Home / Pernikahan / Bukan Aku Yang Mandul / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Bukan Aku Yang Mandul: Chapter 11 - Chapter 20

108 Chapters

11. Pulang Sekarang!

Aisyah tak punya pilihan selain menuruti tawaran Haidar. Ia tak ingin membuat keributan karena dokter tampan itu enggan bergerak, padahal mobil di belakangnya terus membunyikan klakson isyarat untuk maju dan keluar dari rumah sakit. Haidar tersenyum puas dan lega.“Gitu, dong!” ucap Haidar setelah memastikan Aisyah memasang sabuk pengaman pada tubuhnya.“Kamu tuh nggak berubah ya, Dar, suka maksa!” protes Aisyah setelah Haidar melajukan mobilnya.Sayangnya dokter tampan itu hanya tertawa kecil. Sungguh, ia tiba-tiba rindu dengan raut wajah sahabatnya saat merajuk ketus seperti saat ini. “Kamu itu kalau nggak dipaksa, nggak akan jalan. Padahal aku nawarin kebaikan, loh,” cicitnya.“Iya, makasih, tapi bukannya kamu sedang buru-buru?” tanya Aisyah mencoba untuk tak canggung.Haidar menoleh sebentar, kemudian ia kembali fokus pada laju mobilnya. Tiba-tiba, ia teringat akan kejadian di ruang kerjanya. Aisyah langsung berpamitan tanpa menunggu persetujuannya saat ia menerima telepon.Benar,
Read more

12. Tuduhan Tak Mendasar

“Tapi, Umi—“ ucapan Aisyah terpotong seiring sambungan teleponnya yang terputus sebelah oleh Rahma.Aisyah menghela napas berat nan panjang. Ia tahu hal tersebut menandakan mertuanya marah besar. Namun, apa yang bisa dilakukan Aisyah saat ini?Sejujurnya, ia bisa saja mengabaikan kemarahan Rahma, bukankah suaminya sudah memberinya izin. Aisyah tak perlu mengabdi pada mertua, ‘kan? Tak ada kewajiban, apalagi Wahid sangat mengerti keadaannya dan tak pernah menuntut dirinya untuk memenuhi semua perintah Rahma.Akan tetapi, nalurinya sebagai istri merasa dirinya perlu membantu dan menggantikan tugas suaminya yang tetap mengabdi pada ibu mertuanya. Walaupun semua pengorbanannya tak pernah terlihat di mata Rahma. Ia masih berharap suatu hari Rahma bisa melihat ketulusannya sebagai seorang menantu yang mengabdi pada mertuanya.Sesak sekali rasanya dada Aisyah, hingga tak terasa air matanya menetes. Namun, suara dehaman kecil Haidar langsung menyadarkannya. Hampir saja Aisyah lupa di mana ia
Read more

13. Perangkap

“Umi, tolong jangan keterlaluan!” tergur Wahid hati-hati.“Maafkan Ais, Umi, jika kepergian Ais membuat Umi berpikir seperti itu,” ucap Aisyah pasrah.Wahid langsung menoleh pada istrinya yang menunduk pilu. Ia dapat melihat sorot mata Aisyah menahan sakit. Percuma saja membela diri, toh mertuanya akan semakin berprasangka buruk lebih lagi, jika ia terus menyanggah. Itulah yang ada dalam pikiran Aisyah.“Dek!” Wahid memanggilnya lirih, tetapi istrinya tak menoleh. Aisyah menegapkan wajahnya menghadap mertuanya yang masih memberikan tatapan penuh murka padanya. “Ais akan menyimpan tas dulu ke kamar, lalu akan langsung masak. Ais akan usahakan Isya sudah tersaji di meja makan,” terangnya.
Read more

