“Ya nggak!”
“Kalau ulatnya gak gelitikin, kenapa geli coba? Lagian, ulat dan kamu gedean kamu. Ya kali takut sama yang sekali kamu pites dia mati.”“Emang gak gelitikin, tapi geli liatnya. Kecil-kecil gitu bikin gatal tau kalau nyentuh kulit,” ujarku mencebikkan bibir sambil mengusap-usap lengan.“Digaruk kalau gatal, Sayang. Kalau mau dibantuin, aku rido kok kalau garuk kamu.”Aku menatap nanar Mas Ezar. Seketika itu kaki ini bergerak lincah dan menendang kakinya hingga ia meringis kesakitan.Lagian omongannya makin ke sana, makin ke sini, makin ke mana-mana.Heran! Dulu dia omongannya pake filter, jernih semua. Sekarang malah buram, tapi menjurus.“Najis!”“Galak banget sih istri aku.”“Lagian kamu ngomongnya ngaco semua.”Aku melipat tangan di depan dada, sementara Mas Ezar tertawa terbahak-bahak.“Asha takut ulat,” cibirnya diikuti tawa mengejek.“Biarin, daripada takMobil melaju dengan kecepatan sedang menuju Bandara. Aku dan Mas Ezar duduk di kursi tengah, sedangkan kedua adikku yang merengek pengen ikut duduk di kursi paling belakang.Aku menyandarkan kepala di bahu Mas Ezar. Tangannya juga tak lepas menggenggam tanganku dan mengusap-usapnya lembut. "Kamu benaran gak mau ikut ke Jakarta?” tanyanya sesekali mengecup dahiku. “Udah perjalanan ke Bandara. Gak usah nanya itu lagi. Aku masih pengen di sini. Nanti kalau dapat hidayah bakal balik ke Jakarta pekan depan bareng Vina,” ucapku. Hingga sampai di bandara, ia tak melepas genggaman tangannya. Dia seperti sangat berat meninggalkanku, apalagi kamu baru berbaikan, walau belum kuakui sudah memaafkannya secara langsung.“Kalau urusanku selesai dan kamu masih di sini, aku pasti akan jemput kamu.”“Iya.”“Kalau misal aku gak jemput di sini, kamu harus telepon aku untuk jemput di bandara,” ucapnya lagi. “Jangan belok lari ke
Aku menoleh sebentar ke arah Vina, lalu melihat Bina yang tengah sibuk membidik boneka idamannya di mesin capit. Detik berikutnya, aku memilih mencari tempat yang setidaknya membuat Bina tak bisa mendengar pembicaraanku dan Vina.Dia masih terlalu dini untuk tahu masalah rumah tangga yang beratnya tak bisa didefinisikan hanya sebatas kata-kata, seperti perasaan yang lama terpendam. “Dia udah minta maaf dan jelasin semuanya waktu kemarin kami ke kampung halaman nenek aku,” ungkapku. "Dia juga banyak banget berubah tau, dari yang diam-diam saja dan kaku kalau gue gombalin, sekarang malah dia yang gombalin gue tiap ada kesempatan. Dia juga manja banget ke gue malah. Suka nyosor-nyosor pula.”“Uwah! Seriusan?” tanya Vina antusias. Sudut bibirnya mencipta seutas senyum yang sangat cantik dan manis. “Jadi penasaran kalau dosen yang konon duta galak bertransformasi jadi suami manja.”“Hahahahaha. Mohon maaf, Guys! Hanya gue yang bisa liat wajah ngeselin yang mendadak jadi menggemaskan.”Asl
Setelah Bina dan Elizha berangkat ke sekolah, Ayah menghampiriku di ruang tengah sambil membawa keripik pisang untukku. “Masih suka keripik pisang pedas, gak?” tanyanya. Aku mengangguk dengan wajah berbinar. “Suka. Ayah beli di mana?”“Mama kamu yang bikin,” jawabnya yang sukses membuat dahiku berkerut.Mama ‘kan sudah meninggal?“Mama?”Ayah menghela napas. “Tante Maya. Dia selalu berharap kamu juga bisa memanggilnya Mama, seperti Bina dan Elizha.”Aku tak merespons ucapan Ayah. Dia juga tak mendesak pun tidak memaksa. Malah membebaskan aku memanggil sesuka hati saja. “Kapan kamu rencana pulang ke Jakarta?” tanya Ayah.Aku menoleh menatapnya nanar. “Ayah ngusir Asha?”Sesaat kemudian, Ayah meletakkan jari telunjuk tepat di tengah dahiku lalu mendorong sedikit. “Bukan ngusir, Nak.”“Hanya saja, kasihan Nak Ezar kalau harus bolak balik terus Jakarta Makassar. Kalian juga masih pengan
Seketika aku terperanjat saat Mas Ezar menggoyangkan tangan ini.Aku menunduk menatapnya yang juga tengah menatapku dengan tatapan memohon di hospital bad-nya. “Kenapa bengong? Udah dimaafin belum?” Mas Ezar mengulang pertanyaannya sambil menaikkan satu alis. Bisa kulihat, tatapannya penuh pengharapan. Hingga sebuah helaan napas kuberikan sebagai respons, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.“Kenapa aku harus memaafkanmu?” tanyaku.“Karena kamu bagaikan manajemen yang efisien dalam hidupku, selalu membuat setiap tantangan terlihat seperti peluang dan setiap masalah seperti proyek yang dapat diselesaikan bersama.”“Asha Sayang, kamu tau gak? Kalau ibarat skripsi, cintaku ke kamu tuh menggunakan metode penelitian kuantitatif, hasilnya pasti.”‘Bisa aja ini cowok bikin meleleh,’ jerit batinku.Senyum ini terkulum mendengar ungkapan-ungkapannya yang bahkan lebih manis dari janji mantan. Percaya atau
