Home / Pernikahan / My Cassanova Husband / Chapter 91 - Chapter 100

All Chapters of My Cassanova Husband: Chapter 91 - Chapter 100

174 Chapters

89. Sang Penawar

“Om Auriga?!” pekik Lavina dengan perasaan terkejut ketika ia melihat siapa yang barusan menariknya dan memeluk pinggangnya. “Kalau jalan sendirian itu jangan melamun.” Auriga berdecak lidah dan menyentil dahi Lavina. “Gimana kalau tiba-tiba ada orang jahat? Karena kamu melamun jadi nggak bisa melawan atau bahkan lari.” Mendengar omelan Auriga yang berekpresi datar itu, Lavina hanya meringis kecil. “Salah Om sendiri.” Alis Auriga terangkat. “Kenapa saya yang disalahin?” “Iya, kenapa Om tiba-tiba pergi dari restoran?” gerutu Lavina tak mau kalah. “Jadinya aku mikir sambil jalan, Om di mana dan langsung pergi ke mana seudah dari restoran itu.” Satu sudut bibir Auriga terangkat, wajahnya sedikit menunduk untuk menatap manik mata Lavina. “Jadi, kamu melamun karena mikirin saya?” Lavina berdehem dan membuang muka. “Mau menyangkal, tapi aku kepalang jujur,” gumamnya, yang membuat Auriga mengeluarkan suara setengah mendengus dan setengah tertawa. Pada saat yang sama terlihat seseorang
Read more

90. Nggak Bisa Nunggu Lama

Semenjak pertemuannya dengan Flora di Soul Café tadi siang, hati Auriga benar-benar terasa kacau.Rasa sakit dan rindu seakan terus menghantam jiwanya. Bayangan masa lalu ketika ia dan Flora menjalani hari-hari penuh kebahagiaan saling berkelebat di dalam kepala.Lalu, rasa sakit itu semakin menjadi ketika ia teringat bagaimana Flora meninggalkannya dan Aurora demi lelaki lain tanpa alasan.Dan setelah bertahun-tahun pergi tanpa kabar, perempuan itu tiba-tiba datang dan memberi penjelasan tentang alasan ia meninggalkannya.Jadi… semua itu karena Billy mengancamnya?Auriga mengembuskan napas dengan berat. Ia hapal betul siapa Billy. Pria itu adalah pewaris tunggal perusahaan keluarganya. Sejak dulu, Billy memang menginginkan Flora dan Billy tidak pernah menyerah untuk terus mengejarnya meski sudah menikah dengan Auriga.Namun, Auriga tidak menyangka Billy akan menggunakan kekuasaannya untuk mengambil Flora darinya.Mengingat hal itu pikiran Auriga semakin terasa penuh, ia tidak fokus s
Read more

91. Kursus

Napas Auriga tersengal-sengal, ia mengangkat wajahnya untuk menatap wajah Lavina yang tampak berantakan dan dibanjiri peluh. Bibir Auriga menyunggingkan senyuman puas.“Terima kasih,” bisik Auriga, lalu menunduk dan menghadiahi kecupan hangat di kening Lavina, cukup lama.Setelah itu Auriga berbaring di samping Lavina seraya menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. “Saya ngantuk. Bangunin saya satu jam lagi, setelah itu kita pulang.”Lavina menyembunyikan wajah di dada Auriga. Pipinya terasa panas. Ia masih berusaha mengatur napasnya dan debaran jantungnya yang tak beraturan.Kemudian matanya mengerjap-ngerjap, seakan-akan sedang berusaha menyadarkan diri sendiri untuk segera kembali pada kenyataan. Sebab, Lavina merasa, barusan ia sedang berada di alam mimpi saat Auriga membawanya terbang tinggi, hingga kaki Lavina rasanya tidak menapaki bumi.Lavina lantas menggigit bibirnya sendiri dan meringis malu, ketika teringat bahwa saat mereka bercinta mulutnya benar-benar tidak bisa
Read more

