"Katanya namanya Ari Gumintang Langit, Nona."Untuk beberapa saat aku terpana. Telingaku berdenging dan rasa salah dengar."Ari, Mang? Laki, sawo matang, matanya sipit dan tinggi?""Benar, Nona. Saya sudah menyuruhnya pergi karena tidak sopan, tapi dia ngotot dan ....""Ari!"Aku sudah berlari duluan sebelum Mang Asep selesai. Jarak antara rumah utama dan pagar cukup jauh. Aku bahkan halpir lupa jika ada kehidupan baru yang harus kujaga. Akhirnya kupelankan langkah seraya mengatur ritme jantung.Ari datang!Aku bahkan nyaris putus asa karenanya. Ponsel yang jarang aktif, tapi aku yakin dia sengaja menjaga jarak. Aku berusaha maklum karena memang kami sekarang sudah berbeda status. Namun, kadangkala ada hal-hal yang harus melibatkan Ari. Atau, aku ingin meminta pendapatnya."Ari!" teriakku senang saat melihat pemuda itu bersandar di motornya. Kulitnya lebih gelap dari biasanya. Sepertinya dia benar-bena
"Ri!" Aku sedikit berteriak. Ari langsung berhenti."Apa?""Aku minta maaf atas semuanya." Aku mendekat. "Kamu tidak melakukan kesalahan apapun. Akulah yang terbawa emosi." Ketenangan Ari sepertinya sudah kembali. Senyum tipis kini tersungging di bibirnya. "Masuklah ke dalam. Aku tak ingin ada kesalahpahaman antara kamu dan Sananta nantinya," ujarnya lagi."Kamu masih percaya padaku, Ri?""Jujur, satu-satunya hal yang tidak kupercayai adalah kamu mengizinkan pertambangan itu, makanya aku ke sini. Selebihnya, tak ada yang berubah."Sekuat tenaga kutahan tangisan. Tapi aku tahu aku tak boleh menangis di sini. Mang Asep tampak siaga penuh di pos jaga. Aku tidak ingin dia mengatakan hal yang bisa memicu kesalahpahaman lain pada Kak Sananta."Jika aku meminta tolong, masihkah kamu mau menolong?""Tentu. Tapi aku sangsi kamu akan melakukan itu lagi, Hara."Aku menggeleng kuat. "Aku pasti
Bibirku nyaris tertarik ke atas membentuk senyuman sinis, tapi berhasil kutahan di saat terakhir. Aku harus tetap bersikap seperti seorang menantu patuh yang tak tahu apapun. Aku harus bertaruh nasib sampai akhir."Oh, jadi kau sangat tertarik dengan pekerjaan pembantu? Bagus. Kurasa itu akan berguna untuk hidupmu ke depan.""Maaf sekali lagi, Pa.""Kau tahu apa yang paling kubenci? Wanita lancang sepertimu!" Tuan Saddil mengarahkan telunjuknya padaku. Napasnya memburu. Meski sudah dapat bocoran bagaimana karakter aslinya, tetap saja aku terkejut karenanya."Cukup sekali ini. Jangan membuat aku memberikan alasan pada Sananta untuk menceraikanmu." Tambahnya sedikit tersengal. Jelas sekali usaha Tuan Saddil untuk mengendalikan emosinya sendiri. Jika bukan karena rencana-rencananya, aku yakin dia sudah mengusir atau mencaci makiku tak terhingga."Jangan berpikir untuk masuk lagi. Jangan berpikir untuk melakukan apapun. Kau seorang
Seingatku, hanya seorang itu ...."Nona, Nona." Suaranya menggema ulang dalam kepalaku. Tak ada suara lain. Dia juga tak menyentuhku atau ....Aku ingat sekarang!Ketika itu pelayan itu menyentuh tanganku, tapi ... mengambil atau memberi sesuatu? Mungkin dia menyingkirkan sesuatu seperti garpu agar tidak melukai wajahku yang terkulai di meja, atau menyelipkan sesuatu? Pena? Pensil? Spidol?Dan bagaimana pula aku bisa menorehkan tanda tangan jika aku sangat mabuk seperti itu. Atau mereka hanya membubuhkan cap jempolku?Haruskah aku cari CCTV di ruangan itu agar tahu apa yang terjadi? Lalu jika ini sudah terencana, apa mereka akan akan seteledor itu?Hingga tengah malam aku masih menduga-duga, kesimpulanku saat ini, bisa jadi memang saat aku mabuk itu. Tapi aku tak tahu kapan, dan bagaimana prosesnya.***Entah jam berapa, saat tiba-tiba saja dalam tidur lelap tanpa mimpi, mataku terbuka begitu saja.