14. Terkejut

“Benarkah? Mas Wahid mau menerimaku sebagai seorang istri?”Kedua bola mata Nurul berbinar. Senyumannya mengembang sempurna menatap wajah gagahnya Wahid. Lelaki di hadapannya menurunkan tubuhnya lalu merah kedua lengannya. Wahid membawa tubuh wanita itu bangkit berdiri.“Maafkan aku, jika aku mengabaikanmu,” ucap Wahid lembut seraya menghapus air mata Nurul.“Aku bisa mengerti, Mas. Kamu pasti terkejut dan marah padaku,” sahut Nurul diakhiri senyuman lebarnya.Tanpa izin wanita itu memeluk Wahid yang kini sudah menjadi suaminya. Lelaki itu tampak tersentak, tetapi ia tak melawan. Tangannya menggantung tak berani bergerak atau mengusap kepalanya, seperti yang biasa ia lakukan saat Aisyah memeluknya mesra.
Read more

15. Periksa Kandungan

“Aku dapat rekomendasi dokter kandungan yang bagus, namanya dokter Haidar.”Ucapan Zalimar langsung membuat tenggorokan Aisyah terasa tercekat. Makanan yang tadinya dipaksa masuk melewati tenggorokannya terasa tertahan dan hampir membuatnya tersedak. Aisyah refleks terbatuk dengan suara keras.Sontak semua mata di ruang makan tertuju padanya, tetapi dengan tatapan sinis. Tangan Aisyah langsung menggapai gelas minumnya dan meneguknya hingga tandas. Sayangnya tenggorokannya masih terasa tercekik dan ia terus terbatuk.Wahid segera bangkit dari duduknya dan langsung menghampiri istrinya. Tampaknya hanya lelaki itu yang mencemaskan Aisyah. Wahid menepuk pundak istrinya beberapa kali, mencoba meringankan rasa tersedaknya.“Hati-hati, Dek!” ucap Wahid lembut dan terus menepuk pundak istrinya.“Makan buru-buru banget sih, makanya tersedak,” celetuk Rahma sinis.“Kualat tuh kayaknya!” timpal Zalimar makin menunjukkan tak sukanya.Sementara Nurul hanya bisa diam m
Read more

16. Wahid Melangkah Maju

“Mari, Bu, saya bantu tiduran di ranjang untuk langsung di USG!” Suara Erni, asisten perawatnya Haidar membuyarkan renungannya. Cepat-cepat ia mengalihkan fokusnya pada map di hadapannya yang melampirkan identitas pasiennya. Haidar membaca teliti nama suami dari pasiennya.Saat pernikahan Aisyah dulu, ia memang tak hadir padahal Haidar menerima undangan pernikahannya. Mungkin karena itulah Aisyah mengira dokter tampan itu tak akan mengenali suaminya. Akan tetapi, saat itu Haidar menerima foto-foto pernikahan wanita itu. Tentu saja ia mengenali Wahid dan juga Rahma. Tak banyak yang berubah dari wajah mereka berdua. Haidar terlihat menghela napas panjang, ia diserang banyak tanya dalam pikirannya tentang sahabatnya. Haidar yakin sekali pemeriksaan kemarin, tak ada yang mengkhawatirkan tentang kesehatan rahim Aisyah. Bahkan ia menebak, suaminya lah yang bermasalah. Akan tetapi, hari ini Wahid datang bersama wanita hamil dan tertulis dalam kertas pasiennya bahwa lelaki itu adalah suami
Read more

17. Mencurigakan

“Tumpah di luar atau sudah masuk langsung keluar lagi?” Haidar mencoba memastikan.“Selalu tumpah di luar, bahkan sebelum saya melihat seperti apa isi dari istri, akan selalu keluar lebih dulu tanpa bisa saya tahan,” jawab Wahid seraya menundukkan wajahnya. “Saya sudah mengikuti beberapa saran untuk menjaga kualitas stamina saya, tetapi tak ada hasilnya. Saya juga tidak merokok dan rutin olah raga pagi.”Haidar menghela napas panjang dan berat. “Kapan Bapak menyadarinya?” tanyanya hati-hati.“Sebenarnya sejak saya masih remaja. Saya pikir bertambahnya usia akan membaik, tetapi tetap sama sampai sekarang.” Suara Wahid makin pelan.“Maafkan saya, Pak. Tapi, saya perlu kejujuran pasien agar bisa memberi diagnosa yang tepat,” terang Haidar makin hati-hati. “Bapak tak perlu sungkan! Atau Bapak bisa anggap saya sebagai seorang teman jadi bisa lebih rileks dalam sesi konsultasi ini!” sarannya.Wahid menaikkan wajahnya. Ia memberikan senyuman memaksa, lalu mengangguk ber
Read more

