Lama Pak Ezar bergeming terlihat memikirkan sesuatu, hingga akhirnya menatapku dalam-dalam. Bertanya, “Ke sana bawa apa?”“Bawa niat dan diri, Pak.”Ia menggigit bibir bawah dan memejamkan mata sekilas. “Kendaraannya, Sayang. Naik apa?”“Oh, kendaraan. Bilang, dong!” Aku memanyunkan bibir. “Paling naik angkot atau kalau memungkinkan bawa motor ya pake motornya Ayah yang di garasi itu,” ucapku. “Kagak!” tegas Pak Ezar, lantas membuang napas kasar. “Aku ikut!” putusnya. Aku tak terkejut mendengar ucapannya. Sudah kuduga dia pasti akan protes. Tapi, itu benaran dia mau ikut? Bukannya tak boleh, tapi aku cuma takut dia tidak terbiasa di tempat nenek.Rumah nenek tak sebesar rumah ini, pun tak sebesar rumah Bapak dan Ibu di Sukabumi. Apalagi, rumahnya di Jakarta. Di sana suhunya lebih dingin daripada pas di Sukabumi. Belum lagi, sekitaran rumah mata hanya dimanjakan dengan pemandanga
Last Updated : 2023-11-24 Read more