Mulut Lavina ternganga, matanya melongo, tapi cepat-cepat ia mengatupkan bibirnya dan menelan saliva dengan susah payah.Di hadapannya ada seorang wanita yang memakai kacamata dengan bingkai hitam, sedang menulis pada layar iPad. Rambutnya pendek sebahu, garis rahangnya tegas, penampilannya formal dengan blazer dan rok span. Kalau bicara nadanya tegas. Tatapan tajamnya membuat Lavina selalu merasa tegang. Usia wanita itu mungkin sekitar 40 tahunan.Dia benar-benar menyeramkan di mata Lavina.“Kenapa bengong? Cepat hapalkan!”Perintah tegas yang diiringi pukulan pelan di meja, membuat Lavina seketika terperanjat. Buru-buru Lavina mengangguk dan fokus pada layar iPad-nya yang menampilkan sederet tulisan hangul.“Saya nggak suka murid yang malas-malasan!”Lavina mendongak dan berkata, “Tapi saya nggak malas-malasan kok, Bu, dari tadi juga dihapal kok kosa ka—Oke! Oke! Saya diam.” Dengan sigap, Lavina kembali menunduk sambil komat-kamit menghapal kosa kata baru saat ia mendapat tatapan ki
“Waah cantik sekali bonekanya. Dari dulu Aurora memang suka banget sama boneka beruang.” Suara lembut Flora terdengar dari arah dapur.“Iya, Mom. Ini Daddy yang beliin kemarin.”Lavina tercenung. Sejak kapan mereka seakrab ibu? Bukankah ini pertemuan pertama Aurora dan Flora?Atau… mereka sempat bertemu tanpa sepengetahuan Lavina?“Oh? Mommy Lavina!” seru Aurora saat ia baru menyadari kehadiran Lavina.Anak itu berlari ke arahnya, membuat Lavina seketika tersenyum lebar. Lavina berjongkok dan menangkup pipi Aurora yang sudah berdiri di hadapannya.“Tadi Mommy ke sekolah kamu, lho. Tapi kata Bunda Agnes kamu udah dijemput.”“Hm! Tadi Mommy Flora jemput aku ke sekolah, Mom.”Lavina mengalihkan tatapannya dari wajah Aurora, ke arah Flora yang sedang berjalan mendekatinya. Kemudian menatap Aurora lagi dan berkata sambil menunjukkan bingkisan di tangannya.“Nih! Mommy Lavina beliin sayap kesukaan kamu buat makan siang!"“Buat aku?”“Hm!” Lavina mengangguk dan senyuman masih tersungging di
Lavina mengangguk. “Boleh. Bicara aja, Kak."Flora tersenyum lembut. Ia menyilangkan kaki kiri di atas kaki kanan seraya menyandarkan punggung ke sofa. “Lavina…,” panggilnya dengan serius. “Bagaimana hubunganmu dengan Auriga? Maaf, aku bukannya mau ikut campur, tapi aku rasa harus menyampaikan sesuatu yang penting tentang dia.”Kening Lavina seketika mengernyit. “Hubungan kami baik-baik saja, kok.”“Begitu, ya?”“Ngomong-ngomong, sesuatu yang penting apa?”Alih-alih menjawab, Flora malah kembali bertanya, “Apa dia suka bersikap mesra sama kamu? Atau… mungkin sesuatu yang membuat kamu selalu merasa berbunga-bunga? Bersikap manis? Atau yah semacamnya.” Flora mengedikkan bahu.Kernyitan di kening Lavina semakin dalam. Ia tidak suka dengan pertanyaan itu. “Mesra atau nggak, atau bagaimanapun hubungan kami… aku rasa itu bukan urusan orang lain, Kak. Itu privasi kami,” jawab Lavina dengan santai. “Apa aku benar?”Flora tampak tertohok, tapi kemudian ia tertawa kecil. “Kamu benar. Pertanyaan
Lavina memilih diam di kamar saat ketiga orang itu memasuki rumah. Samar-samar Lavina mendengar keramaian di lantai bawah, tapi tidak terdengar jelas apa yang sedang mereka bicarakan.Lavina tersenyum miris. Ia merasa seperti orang asing di rumah ini. Saat melihat Auriga, Flora dan Aurora keluar dari mobil itu hati Lavina terasa diremas-remas. Mereka terlihat seperti sebuah keluarga yang utuh. Sementara Lavina merasa dirinya hanya orang asing, yang bahkan kepulangan Auriga saja ia tidak tahu.Tok! Tok! Tok!Lamunan Lavina seketika buyar saat mendengar bunyi ketukan di pintu.“Lavina, kamu di dalam?”Jantung Lavina seketika berdebar-debar kala suara berat Auriga terdengar menggema di balik pintu.Jika boleh jujur, ia senang mendengar suara bariton pria itu lagi setelah hampir tiga minggu tidak berkomunikasi.Namun, di sisi lain, hati Lavina juga terasa perih atas apa yang sudah terjadi hari ini dan beberapa minggu ke belakang, tepatnya setelah ia mendengar fakta tentang Auriga dari Flo
