ke kamar tuan rumah. Sehingga menata pakaian bersih ke lemari dan kebersihan kamar otomatis jadi dihandle oleh Mbak
"Nyonya Lianta sering berseberangan pendapat dengan Tuan. Mereka acapkali berdebat, tapi saya lihat selalu Nyonya yang mengalah. Nyonya cukup tertekan dengan sikap diktator Tuan, mungkin karena itulah akhirnya Nyonya tak tahan dan ...." Mbak Santi menjeda kalimatnya, seolah yang akan di katakannya begitu berat."Dan apa, Mbak?" kejarku ketika Mbak Santi masih saja diam."Beliau selingkuh.""Selingkuh?" Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutan. "Tapi saya yakin tidak," tambah wanita berkulit sawo matang itu cepat-cepat. "Nyonya tidak mungkin menciderai pernikahannya dengan hal murahan seperti itu. Seperti itulah keyakinan saya. Meskipun pengadilan mengatakan demikian.""Lalu, Mbak?""Suatu malam, mereka bertengkar hebat. Tapi saya tak tahu apa yang mereka pertengkarkan. Sampai kemudian surat dari pengadilan datang menggugat Nyonya. Alasannya perselingkuhan sehingga hak asuh Den Sananta jatuh ke tangan Tuan Saddil. Padah
"Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra
TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik
TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m
"Aku tidak pernah pergi, Hara," jawabnya dengan muka penuh kepalsuan. Matanya jelas memindaiku dan dua orang yang bersamaku."Oh ya? Aku masih ingat seorang perempuan mengaku ibumu menangis minta bantuan karena kau melarikan semua hartanya. Apakah kalian sudah baikan?" "Wah, wah. Sepertinya kau sangat sinis padaku, Hara. Padahal aku benar-benar senang melihatmu lagi. Apakah kau tidak bahagia dengan pernikahanmu? Wajahmu terlihat kuyu.""Di mana ibumu?" tanyaku berusaha tak terprovokasi dengan kata-katanya. "Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau telah membuangnya begitu saja? Ah ya ... kudengar kau akhirnya menjual juga kebunmu itu setelah omong kosongmu yang setinggi langit itu. Sudah kuduga. Siapa sih, yang tak tergoda oleh uang?"Aku mengepalkan tangan mendengar kata-kata tenang tapi menusuk dari Ferdinand. Nampaknya dia berusaha terus membuatku kena mental dengan sikapnya."Eh. Kau menjual atau memberinya secara
Si Ari benar-benar membuat penasaran. Tapi dia kukuh mingkem menjaga rahasianya. Sebal sekali rasanya ketika mengetahui dia menyimpan sesuatu serapat itu dariku.Namun, kemudian aku menyadari jika antara aku dan Ari telah banyak berubah. Kami bukan dua orang anak kecil lagi yang biasa teriak-teriak kalau mau pamit pipis. Ari ada di sini, mungkin memang karena kebutuhan batinnya untuk memastikan aku tetap aman, tapi untuk urusan hati dan pribadinya, kami jelas memiliki jarak. Apalagi dengan statusku yang sudah bersuami.Dan aku tentu harus bersyukur dan berterima kasih, meski ketika terbangun di hening malam, sesuatu selalu saja menyelinap di hatiku. Perasaan was-was dan tak nyaman terkait Ari. Takut dengan ancaman Tuan Saddil tapi mencoba percaya penuh pada Kak Sananta.Waktu berlalu dengan kegelisahan dalam senyap itu. Juga tentang hatiku yang tak jua siap untuk melihat sebentar saja ke kebunku yang telah menjadi area tambang itu. Sementara rind