‘Kenapa dia ada di sini?’‘Siapa yang beritahu kalau Mas Ezar masuk ke rumah sakit?’Aku masih membisu, sedangkan ia menatapku nyalang dari atas ke bawah. "Ezar mana? Gue mau liat keadaan dia.” Manda sedikit menggeser tubuh ini, tetapi aku juga tak mau kalah mendorongnya agar menjauh dari pintu. “Mas Ezar gak bisa diganggu, Mbak. Dia sedang istirahat,” ucapku berusaha sopan dan ramah padanya. Padahal, ingin sekali aku mengumpat dan memakinya yang terang-terangan masih berani mendatangi suami orang. Ah, singkatnya ... dia wanita tak tahu malu.Bukankah, pernyataan Mas Ezar di instagram sudah cukup menjawab kalau kami sudah menikah? Lalu, mengapa masih juga dia mengejar? Apa dia memang berniat menjadi pelakor? “Heh, gak usah sok berkuasa lu, Jalang!” bentaknya.Tangan ini mengepal keras mendengarnya menyebutku ‘jalang’. Gigiku ber-gemeletuk bersama hawa panas yang menyeruak seakan
Hadeuh! Ini cewek sebenarnya maunya apa sih? Lama-lama, bikin darting alias darah tinggi. “Gue gak peduli, Manda! Intinya gue udah bilang ke lu kalau gue udah gak cinta lu semenjak kita putus pertama kali. Selama ini gue balik ke lu karena terpaksa,” ujar Mas Ezar. “Sekarang gue gak peduli, lu mau bunuh diri atau selingkuh sama laki-laki manapun? Ke hotel bareng, ketemu di villa berdua bareng. Gue gak peduli, Manda! Gue minta ke lu berhenti ngusik hidup gue!”Paling tidak, aku melihat mata Manda kembali berkaca-kaca.“Lu gak usah nangis. Gue gak bakal iba.”‘Njir, suami gue omongannya pedas banget. Gue jadi keingat waktu gue nangis gara-gara skripsi.’Tak berselang lama, Freya datang dan terlihat kebingungan melihat kami dalam suasana yang menegangkan. Dia menatap tak suka pada Manda, lalu beralih menoleh ke arahku seolah bertanya, ‘ada apa?’. “Dek, boleh pinjam hape kamu, gak?” tanyaku pada Freya. Freya melongo, tetapi juga mengangguk. Aku tahu hati kecilnya pasti bertanya-tanya
“Selamat datang kembali ke rumah kita, Sayang,” bisik Mas Ezar begitu kami sudah berada di dalam rumah.Tangannya sedari turun dari mobil tadi tak lepas memegang erat-erat tanganku.Padahal bukan balon yang mesti dipegang erat-erat. Walaupun, sesekali aku menegur lewat bisikan cinta dan mencubit pinggangnya karena malu dilihat Ayah. Namun, dia tetap saja tak mengindahkan teguranku. “Ayah, istirahat dulu aja di kamar, ya. Pasti capek datang dari Makassar kemarin malah langsung ke rumah sakit,” ujar Mas Ezar pada Ayah. Ayah memang dari kemarin bersama kami di rumah sakit, walau Mas Ezar sudah memintanya untuk pulang ke rumah diantar supirnya Bunda, tetapi ia tidak mau. Alhasil, dia juga menginap di rumah sakit bersama kami. “Ayah kalau butuh apa-apa panggil Asha, ya,” ucapku.“Iya, Nak. Kalian juga istirahat sana. Apalagi Nak Ezar, masih harus banyak istirahat.”Begitu Ayah masuk ke kamar dekat kamarku dulu, a
Aku yang tengah sibuk menyiapkan sarapan dibuat terkejut oleh Mas Ezar yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Entah sejak kapan dia berada di sini? Padahal setahuku tadi ia sedang bersama Ayah di dekat kolam ikan. “Mas, ih. Ngapain? Nanti Ayah lihat.”Aku berusaha memindahkan tangan besarnya dari perutku, tapi sia-sia karena kekuatannya lebih besar dariku.“Ayah masih ngasih makan ikan,” bisiknya terus memepet tubuhku.“Ih, kamu tuh dari kemarin nempel terus kayak tawon di dahan kayu,” cibirku. “Minggir sana! Susah gerak tau.”Sayangnya, ia tak mengindahkan permintaanku. Malah semakin mengeratkan pelukan. Embusan napasnya yang hangat dapat kurasakan meniup leher. “Setiap kali bersamamu, rasanya seperti mencicipi hidangan yang mendapat bintang Michelin. Kamu adalah chef istimewa dalam dapur hatiku.”Aku menghentikan aktivitas, lalu memutar tubuh menghadapnya. “Chef, gombalnya nanti dulu ya
Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici
Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la
Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.
“Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk
Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede
“Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa
Sore ini, ketika pulang dari rumah sakit menjenguk Kak Kyra, aku mengajak Mas Ezar untuk ke makamnya Almarhumah Mika.Sebelumnya aku juga sudah janjian dengan Vina untuk bertemu di gerbang masuk pemakaman.Setelah bertemu Vina, kami sama-sama menyusuri makam hingga berhenti di sebuah makam yang di nisannya bertuliskan nama Ditya Diatmika binti Gilang Baskara. Aku dan Vina berjongkok secara bersamaan disusul oleh Mas Ezar dan Kak Akmal yang juga ikut berjongkok di samping kami.Sejurus kemudian, aku dan Vina bergantian menyiram air ke tanah makan, menabur bunga untuk Mika, dan bersama-sama membacakan doa untuknya. “Mika, terima kasih banyak atas semua warna yang pernah lu berikan pada hidup gue. Saat hidup gue suram, lu yang datang dan susah payah menghibur walau mulanya gue gak pernah ngerespons baik kedatangan lu di masa laluJahatnya gue, karena berpikir kalau lu sama pengkhianatnya dengan orang-orang yang gue kenal sebelumny
Aku yang penasaran dengan wujud Baby Boy Kak Ghazaar dan Kak Kyra tak bisa menunggu lama lagi untuk melongoknya. Selesai sarapan dan mandi, aku langsung mengajak Mas Ezar ke rumah sakit. Untungnya, karena dia tak banyak neko-neko. Sampai di rumah sakit, Mas Ezar langsung membuka pintu ruang rawat Kak Kyra hingga perhatian semua orang yang fokus pada Baby Boy beralih ke kami sebentar. “Assalamualaikum,” ucap kami kompak.Di ruangan sudah ada Bunda, Papa, Kak Ghazaar, ibunya Kak Kyra, juga Bu Aina yang tampaknya malah sudah bergegas untuk pulang."Waalaikumsalam,” jawab mereka kompak.“Gak jodoh banget sama ponakan ganteng dan cantik yang satu ini. Giliran mereka datang, Tante mau pulang,” ujar Bu Aina. “Kenapa buru-buru, Bu?” tanyaku. “Mau ke butik. Ada klien yang nungguin di sana.”Kuanggukkan kepala berulang kali tanda mengerti. “Ibu gak ke toko kan?” tanyaku memicing. “Kenapa emang?” tanya wanita berhijab itu menyelidik. “Soalnya Asha bolos,” ucapku jujur, sengaja memasang eks
Bunda Ola tersenyum tipis, lalu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. “Itu dia orangnya.” Ibu mertuaku itu menunjuk dua orang pria yang kegantengannya tak diragukan lagi tengah berjalan beriringan ke arah kami. “Selamat ya, Nak.” Papa menyodorkan tangan yang langsung kusambut dan mencium punggung tangannya dengan takzim. “Mau lanjut kuliah magister di UNNUS juga, gak?” tanya Papa. Aku terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nanti dipikir-pikir lagi, Pa. Kalau gak mager, boleh di-gas tanpa rem.”Aku beralih menatap Mas Ezar yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa membuka suara. Satu tangannya berada di belakang, entah apa yang disembunyikan itu? Aku berusaha mengintip, tapi pria tampanku itu bergeser seolah tak membiarkanku melihatnya.“Bawa apa, sih?” tanyaku penasaran. Seketika itu, Mas Ezar mengusap-usap kepala ini pelan dan langsung mengeluarkan benda dari balik punggungnya.