Home / Pernikahan / Bukan Aku Yang Mandul / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Bukan Aku Yang Mandul: Chapter 81 - Chapter 90

108 Chapters

81. Ujian Untuk Aisyah

“Untuk bersama Aisyah, aku tak perlu mendapatkan persetujuan dari mantan suaminya ... apalagi mantan suaminya sudah mempunyai istri yang sudah hamil,” ucap Haidar setelah menghela napas panjang mengatur emosinya. Tampaknya, berbicara baik-baik dengan Zalimar adalah hal yang sia-sia. Dokter tampan itu meraih gelas miliknya yang berisi es kopi dan menyeruputnya untuk menenangkan hati dan pikirannya. Ia tak ingin membuang banyak waktu dengan meladeni wanita di hadapannya yang kini tak ada ikatan saudara ataupun keluarga. “Sepertinya sia-sia saja aku menemui, Kak Zali,” ujar Haidar seraya merapikan ponsel dan kunci mobilnya yang ia letakkan di samping gelas minumannya. “Tujuanku menemui Kak Zali untuk meminta secara baik-baik, jangan ganggu hidupnya Aisyah!” tegasnya setelah selesai mengantongi ponsel dan kunci mobilnya. Kedua bola mata Zalimar membulat sempurna. Garis kekesalah terlihat jelas pada wajahnya. Haidar yang ia kenal sebagai anak sepupu suaminya, seorang yang berhati santun,
Read more

82. Tawaran Untuk Aisyah

Aisyah dan Haidar langsung memutar tubuhnya menghadap arah suara tadi. Tampaknya Aisyah mengenali pemilik suara bariton tadi. Dugaannya benar, ia mengenalinya.Wanita itu refleks membulatkan kedua bola matanya sembari menutup mulutnya yang sudah terlindung oleh cadar hitamnya. Tiba-tiba wajahnya berubah panik dan sedikit cemas, hingga ia langsung menundukkan wajahnya. Detak jantung Aisyah berpacu tak karuan.“Nicholas Wirawan?” ucap Haidar yang juga mengenali lelaki tersebut.Nicholas Wirawan, seorang desainer terkenal dari Indonesia yang sudah terkenal di kancah Internasional. Rancangan dan kekayaannya tak diragukan lagi. Ada perasaan cemas menyelimuti Haidar, sama seperti Aisyah saat ini.“Maafkan aku mengejutkan kalian.” Suara Shahira terdengar dari belakang tubuh Nicholas yang berdiri di depan pintu.Lelaki itu langsung memberi jalan pada pemilik rumah untuk memasuki ruangan tempat Aisyah dan Haidar berada. Sama seperti Aisyah, Haidar memilih menundukkan pandangannya, tak berani m
Read more

83. Kamu Akan Menyesal

Aisyah terdiam. Tergambar jelas pada sorot matanya, ekspresi bingung, ragu, dan senang. Ia terkejut, kesempatan untuknya bangkit terasa instan.“Tak perlu buru-buru! Kamu bisa memikirkannya dulu! Masih ada waktu hingga minggu depan,” ucap Nicholas memberi harapan.Wanita itu justru makin terdiam. Ia lantas menoleh pada Haidar, meminta pendapat lelaki itu tanpa bersuara. Haidar hanya mengangguk dan tersenyum, memberikan keputusan padanya untuk menjawab.“Tuan Nicholas benar, Aisyah. Kamu tak perlu menjawabnya sekarang ... kamu bisa memikirkan lagi tawarannya.” Shahira bersuara menyadarkan Aisyah yang makin bingung.“Tapi, bagaimana dengan Kak Shahira? Bukankah aku sudah menandatangani kontrak dengan Kak Shahira hingga satu tahun?” tanya Aisyah menyuarakan rasa ragunya.Shahira tertawa kecil seraya menutup mulutnya. Wajah cantiknya makin terlihat anggun, walaupun artis cantik itu sudah berusia hampir 40 tahun. Sementara Aisyah hanya bisa menggigit bibir bawahnya di balik cadar, bingung
Read more

84. Aisyah Harus Bangga

Aisyah refleks menaikkan pandangannya. Tatapan lelaki itu tajam dan sedikit menusuk. “Kamu akan menyesal!”Kedua bola mata Aisyah langsung membulat sempurna. Mulutnya di balik cadar terbuka lebar. Suasana dalam ruangan itu mendadak tegang dan memanas.Namun, detik ketiga Nicholas tertawa ringan. Aisyah dan Haidar saling bertukar pandang cemas dan takut. Shahira yang memasang tegang langsung mengerutkan dahinya. Artis cantik menatap heran pada Nicholas hingga lelaki itu menghentikan tawanya. Nicholas lantas melebarkan senyumannya. Tatapan matanya yang semula tajam kini berubah teduh.“Saya salut dengan kejujuran dan keberanianmu, Mbak Aisyah. Biasanya seorang pemula, jika mendapatkan tawaran seperti tadi dia tak akan berpikir panjang dan langsung menerimanya,” jelas Nicholas diakhiri hembusan napas yang panjang. Lelaki itu belum selesai dengan penjelasannya.“Kamu begitu banyak perhitungan, tetapi terarah ... mungkin itulah sebabnya, hasil rancanganmu menjadi sempurna. Kamu mempertimb
Read more

85. Pertolongan Pertama

“Waalaikum salam. Dokter Haidar bisa ke rumahku sekarang!”Suara Wahid terdengar menahan takut dari balik telepon. “Aku tidak tahu harus menghubungi siapa ... bisakah Dokter Haidar ke rumahku secepatnya sekarang. Ada keadaan darurat,” ucapnya dengan nada tergesa-gesa.“Coba tenang, Pak Wahid! Ceritakan apa yang terjadi!” titah Haidar menenangkan.“Abiku, Dokter Haidar, tiba-tiba dia tak sadarkan diri dan sampai sekarang tidak mau bangun ... aku takut dia terkena serangan jantung dan tak bisa selamat.” Wahid terisak dari balik telepon.“Sudah menghubungi ambulans?” tanya Haidar langsung dan hanya terdengar isak tangis panik dari balik telepon. “Kirimkan alamat Pak Wahid, aku akan ke sana segera!” pungkasnya seraya menutup sambungan teleponnya.Wajah Haidar yang semula cemas saat hendak menjawab panggilan dari Wahid, kini berubah panik. Terdengar jelas suara di balik telepon itu menunggu pertolongannya. Walaupun dirinya sedang dalam keadaan lelah, tetapi Haidar selalu sigap jika ada yan
Read more

86. Harapan Wahid

“Apa itu tidak akan menyakitinya, Dokter?” tanya Rahma ragu menatap benda di tangan Haidar yang berguna untuk membuka mulut pasiennya.Haidar tersenyum sebentar, mencoba memahami keraguan wanita paruh baya itu. “Insyaallah tidak, Bu. Benda ini hanya berguna memberi jalan selang yang akan saya masukkan ke dalam tubuhnya yang akan berfungsi sebagai ventilasi agar napasnya tidak tersumbat,” jelasnya.“Umi, percayakan saja semuanya pada Dokter Haidar! Jangan ganggu pekerjaannya, yang penting abi selamat!” tegur Wahid tak tenang.Tentu saja, ia harus menghalangi Zalimar yang terus berontak. Wajah Rahma masih terlihat cemas. Namun, ucapan anak lelakinya adalah benar.“Baiklah, Dokter, aku percaya padamu,” ucap Rahma seraya mengumpulkan keberaniannya.Dokter tampan itu mengangguk yakin. Ia langsung meraih rahangnya Ibrahim yang masih tak sadarkan diri dan memasukan benda tersebut dengan hati-hati dan penuh perhitungan. Rahma hanya bisa bergidik ngeri dan takut.Ucapan Haidar benar, walaupun
Read more

87. Kejujuran Haidar

“Aku tidak bisa memastikan Aisyah akan bahagia jika bersamaku, Pak Wahid. Namun, aku bisa memastikan untuk tak menyakitinya,” ucap Haidar yakin.Terdengar hembusan napas panjang nan lega dari lelaki di sebelahnya. Haidar melirik sebentar pada Wahid, lelaki itu tersenyum lebar. Wajah cemasnya karena mengkhawatirkan abinya kini terlihat lega setelah mendengar jawaban Haidar.“Jujur saja, aku masih merasa bersalah pada Aisyah, tetapi aku yakin dia adalah wanita yang berhati luas. Memberinya ketenangan dan tak mengganggunya adalah cara terbaik untuk meminta maaf padanya,” gumam Wahid santai seraya mengukir senyuman tipis. Ia lalu menoleh pada Haidar yang masih fokus dengan kemudi mobil. “Benarkan, Dokter Haidar?” tanyanya.Hampir saja Haidar tersentak. Namun, ia segera menoleh sebentar untuk membalas senyumannya Wahid. “Terima kasih sudah jujur, Pak Wahid,” ujarnya setelah kembali fokus pada laju kendaraannya.“Bukan hanya Aisyah yang berhati besar, tetapi Pak Wahid juga,” imbuh Haidar sa
Read more