"Bolehkah aku keluar nanti, Kak?" tanyaku hati-hati pada Kak Sananta. Meski benci, tapi hatiku masih ingin mengisyaratkan perpisahan padanya. Konyol sekali.Semua orang telah meninggalkan kami, dan tentu saja keadaanku telah membaik. Kak Sananta pasti berpikir itu berkat minyak angin dan air hangat yang telah kuminum. Padahal sejatinya jam morning sickness-ku memang telah usai."Mau ke mana memangnya? Bukankah kamu sakit?" Pria itu sedang memasang dasi. Biasanya itu tugasku tapi pagi ini aku selamat."Nanti siang, nggak sekarang. Masuk angin ini kan cuma sebentar. Ada beberapa bahan kue yang ingin kucari. Sekalian cuci mata.""Sama Mbak Santi lagi?" "Belum tahu. Tapi bisa jadi sendiri saja, karena aku mungkin akan lama.""Hati-hati, ya. Jangan terlalu lama nanti kamu kecapekan. Dan maaf sampai hari ini masih belum bisa honeymoon seperti yang kamu impikan."Aku tersenyum tipis. Tak perlu lagi. Lagipula aku suda
Aku hanya lewat di dalam mal yang sejuk dan belum banyak orang. Singgah sebentar di gerai ponsel untuk membeli kartu baru. Setelahnya dengan menghindari titik yang sekiranya ada CCTV, aku menyetop taksi tak jauh dari gedung mal. Segera kendaraan itu membawa tubuhku menjauh dari segala yang membuat kecewa."Ari, bisakah kita bertemu?" Kali ini, aku tak bisa menahan kesedihan. Suaraku bergetar dan ingin rasanya merebahkan diri di jok taksi ini."Kukira kamu melupakan janji untuk menghubungiku." Suara Ari terdengar sarkas. Tapi aku justru tersenyum dalam tangis mendengarnya. Dia pasti kesal karena tak kuhubungi sekali pun setelah menyuruhnya stand by dengan ponsel."Maaf." Suaraku mencicit. Sungguh tak ingin mencari simpati Ari tapi aku tak punya siapapun selain dia. Aku juga tahu ini akan beresiko besar bagi Ari, tapi aku bingung tak tahu mesti ke mana mengadu lagi."Sepertinya sesuatu telah terjadi," ujar Ari. Nada suaranya telah berubah. "Kita ket
"Petualangan melarikan istri orang dimulai." Suara Ari terdengar tanpa beban. Di tangannya satu teh botol tergenggam, sementara tangan yang lain memegang biskuit dengan merek yang biasa kusukai."Jangan berkata seperti itu. Itu mengingatkanku akan rasa bersalah," ujarku pelan. Kami duduk di bangku ruang tunggu keberangkatan pesawat terbang. Jantungku berdebar kencang, tapi sebisa mungkin aku mencoba tenang.Bagaimana jika Tuan Saddil atau Kak Sananta mengetahui ini dan saat ini dia sedang menuju ke sini?"Hhmm ... rasa bersalah. Ya ya ya." Ari terlihat tak terganggu dengan suara senduku. "Nih. Makan ini dulu." Dia menyorongkan biskuit di tangannya."Tidak. Kamu saja." Aku mendorongnya kembali. Mual tiba-tiba saja menyerang."Biasanya kamu suka sekali ini." Ari nampak mengerutkan kening heran. Tapi kemudian segera mengerti melihat ekspresiku. "Apakah ... itu menyulitkanmu?" tanyanya sedikit ragu. Pemuda itu menyimpan ke