92. Mommy Yang Lain

Mulut Lavina ternganga, matanya melongo, tapi cepat-cepat ia mengatupkan bibirnya dan menelan saliva dengan susah payah.Di hadapannya ada seorang wanita yang memakai kacamata dengan bingkai hitam, sedang menulis pada layar iPad. Rambutnya pendek sebahu, garis rahangnya tegas, penampilannya formal dengan blazer dan rok span. Kalau bicara nadanya tegas. Tatapan tajamnya membuat Lavina selalu merasa tegang. Usia wanita itu mungkin sekitar 40 tahunan.Dia benar-benar menyeramkan di mata Lavina.“Kenapa bengong? Cepat hapalkan!”Perintah tegas yang diiringi pukulan pelan di meja, membuat Lavina seketika terperanjat. Buru-buru Lavina mengangguk dan fokus pada layar iPad-nya yang menampilkan sederet tulisan hangul.“Saya nggak suka murid yang malas-malasan!”Lavina mendongak dan berkata, “Tapi saya nggak malas-malasan kok, Bu, dari tadi juga dihapal kok kosa ka—Oke! Oke! Saya diam.” Dengan sigap, Lavina kembali menunduk sambil komat-kamit menghapal kosa kata baru saat ia mendapat tatapan ki
Read more

93. Cemburu

“Waah cantik sekali bonekanya. Dari dulu Aurora memang suka banget sama boneka beruang.” Suara lembut Flora terdengar dari arah dapur.“Iya, Mom. Ini Daddy yang beliin kemarin.”Lavina tercenung. Sejak kapan mereka seakrab ibu? Bukankah ini pertemuan pertama Aurora dan Flora?Atau… mereka sempat bertemu tanpa sepengetahuan Lavina?“Oh? Mommy Lavina!” seru Aurora saat ia baru menyadari kehadiran Lavina.Anak itu berlari ke arahnya, membuat Lavina seketika tersenyum lebar. Lavina berjongkok dan menangkup pipi Aurora yang sudah berdiri di hadapannya.“Tadi Mommy ke sekolah kamu, lho. Tapi kata Bunda Agnes kamu udah dijemput.”“Hm! Tadi Mommy Flora jemput aku ke sekolah, Mom.”Lavina mengalihkan tatapannya dari wajah Aurora, ke arah Flora yang sedang berjalan mendekatinya. Kemudian menatap Aurora lagi dan berkata sambil menunjukkan bingkisan di tangannya.“Nih! Mommy Lavina beliin sayap kesukaan kamu buat makan siang!"“Buat aku?”“Hm!” Lavina mengangguk dan senyuman masih tersungging di
Read more

94. Asing

Lavina mengangguk. “Boleh. Bicara aja, Kak."Flora tersenyum lembut. Ia menyilangkan kaki kiri di atas kaki kanan seraya menyandarkan punggung ke sofa. “Lavina…,” panggilnya dengan serius. “Bagaimana hubunganmu dengan Auriga? Maaf, aku bukannya mau ikut campur, tapi aku rasa harus menyampaikan sesuatu yang penting tentang dia.”Kening Lavina seketika mengernyit. “Hubungan kami baik-baik saja, kok.”“Begitu, ya?”“Ngomong-ngomong, sesuatu yang penting apa?”Alih-alih menjawab, Flora malah kembali bertanya, “Apa dia suka bersikap mesra sama kamu? Atau… mungkin sesuatu yang membuat kamu selalu merasa berbunga-bunga? Bersikap manis? Atau yah semacamnya.” Flora mengedikkan bahu.Kernyitan di kening Lavina semakin dalam. Ia tidak suka dengan pertanyaan itu. “Mesra atau nggak, atau bagaimanapun hubungan kami… aku rasa itu bukan urusan orang lain, Kak. Itu privasi kami,” jawab Lavina dengan santai. “Apa aku benar?”Flora tampak tertohok, tapi kemudian ia tertawa kecil. “Kamu benar. Pertanyaan
Read more