88. Semakin Baik

Ditemani oleh kedua orang tuanya, Aisyah melaporkan tindakan Zalimar. Ia tak ingin selalu merepotkan Haidar. Lelaki itu harus fokus dengan pekerjaannya.Tak membutuhkan waktu lama, laporan Aisyah langsung ditindak lanjuti. Semua bukti yang sudah disiapkan sangat membantu. Aisyah hanya diminta memberikan keterangan detail sejak pertama kali ia menerima teror, ancaman serta hinaan dari Zalimar.Aisyah tak peduli, bagaimana tanggapan keluarga mantan suaminya itu. Wanita itu hanya ingin hidup tenang dan fokus pada pekerjaannya. Mengerjakan rancangan untuk Shahira sesuai kontrak kerjanya.“Baik, Bu Aisyah, laporan sudah kami terima dan kami akan segera memproses kasusnya,” ucap si polisi yang menerima laporan Aisyah. “Kasus seperti jika mengganggu, sebaiknya jangan disepelekan, karena bisa berimbas pada kesehatan mental dan aktivitas kita ke depannya,” sambung si polisi.“Terima kasih banyak, Pak” sahut Aisyah lega. Wanita cantik itu tersenyum dari balik cadarnya. Setelah mendapatkan arah
Read more

89. Haidar Harus Berani

Wajah Haidar langsung merah merona. Ucapan Aisyah langsung membuat jiwanya terasa melayang. Ia tak bisa berhenti tersenyum.Namun, suara ketukan ruangan kerjanya langsung membawanya jiwanya kembali pada tubuhnya. Dokter tampan itu menatap jam dinding yang berada di ruangannya, bukankah masih jam istirahat pikirnya. Mungkinkah ada pasien baru dan darurat?“Terima kasih, Aisyah, aku akan menagih janjimu nanti,” sahut Haidar sebelum mengakhiri panggilannya dengan wanitanya. “Sepertinya ada pasien, aku tutup dulu teleponnya,” ujarnya.Setelah mendapatkan jawaban dan salam penutup dari Aisyah, ia pun sudah menjawabnya, panggilan berakhir. Haidar berteriak kecil memberi perintah pada seseorang yang mengetuk pintunya untuk segera masuk. Kedua bola mata dokter tampan itu langsung membulat sempurna saat pintu terbuka, bukan Erni, asistennya.“Rania?” seru Haidar disusul senyumannya yang lebar.Kedua bola mata dokter tampan itu kini berbinar. Seolah ada rindu yang terlintas di wajahnya. Seorang
Read more

90. Keputusan Haikal

“Nak Haidar, jangan berkata seperti itu! Kami sama sekali tak menyalahkan kamu, Nak,” ucap Maudy seraya berpindah duduk di sofa samping dokter tampan itu. Ia bahkan menggenggam kedua tangan Haidar dengan lembut.“Kami sudah ikhlas dengan kepergian Hana, Haidar. Tolong jangan menyalahkan diri sendiri! Kami justru merasa malu karena kamu menghadapi semua rasa sakit kehilangan Hana seorang diri, kamu merawat Haikal seorang diri ... seharusnya kami membantu merawatnya sebagai pengganti Hana. Kamu pasti kerepotan merawatnya seorang diri,” sahut Malik mendukung ucapan istrinya.Air mata Haidar menetes tak bisa ditahan. Namun, ia segera menghapusnya cepat. Tak ingin menunjukkan rasa sedihnya pada kedua orang tua Hana. “Terima kasih, Ma, Pa, tapi aku sama sekali tidak kerepotan. Justru aku menikmati perkembangan Haikal ... dia bisa menjadi pengobat rinduku pada Hana, dan penyemangat hidupku,” ungkap Haidar seraya memaksakan senyuman tulusnya.Haidar lantas menggenggam balik kedua tangan mant
Read more
PREV
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status