TDP 35"Terserah kamu saja, Ri. Aku ikut apa yang kamu lakukan." Percuma juga aku memutuskan membawa Ari dalam masalahku jika aku hanya akan berpikir sendirian. Apalagi dengan kondisi perubahan hormon serta emosi tidak stabil begini."Masih yakin dengan keputusanmu?" tanya Ari lagi. "Kenapa kamu masih menanyakan itu?""Belum terlambat untuk kembali. Berpura-pura tak tahu segalanya. Kamu tentu tahu peribahasa yang mengatakan tempat bersembunyi paling aman adalah di sarang musuh.""Tidak. Aku tak bisa menjamin calon bayiku akan melihat dunia." Tatapan menakutkan Tuan Saddil tadi pagi kembali terbayang, dan aku harus memejamkan mata untuk mengusirnya."Mungkin si pak tua itu akan sangat bernafsu membuatmu menderita. Namun, bukankah ada opsi kehadiran Sananta di sana? Kurasa, menjadi ayah, akan menggedor nuraninya walaupun sedikit.""Kenapa tak kau katakan itu sejak tadi?" tukasku sedikit kesal. "Kita tidak perlu bercapek r
"Bayinya perempuan, Mas." Salah seorang suster yang baru saja keluar dari ruang operasi bersama Hara yang didorong dua suster lain tersenyum semringah. "Anaknya cantik. Ayahnya pasti senang. Saat ini sedang dihangatkan di inkubator, ya Mas."Ari tergagap. Tatapan suster itu jelas mengatakan jika dialah ayahnya."Kondisi ibunya juga baik. Untung Anda tiba tepat waktu." Suster itu terus bercerita. Sementara Ari mengikuti langkah mereka ke kamar rawat inap."Makasih, Sus." Hanya itu yang bisa dikatakan Ari. Walau tubuhnya serasa jadi bayang-bayang karena cemas, sekarang dia sudah bisa bernapas lega."Habis ini Mas ke ruang bayi, ya, buat iqamahkan putrinya," ujar suster itu lagi saat mereka semua sudah selesai mengantar Hara dan memastikan kondisinya stabil. Kalimat yang disambut oleh anggukan Ari."Selamat, Ra." Ari menyapa Hara. Wajah perempuan itu pucat, tapi dia terlihat bahagia. Binar di matanya mengatakan itu."Makasih, Ri." Hara tersenyum. "Kak Sananta sudah ada kabar?""Belum, Ra
TPD 88"Jadi, gimana kita pulang?" Setelah beberapa menit berlalu dari keterkejutan itu, pertanyaan Mbak Mira terdengar dari arah belakang. "Sepertinya kita tak bisa pulang malam ini." Ari yang menyahut."Memangnya gak ada jalan memutar gitu, ya, Mas?" Mbak Mira memanggil Ari dengan sebutan Mas walaupun dia lebih tua. Katanya sungkan jika harus panggil nama."Ada, Mbak. Memutar jauh ke atas bukit Tapi sebagian besar masih jalan tanah. Dan hujan begini kita nggak bisa bawa Hara melewatinya.""Jadi ....""Kita putar balik lagi aja. Cari penginapan dulu. Setuju, 'kan, Ra?"Aku yang bersandar ke jok mobil menegakkan kepala perlahan. Mobil masih parkir di pinggir jalan, sementara hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Perutku tak nyaman. Seperti kram, dan aku tak mau berpikiran buruk, tapi saat bergerak, sakit itu terasa lagi."Kamu baik-baik saja?" Suara Ari terdengar menuntut. Mungkin dia melihat rautku yang berkedut."Ti ..." Aku baru saja akan mengatakan tidak, ketik