18. Gosip Yang Akurat

“Jangan ganggu hidupku, bisa nggak sih! Aku nggak mau terlibat masalah lebih jauh denganmu!” desis Nurul menahan kesal dengan suara yang sangat pelan.Wanita itu berbicara dengan seseorang di balik telepon dalam ruang tamu yang gelap. Sesekali Nurul memutar tubuhnya menghadap ruangan dalam, berjaga-jaga jika ada seseorang yang muncul atau memergokinya. Ya, wanita itu sedang sembunyi-sembunyi berbicara dengan telepon.“Kita sudah tidak punya hubungan apa pun dan aku sudah menikah!” tegas Nurul lagi. Tetap dengan suara seperti tadi, pelan dan menahan kesal.“Nurul, aku sangat merindukanmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu! Aku tahu kamu sudah menikah, tetapi aku begitu mencintaimu ... aku mohon temui aku sekali saja! Setelah itu aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku janji!” ucap suara di balik telepon dengan nada memelas. Suara seorang lelaki dengan nada berat.Wanita itu tampak berpikir seraya berkacak pinggang. Ia kembali menatap ke arah belakang dengan tatapan waspada.
Read more

19. Hati Yang Terbakar

“Si—siapa? Aisyah, suaminya ustaz Wahid dan madunya Nurul?” Haidar terkejut. Ia mencoba mengulangi ucapan si ibu tadi. Haidar perlu memastikan apa yang ditangkap indera pendengarannya.“Heueh, Dokter Tampan kayaknya kenal? Wajahnya tampak terkejut gitu,” selidik ibu itu.Para ibu-ibu yang lainnya pun saling mengangguk setuju. Haidar terlihat jelas menunjukkan wajah terkejutnya. Ia tahu ini bukanlah hal baik. Mereka pasti akan mencecarnya dan menahannya lebih lama.“Bukan begitu, Bu. Saya hanya terkejut saja sama nama-nama mereka. Itu ‘kan artinya bagus-bagus semua, apalagi namanya yang anak kyai itu. Rasanya nggak percaya kalau dia berani hamil di luar nikah, bukannya itu merusak nama baik pondok pesantren pak kyainya?” ucap Haidar pura-pura menyatu dengan mereka.Ibu-ibu itu saling menyahut, “ooh ....”Haidar pantas untuk lega. Tak ada lagi tatapan curiga dari mereka semua. “Astaghfirullah, maaf Bu, saya harus segera pergi. Ada jadwal operasi pagi,” ucapnya sopan.Serentak para ibu-
Read more

20. Nurul Tertangkap Basah

Nurul berhasil meyakinkan Wahid dan mertuanya. Tentu saja Aisyah tak keberatan. Ia terlalu penasaran akan kebusukan madunya.“Kamu kalau lelah istirahat saja di pos dekat parkiran, tukang parkir dan pedagang gorengan itu kenal baik dengan aku. Jadi, mereka pasti akan menjagamu kalau aku menitipkan kamu di sana,” saran Aisyah saat mereka baru saja turun dari motor.Wajah Nurul sedikit terkejut. Aisyah yakin madunya tengah mencari keberadaan orang yang akan ditemuinya. Terlihat wajah Nurul sedari tadi gelisah sejak keluar dari rumah menuju pasar. Aisyah dapat melihatnya dari kaca spion motor.Bahkan sesekali wanita hamil itu memeriksa ponselnya yang selalu dalam genggamannya. Beberapa kali pula Nurul terlihat memainkan ponselnya, mungkin berbalas pesan. Bertanya di mana tempat mereka bertemu.“Ponselnya simpan saja, Nurul! Rawan copet kalau di pasar,” ucap Aisyah memberi nasehat. “Mari ke pos itu, biar aku titipkan kamu sama bu Ina, pedagang gorengan itu, mungpung belum rame,” ajaknya.“
Read more
PREV
123456
...
11
DMCA.com Protection Status