"Untuk saat ini, berdamai dengan kenyataan adalah yang terbaik, Ra. Ingat apa yang kamu perjuangkan sekarang, lebih besar dari apa yang mungkin telah hilang," ujar Ari mengingatkan. Mungkin dia paham apa yang kurasakan saat melihat tanganku memegangi perut."Setelah kamu melahirkan dan semuanya lancar, barulah kita bisa pikirkan lagi langkah selanjutnya. Okey?""Lalu bagaimana dengan berkas yang kukirimkan pada Tuan Saddil? Bukankah aku sudah memulainya?" Aku putus asa sekarang. Aku tahu maksud Ari baik, tapi aku merasa semua yang akan kulakukan kini terlihat sia-sia."Untuk sementara, kamu bisa tetap berpura-pura. Pura-pura tak tahu apa yang sudah kamu ketahui. Lagipula, itu cuma proposal sedikit ganti rugi untuk warga, 'kan? Aku berani bertaruh, Tuan Saddil akan menyetujuinya begitu membaca namamu tertera di sana.""Atau bisa jadi dia akan ke sini untuk mengancamku." Kepercayaan diriku kemarin telah lenyap tak bersisa. Aku masih selabi
"Aku menemukannya." Seusai sarapan, aku menghampiri Ari di ruang tengah tempat dia biasa membuka laptop. Di samping pria itu terdapat sepiring cemilan dan cangkir kopi."Apa?" tanggapnya tanpa menoleh."Ini." Kusodorkan foto lama yang bahkan warnanya mulai memudar. Ari mengerutkan keningnya sejenak. Tentu saja dia tak akan mengenali orang itu dengan mudah. Dia tak pernah bertemu langsung dan hanya sempat melihatnya di galeri ponsel fotoku beberapa kali. Lagipula, penampilannya sangat jauh berbeda dengan yang sekarang."Siapa?" Ari menyerah. "Tuan Saddil." Ari membesarkan bola matanya, lantas mengambil foto yang kuletakkan di atas meja dan mendekatkan ke wajahnya. "Kenapa beda sekali?""Tentu saja. Yang ini dia gondrong, yang sekarang botak. Ini juga pakai kumis, sekarang semuanya licin."Di samping Tuan Saddil, ayahku nampak tersenyum lebar. Dan ini bukan hanya foto satu-satunya bersama Tuan Saddil.
Cukup lama kami berada di gudang itu. Mungkin sudah lebih satu jam. Aku sudah mendapatkan setumpukan benda yang akan kubawa. Kunaikkan kembali kardus-kardus itu ke tempatnya. Tapi perutku yang besar sedikit membuatku kerepotan. Beban pas mengangkat tidak sama ketika hanya mengambilnya turun.Sementara Bu Sarmiah yang lebih pendek dariku merapikan rak yang lebih rendah."Biar aku saja." Ari mendekat. Aku sedikit bergeser ke samping. Pemuda itu lincah menaikkan beberapa kardus ke atas. Prang.Suara benda bersenggolan terdengar seiring sesuatu menimpa pucuk kepalaku."Aduh." Aku menjengit, sakit dan kaget. Sepertinya sesuatu tersenggol oleh kardus yang dinaikkan Ari hingga isinya berhamburan di lantai disertai suara berisik."Nona!""Kamu tak apa?" Ari tergopoh mendekat. Memeriksa kepalaku dengan raut cemas."Tak apa. Cuma sedikit kaget. Apa sih itu tadi?" Puncak kepalaku terasa panas dan perih. Aku bahk
Sambungan di ujung telepon hening sesaat. Sebelum akhirnya beberapa detik kemudian terdengar lagi suara."Tak ada tanggapan sama sekali?" Suara Kak Sananta terdengar hilang-hilang timbul. Jaringan nampak sekali tidak stabil. "Tidak. Pihak pertambangan menutup akses untuk bertemu dengan masyarakat. Aku tidak tahu akan separah ini. Apakah dunia tambang memang seperti ini?" Aku mengembuskan napas pelan. "Biasanya tidak seperti ini. Tetap ada dana khusus yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Nanti aku akan mengurusnya lagi. Kamu tenang saja."Percakapan kami kemudian beralih lagi ke hal remeh temeh. Rasanya cukup lega mengetahui Kak Sananta tiba dengan selamat. Dia sudah langsung terjun ke proses pengolahan lahan hingga kami tak memiliki banyak waktu luang untuk bercerita. Kubayangkan jika Kak Sananta yang mengepalai proses pertambangan kebunku. Tapi kemudian andaian itu segera kuenyahkan. Jika Kak Sananta ya