TPD 87"Hei, Hara. Kenapa kau menuduhku seperti itu? Aku tidak berkomplot dengan siapapun apalagi mertuamu seperti tuduhanmu itu. Bukankah kau sendiri yang memberikan surat kuasa itu? Kalau bukan karena surat kuasamu, bagaimana bisa aku melakukannya? Bukankah kau sudah mengamankan semuanya dariku?" Sudah kuduga. Bibi Sartika akan terus mengelak. Entah kenapa pula aku masih terus ingin mendengar pengakuan dari mulutnya. Sesuatu yang tentu saja akan sulit terjadi."Aku mendengar sendiri apa yang Bibi bicarakan dengan Tuan Saddil, hanya saja aku tidak sempat merekamnya." Aku tersenyum kering. "Kau selalu mengada-ada, Hara. Apa sekarang kau merasa menyesal menjualnya, lalu kau ingin mencari gara-gara denganku lagi?" Mata berhiaskan eye liner tebal itu menatapku tajam. "Tidak. Aku tidak mencari gara-gara. Aku hanya ingin bertemu dengan Bibi, melihat kebenaran secara langsung dari wajah kalian. Bukankah ketika itu Bibi meneleponku dan m
"Aku tidak pernah pergi, Hara," jawabnya dengan muka penuh kepalsuan. Matanya jelas memindaiku dan dua orang yang bersamaku."Oh ya? Aku masih ingat seorang perempuan mengaku ibumu menangis minta bantuan karena kau melarikan semua hartanya. Apakah kalian sudah baikan?" "Wah, wah. Sepertinya kau sangat sinis padaku, Hara. Padahal aku benar-benar senang melihatmu lagi. Apakah kau tidak bahagia dengan pernikahanmu? Wajahmu terlihat kuyu.""Di mana ibumu?" tanyaku berusaha tak terprovokasi dengan kata-katanya. "Kenapa kau masih bertanya? Bukankah kau telah membuangnya begitu saja? Ah ya ... kudengar kau akhirnya menjual juga kebunmu itu setelah omong kosongmu yang setinggi langit itu. Sudah kuduga. Siapa sih, yang tak tergoda oleh uang?"Aku mengepalkan tangan mendengar kata-kata tenang tapi menusuk dari Ferdinand. Nampaknya dia berusaha terus membuatku kena mental dengan sikapnya."Eh. Kau menjual atau memberinya secara
Si Ari benar-benar membuat penasaran. Tapi dia kukuh mingkem menjaga rahasianya. Sebal sekali rasanya ketika mengetahui dia menyimpan sesuatu serapat itu dariku.Namun, kemudian aku menyadari jika antara aku dan Ari telah banyak berubah. Kami bukan dua orang anak kecil lagi yang biasa teriak-teriak kalau mau pamit pipis. Ari ada di sini, mungkin memang karena kebutuhan batinnya untuk memastikan aku tetap aman, tapi untuk urusan hati dan pribadinya, kami jelas memiliki jarak. Apalagi dengan statusku yang sudah bersuami.Dan aku tentu harus bersyukur dan berterima kasih, meski ketika terbangun di hening malam, sesuatu selalu saja menyelinap di hatiku. Perasaan was-was dan tak nyaman terkait Ari. Takut dengan ancaman Tuan Saddil tapi mencoba percaya penuh pada Kak Sananta.Waktu berlalu dengan kegelisahan dalam senyap itu. Juga tentang hatiku yang tak jua siap untuk melihat sebentar saja ke kebunku yang telah menjadi area tambang itu. Sementara rind
"Untuk saat ini, berdamai dengan kenyataan adalah yang terbaik, Ra. Ingat apa yang kamu perjuangkan sekarang, lebih besar dari apa yang mungkin telah hilang," ujar Ari mengingatkan. Mungkin dia paham apa yang kurasakan saat melihat tanganku memegangi perut."Setelah kamu melahirkan dan semuanya lancar, barulah kita bisa pikirkan lagi langkah selanjutnya. Okey?""Lalu bagaimana dengan berkas yang kukirimkan pada Tuan Saddil? Bukankah aku sudah memulainya?" Aku putus asa sekarang. Aku tahu maksud Ari baik, tapi aku merasa semua yang akan kulakukan kini terlihat sia-sia."Untuk sementara, kamu bisa tetap berpura-pura. Pura-pura tak tahu apa yang sudah kamu ketahui. Lagipula, itu cuma proposal sedikit ganti rugi untuk warga, 'kan? Aku berani bertaruh, Tuan Saddil akan menyetujuinya begitu membaca namamu tertera di sana.""Atau bisa jadi dia akan ke sini untuk mengancamku." Kepercayaan diriku kemarin telah lenyap tak bersisa. Aku masih selabi