95. Jangan Menyentuhku Lagi

Lavina memilih diam di kamar saat ketiga orang itu memasuki rumah. Samar-samar Lavina mendengar keramaian di lantai bawah, tapi tidak terdengar jelas apa yang sedang mereka bicarakan.Lavina tersenyum miris. Ia merasa seperti orang asing di rumah ini. Saat melihat Auriga, Flora dan Aurora keluar dari mobil itu hati Lavina terasa diremas-remas. Mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang utuh. Sementara Lavina merasa dirinya hanya orang asing, yang bahkan kepulangan Auriga saja ia tidak tahu.Tok! Tok! Tok!Lamunan Lavina seketika buyar saat mendengar bunyi ketukan di pintu.“Lavina, kamu di dalam?”Jantung Lavina seketika berdebar-debar kala suara berat Auriga terdengar menggema di balik pintu.Jika boleh jujur, ia senang mendengar suara bariton pria itu lagi setelah hampir tiga minggu tidak berkomunikasi.Namun, di sisi lain, hati Lavina juga terasa perih atas apa yang sudah terjadi hari ini dan beberapa minggu ke belakang, tepatnya setelah ia mendengar fakta tentang Auriga dari Flo
Read more

96. Mommy Tinggal Di Sini

Pria itu terdiam sejenak dengan air muka yang berubah keruh. “Apa?” gumamnya, “budak… s*ks?”Lavina tersenyum miris. “Aku nggak tahu, sebelum pulang ke sini, sudah berapa banyak perempuan yang berciuman dan bercinta dengan Om! Makanya Om jangan menyentuhku lagi. Aku bukan l*nte yang bisa Om pakai sesuka hati!” cecar Lavina, seolah sedang melampiaskan amarahnya yang beberapa minggu ini tertahan. Ia tidak sadar kalau ucapannya membuat Auriga seketika membeku.“Kamu salah, Lavina,” gumam Auriga dengan rahang yang mendadak berubah mengeras. “Saya nggak pernah menganggap kamu semurahan itu. Dan setelah melakukannya denganmu, saya nggak pernah menyentuh perempuan lain lagi.”“Om pikir, aku akan percaya sama ucapan player seperti Om?” Lavina mendengus dan melipat tangan di dada sambil mendongak dengan berani. “Aku nggak akan percaya sama rayuan Om lagi. Dan aku tegaskan sekali lagi, mulai sekarang jangan pernah nyentuh aku! Aku jijik kalau tahu Om bekas banyak perempuan.”Setelah mengatakan
Read more

97. Pergi Tanpa Kabar

“Sial. Sebenarnya dia ke mana?” gumam Auriga dengan nada jengkel sembari mematikan sambungan telepon pada nomor Lavina yang tidak aktif. Sudah pukul sembilan malam, tapi Lavina belum pulang ke rumah. Nomornya pun tidak aktif, membuat Auriga merasa geram dan khawatir dalam waktu bersamaan. Auriga mengembuskan napas kasar, ia mengantongi tangannya yang memegangi ponsel ke saku celana. Manik matanya tertuju pada gerbang rumah dengan serius. Entah sudah berapa lama ia berdiri di sudut balkon lantai dua ini, hanya untuk menanti Lavina pulang melewati gerbang tersebut. Namun, tak kunjung ada siapapun yang datang. “Dan aku tegaskan sekali lagi, mulai sekarang jangan pernah nyentuh aku! Aku jijik kalau tahu Om bekas banyak perempuan.” Mata Auriga terpejam kala ucapan Lavina
Read more

98. Kecewa

Lavina merasa kepulangannya ke rumah sudah tidak dibutuhkan lagi. Sudah ada Flora yang menggantikan perannya. Maka dari itu, Lavina memutuskan untuk menyibukkan diri dengan skripsinya. Jika ada waktu luang, ia akan memanfaatkannya untuk belajar bahasa Korea. Sebelumnya Lavina sempat izin kepada Bu Nitta untuk libur kursus dulu selama beberapa hari. Nanti, Lavina akan pulang ke rumah jika pikirannya sudah tenang. Sore ini, Lavina sedang menikmati semilir angin di atas rooftop gedung universitasnya. Ia menumpukan siku ke atas pagar pembatas yang terbuat dari beton dengan tinggi sebatas perut. Lalu menyeruput minumannya yang sedang ia pegang, sembari memandangi para mahasiswa yang hilir mudik di bawah sana. Lalu tiba-tiba, pandangan Lavina tertuju pada mobil putih yang baru saja terparkir di pinggir jalan dekat gerbang kampus. Dari mobil itu turun sosok pria yang sangat ia kenali. Lavina se
Read more
PREV
1
...
89101112
...
18
DMCA.com Protection Status