Pria itu terdiam sejenak dengan air muka yang berubah keruh. “Apa?” gumamnya, “budak… s*ks?”Lavina tersenyum miris. “Aku nggak tahu, sebelum pulang ke sini, sudah berapa banyak perempuan yang berciuman dan bercinta dengan Om! Makanya Om jangan menyentuhku lagi. Aku bukan l*nte yang bisa Om pakai sesuka hati!” cecar Lavina, seolah sedang melampiaskan amarahnya yang beberapa minggu ini tertahan. Ia tidak sadar kalau ucapannya membuat Auriga seketika membeku.“Kamu salah, Lavina,” gumam Auriga dengan rahang yang mendadak berubah mengeras. “Saya nggak pernah menganggap kamu semurahan itu. Dan setelah melakukannya denganmu, saya nggak pernah menyentuh perempuan lain lagi.”“Om pikir, aku akan percaya sama ucapan player seperti Om?” Lavina mendengus dan melipat tangan di dada sambil mendongak dengan berani. “Aku nggak akan percaya sama rayuan Om lagi. Dan aku tegaskan sekali lagi, mulai sekarang jangan pernah nyentuh aku! Aku jijik kalau tahu Om bekas banyak perempuan.”Setelah mengatakan
“Sial. Sebenarnya dia ke mana?” gumam Auriga dengan nada jengkel sembari mematikan sambungan telepon pada nomor Lavina yang tidak aktif. Sudah pukul sembilan malam, tapi Lavina belum pulang ke rumah. Nomornya pun tidak aktif, membuat Auriga merasa geram dan khawatir dalam waktu bersamaan. Auriga mengembuskan napas kasar, ia mengantongi tangannya yang memegangi ponsel ke saku celana. Manik matanya tertuju pada gerbang rumah dengan serius. Entah sudah berapa lama ia berdiri di sudut balkon lantai dua ini, hanya untuk menanti Lavina pulang melewati gerbang tersebut. Namun, tak kunjung ada siapapun yang datang. “Dan aku tegaskan sekali lagi, mulai sekarang jangan pernah nyentuh aku! Aku jijik kalau tahu Om bekas banyak perempuan.” Mata Auriga terpejam kala ucapan Lavina
Lavina merasa kepulangannya ke rumah sudah tidak dibutuhkan lagi. Sudah ada Flora yang menggantikan perannya. Maka dari itu, Lavina memutuskan untuk menyibukkan diri dengan skripsinya. Jika ada waktu luang, ia akan memanfaatkannya untuk belajar bahasa Korea. Sebelumnya Lavina sempat izin kepada Bu Nitta untuk libur kursus dulu selama beberapa hari. Nanti, Lavina akan pulang ke rumah jika pikirannya sudah tenang. Sore ini, Lavina sedang menikmati semilir angin di atas rooftop gedung universitasnya. Ia menumpukan siku ke atas pagar pembatas yang terbuat dari beton dengan tinggi sebatas perut. Lalu menyeruput minumannya yang sedang ia pegang, sembari memandangi para mahasiswa yang hilir mudik di bawah sana. Lalu tiba-tiba, pandangan Lavina tertuju pada mobil putih yang baru saja terparkir di pinggir jalan dekat gerbang kampus. Dari mobil itu turun sosok pria yang sangat ia kenali. Lavina se
Intensitas pertemuan Lavina dan Auriga yang semakin menurun membuat komunikasi di antara mereka menjadi semakin sulit.Jika biasanya Auriga akan pulang tanpa diduga-duga dalam waktu dua minggu, kini pria itu kembali ke kebiasaan sebelumnya; pulang ke rumah setelah hampir satu bulan terbang ke berbagai destinasi di seluruh dunia.Ketika Auriga pulang, Lavina sering merasa seperti dia tidak lagi benar-benar mengenal pria itu.Mereka menjadi seperti orang asing satu sama lain. Kedua belah pihak merasa kehilangan rasa kedekatan yang dulu mereka miliki—sebelum hadirnya Flora di tengah-tengah mereka.Tak hanya Auriga, Aurora pun demikian. Anak itu semakin lengket pada Flora dan hanya menyapa Lavina sesekali.Karena merasa tidak dibutuhkan lagi di rumah itu, Lavina menjadi semakin sering menginap di indekos Karin, atau menghabiskan waktu sampai hampir tengah malam di kampus untuk menyelesaikan laporan skripsinya. Kemudian ia baru akan pulang ke rumah dua atau tiga hari kemudian, itupun hampi
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab