Semua Bab Bukan Aku Yang Mandul: Bab 71 - Bab 80

108 Bab

71. Menenangkan Aisyah

“Nisa, kenapa bisa jadi begini? Kamu bilang yang bertanggung jawab atas Toni? Kenapa dia jadi anak nakal, bagaimana kalau orang-orang tahu jika anak seorang kepala sekolah mencelakai seorang dokter yang merupakan anak didiknya dulu?” Pak Rudi mencecar Nisa, kakaknya Toni yang bertanggung jawab atas anak tersebut.“Maafkan aku, Ayah. Aku juga nggak nyangka kalau Toni akan berbuat senekat ini,” sahut Nisa tak terima disalahkan.Pak Rudi yang kini sudah berusia hampir 60 tahun terlihat menahan amarahnya. Rambut hitamnya yang sudah berbaur dengan rambut putih, tetapi memberi kesan wibawa. Ia lantas mengatur napasnya mencoba untuk tenang. Anak lelakinya masih belum sadarkan diri di atas ranjang rawat.“Apa kamu sudah mencari tahu kenapa anak itu senekat itu?” tanya pak Rudi setelah emosinya sedikit reda. “Haidar adalah anak yang baik sejak masih sekolah, ayah tahu betul dia tak akan berani mengancam seseorang jika orang tersebut tidak salah,” ujarnya seraya memijat kepala bagian depannya.
Baca selengkapnya

72. Aisyah dan Haikal

“Kamu percaya ‘kan padaku?” tanya Haidar lembut.Aisyah hanya berdeham pelan. Masih ada sedikit ragu dalam dirinya, tetapi ia tak ingin tenggelam dalam rasa bersalah.“Baiklah, aku percaya. Tapi jika Toni bertingkah lagi, biarkan aku terlibat dan memberinya peringatan,” jawab Aisyah mencoba tenang.“Tentu saja,” sahut Haidar lega dari balik telepon. “Apa Haikal menyusahkanmu?” tanyanya.“Tidak, dia begitu penurut. Bahkan dia menyukai masakanku,” sahut Aisyah diakhiri senyuman leganya.Terdengar suara dehaman lega dari balik telepon. Aisyah yakin Haidar pasti tenang mendengar Haikal tak mengkhawatirkan dirinya. “Ya sudah, sebaiknya kamu istirahat saja! Jangan cemaskan Haikal! Aku akan menjaganya selama tiga hari hingga kamu pulih,” ucapnya.“Terima kasih, Aisyah. Kamu juga beristirahat, ya!” sahut Haidar lembut.Aisyah berdeham pelan, lalu mengucapkan salam pamit. Setelah Haidar menjawab salamnya, ia pun langsung memutuskan sambungan teleponnya. Wanita itu lantas bangkit dari duduknya
Baca selengkapnya

73. Perjuangan Aisyah

Suara adzan Subuh langsung membangunkan Aisyah yang tertidur di samping Haikal. Pelan-pelan ia menurunkan tangan anak kecil itu dari pinggangnya agar tak membangunkan Haikal. Wajah anak kecil itu beringsut sebentar menyadari posisi tubuhnya sedikit berubah, karena Aisyah menggeser tubuhnya.Setelah yakin Haikal kembali pulas, barulah Aisyah menuruni ranjang dan segera ke kamar mandi untuk membilas tubuhnya sebelum menghadap pada Rabb-nya di hadapan sajadah. Ya, wanita itu harus menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim sebelum melanjutkan aktivitasnya di rumah itu. Tak terlalu sulitnya untuknya menyesuaikan diri di rumah Haidar. Rumah besar itu memiliki ruangan khusus untuk shalat, sehingga Aisyah tak kesulitan mencari arah kiblatnya. Wajah cantiknya tampak khusyu sejak awal takbir hingga salam. Tak lupa ia memanjatkan doa pada Sang Maha Pemilik hidup.Nama Haidar dan Haikal selalu hadir dalam doanya. Mereka memiliki peran penting menjaga wajahnya selalu mengukir senyuman. Tent
Baca selengkapnya