"Aku menemukannya." Seusai sarapan, aku menghampiri Ari di ruang tengah tempat dia biasa membuka laptop. Di samping pria itu terdapat sepiring cemilan dan cangkir kopi."Apa?" tanggapnya tanpa menoleh."Ini." Kusodorkan foto lama yang bahkan warnanya mulai memudar. Ari mengerutkan keningnya sejenak. Tentu saja dia tak akan mengenali orang itu dengan mudah. Dia tak pernah bertemu langsung dan hanya sempat melihatnya di galeri ponsel fotoku beberapa kali. Lagipula, penampilannya sangat jauh berbeda dengan yang sekarang."Siapa?" Ari menyerah. "Tuan Saddil." Ari membesarkan bola matanya, lantas mengambil foto yang kuletakkan di atas meja dan mendekatkan ke wajahnya. "Kenapa beda sekali?""Tentu saja. Yang ini dia gondrong, yang sekarang botak. Ini juga pakai kumis, sekarang semuanya licin."Di samping Tuan Saddil, ayahku nampak tersenyum lebar. Dan ini bukan hanya foto satu-satunya bersama Tuan Saddil.
Cukup lama kami berada di gudang itu. Mungkin sudah lebih satu jam. Aku sudah mendapatkan setumpukan benda yang akan kubawa. Kunaikkan kembali kardus-kardus itu ke tempatnya. Tapi perutku yang besar sedikit membuatku kerepotan. Beban pas mengangkat tidak sama ketika hanya mengambilnya turun.Sementara Bu Sarmiah yang lebih pendek dariku merapikan rak yang lebih rendah."Biar aku saja." Ari mendekat. Aku sedikit bergeser ke samping. Pemuda itu lincah menaikkan beberapa kardus ke atas. Prang.Suara benda bersenggolan terdengar seiring sesuatu menimpa pucuk kepalaku."Aduh." Aku menjengit, sakit dan kaget. Sepertinya sesuatu tersenggol oleh kardus yang dinaikkan Ari hingga isinya berhamburan di lantai disertai suara berisik."Nona!""Kamu tak apa?" Ari tergopoh mendekat. Memeriksa kepalaku dengan raut cemas."Tak apa. Cuma sedikit kaget. Apa sih itu tadi?" Puncak kepalaku terasa panas dan perih. Aku bahk
Sambungan di ujung telepon hening sesaat. Sebelum akhirnya beberapa detik kemudian terdengar lagi suara."Tak ada tanggapan sama sekali?" Suara Kak Sananta terdengar hilang-hilang timbul. Jaringan nampak sekali tidak stabil. "Tidak. Pihak pertambangan menutup akses untuk bertemu dengan masyarakat. Aku tidak tahu akan separah ini. Apakah dunia tambang memang seperti ini?" Aku mengembuskan napas pelan. "Biasanya tidak seperti ini. Tetap ada dana khusus yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Nanti aku akan mengurusnya lagi. Kamu tenang saja."Percakapan kami kemudian beralih lagi ke hal remeh temeh. Rasanya cukup lega mengetahui Kak Sananta tiba dengan selamat. Dia sudah langsung terjun ke proses pengolahan lahan hingga kami tak memiliki banyak waktu luang untuk bercerita. Kubayangkan jika Kak Sananta yang mengepalai proses pertambangan kebunku. Tapi kemudian andaian itu segera kuenyahkan. Jika Kak Sananta ya