74. Hukuman

“Atau kamu bisa meminta pak Rudi menemui kyai Reza, abinya Nurul untuk menemui seorang korban!” Ucapan Aisyah dari balik telepon langsung membuat Haidar sedikit tersentak. Ia masih berada di atas ranjang rawat ditemani pak Rudi yang menunggui keputusan dirinya perihal tuntutan untuk Toni. Lelaki yang dulu menjadi gurunya menatapnya cemas, menyadari ekspresi Haidar terkejut dan manahan cemas.“Bisa kamu jelaskan maksudnya!” pinta Haidar mencoba tenang.“Sepertinya Nurul mencoba memperkeruh suasa. Dia menghubungiku dan memberikan beberapa bukti tentang semua kejahatan Toni, tapi aku yakin sekali kalau dia juga terlibat. Bukti sudah berada di tanganku ... aku sudah mengirimkannya padamu melalui surel, periksa saja!” Haidar langsung mengakhiri panggilan telepon Aisyah setelah menjawab salam penutup darinya. Ia lantas memeriksa pesan masuk pada surel dari ponselnya. Haidar tak memperdulikan pak Rudi yang masih menunggu dirinya.Informasi dari Aisyah tampaknya lebih penting. Sama seperti
Baca selengkapnya

75. Haidar Pulang

Kyai Reza bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia meminta Wahid untuk menggantikan dirinya memimpin pondok pesantren yang selama ini dibangunnya sebagai permintaan maafnya karena Nurul sudah menyulitkan hidupnya. Kyai Reza pun memberikan saran pada lelaki itu untuk menceraikan putrinya. Sungguh, ia tak sanggup menahan malu. Kyai Reza pun merasa bersalah pada Aisyah karena perbuatan putrinya, wanita itu harus menanggung akibatnya. Ia akan membawa Nurul menemui keluarga korban bersama dengan pak Rudi dan Toni, sebagai bentuk tanggung jawab mereka.“Aku akan ikut, Pak Kyai. Bagaimana pun juga sekarang Nurul sudah menjadi istriku dan akulah yang bertanggung jawabnya saat ini,” ucap Wahid membuat kyai Reza terkejut. “Walaupun itu adalah kesalahan Nurul di masa sebelumnya, tetapi saat ini aku adalah suaminya,” ujarnya.Kemudian Wahid meraih tangan kyai Reza, hingga lelaki paruh baya itu menatap menantunya heran. “Aku pernah melakukan kesalahan yang sangat fatal, menyia-nyiakan seorang istr
Baca selengkapnya

76. Hasil Akhir

Aisyah hampir tersentak menyadari wajah Haikal berubah murung. Ia lantas mendekatkan wajahnya dengan anak kecil menggemaskan itu. Wanita itu tersenyum di balik cadarnya, tetapi tatapan lembutnya menggambarkan kehangatan.“Bunda seneng banget Ayah sudah pulang, tapi bunda ‘kan harus kerja kaya Ayah ... lagi pula Ayah baru pulang, jadi butuh waktu untuk istirahat dan ada Oma Reva di sini,” jelas Aisyah lembut.Sayangnya penjelasan Aisyah tak membantu anak kecil itu untuk sedikit lebih ceria. Haidar lantas memutar tubuh putranya menghadap dirinya yang tengah duduk di atas sofa. Tangan lembutnya Haidar membelai lembut wajah putranya.“Sayang, Bunda ‘kan sudah nemenin kamu selama tiga hari buat gantiin ayah. Kerjaan Bunda numpuk, jadi Bunda harus segera ngerjain biar cepat selesai ... nanti kalau kerjaan Bunda sudah selesai, pasti ke sini lagi buat nemenin Haikal dan ayah.” Haidar menasehatinya dengan lembut dan hangat.Haikal sedikit bergeming. Ia lantas menatap Revalina, seolah meminta p
Baca selengkapnya

77. Pengakuan Wahid

“Kapan Haikal liatnya?” tanya Haidar dengan kedua bola mata yang langsung membulat sempurna.Haikal terdiam sebentar. Ia memandangi wajah ayahnya tak hanya menahan rasa penasaran saja, tetapi menahan rasa amarah. Anak kecil itu pun refleks menundukkan wajahnya, mengira ayahnya marah padanya.“Maafkan aku, Ayah. Aku tidak bermaksud tak sopan pada bunda,” ucap Haikal penuh sesal.Tentu saja Haidar terkejut dengan respon anak lelakinya. Ia lantas meraih kedua pundak putranya, lalu berpindah meraih dagu mungilnya Haikal. Dokter tampan itu mensejajarkan pandangannya dengan putranya lalu tersenyun tipis.“Ayah maafkan, Haikal tidak sengaja melihat pesan pada ponselnya bunda. Nanti ayah sampaikan maaf pada bunda biar Haikal tak kena marah,” ucap Haidar lembut, mencoba memahami isi pikiran anaknya.“Ayah janji?” Haikal bertanya dengan tatapan antusias.Haidar langsung mengangguk diikuti senyuman meyakinkan. Anak lelakinya lantas menunjukkan jari kelingkingnya, isyarat tautan janji yang harus
Baca selengkapnya

78. Ketulusan Wahid

Di hari setelah Haidar kecelakaan, rumah sakit tempat dia bekerja seolah ikut berkabung. Pasien-pasien dokter tampan tersebut ikut merasakan kesakitan yang dideritanya. Bahkan pasien rawat jalannya banyak yang memilih melakukan jadwal kunjungan ulang, menunggu kesembuhan dokter mereka.Tak hanya tampan dan sopan, tetapi Haidar terkenal sebagai dokter yang sangat pengertian pada pasiennya. Tentu saja hal tersebut membawa dampak kerugian bagi rumah sakit. Rumah sakit tersebut menjadi terkenal karena kehadiran dokternya yang tampan dan ramah.Pengobatan terbaik harus dilakukan demi dokter tampan tersebut. Hingga kabar kecelakaan dokter Haidar sampai pada Nurul, Zalimar dan Wahid. Tentu saja, Nurul adalah pasiennya saat ini.Sontak saja, mereka pun mencari informasi tentang kecelakaan yang dialami dokter Haidar. Walaupun diberikan dokter pengganti untuk Nurul, tetapi Wahid lebih penasaran dengan keadaan Haidar dibandingkan istrinya. Mungkin karena lelaki itu sudah hampir mati rasa karena
Baca selengkapnya

79. Percakapan Berat

“Ayah!” panggil Haikal dan langsung membuat lamunan ayahnya tersadar.Haidar melebarkan senyumannya. Ia menatap hangat anak lelakinya. Tergambar jelas rasa ingin tahu Haikal yang begitu dalam.“Nama Zalimar itu banyak, nanti ayah tanyakan siapa orang tersebut dan kenapa orang tersebut berkata tidak sopan pada bunda,” ucap Haidar sedikit berbohong untuk menenangkan putranya. “Haikal tak perlu cemas, ya! Bunda itu sudah dewasa, pasti bunda bisa menyelesaikan masalahnya,” imbuhnya diakhiri senyuman meyakinkan.“Okeh, Ayah,” sahut Haikal membalas senyuman ayahnya.“Sini, tidur lagi di pelukan ayah!” ajak Haidar seraya membawa tubuh anaknya kembali dalam pelukannya.Bukan
Baca selengkapnya

80. Gerakan Haidar

“Aku percaya padamu, Haidar.” Suara Aisyah terdengar menenangkan. “Hanya saja aku takut kamu akan sakit hati,” sambungnya dengan nada melemah.“Kamu pasti tak akan tega jika mendengar aku dihina,” imbuh Aisyah makin berat.“Tapi, kamu sudah janji untuk menceritakan semuanya padaku, Aisyah. Aku merasa lebih berguna jika kamu mau menceritakan semuanya padaku,” sahut Haidar langsung. “Aku sadar, kita memang tak lagi muda untuk saling mengungkapkan semua isi hati kita. Tapi, aku merasa sangat senang jika aku tahu masalah yang kamu hadapi dari bibirmu langsung,” tandasnya tegas.Hening. Tak terdengar suara Aisyah dari balik telepon. Haidar yakin, wanita itu tengah merenungkan ucapannya.“Aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku selalu ada untukmu, Aisyah,” ungkap Haidar dengan suara meyakinkan. Haidar lantas menghela napas panjang. Indera penglihatannya menangkap tubuh anaknya yang sedikit beringsut dari posisi tidur nyamannya. Tampaknya, Haikal hendak terbangun.“Pelan-pelan saja, Asiyah! Ak
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status