“Umi, tolong jangan keterlaluan!” tergur Wahid hati-hati.“Maafkan Ais, Umi, jika kepergian Ais membuat Umi berpikir seperti itu,” ucap Aisyah pasrah.Wahid langsung menoleh pada istrinya yang menunduk pilu. Ia dapat melihat sorot mata Aisyah menahan sakit. Percuma saja membela diri, toh mertuanya akan semakin berprasangka buruk lebih lagi, jika ia terus menyanggah. Itulah yang ada dalam pikiran Aisyah.“Dek!” Wahid memanggilnya lirih, tetapi istrinya tak menoleh.Aisyah menegapkan wajahnya menghadap mertuanya yang masih memberikan tatapan penuh murka padanya. “Ais akan menyimpan tas dulu ke kamar, lalu akan langsung masak. Ais akan usahakan Isya sudah tersaji di meja makan,” terangnya.
“Benarkah? Mas Wahid mau menerimaku sebagai seorang istri?”Kedua bola mata Nurul berbinar. Senyumannya mengembang sempurna menatap wajah gagahnya Wahid. Lelaki di hadapannya menurunkan tubuhnya lalu merah kedua lengannya. Wahid membawa tubuh wanita itu bangkit berdiri.“Maafkan aku, jika aku mengabaikanmu,” ucap Wahid lembut seraya menghapus air mata Nurul.“Aku bisa mengerti, Mas. Kamu pasti terkejut dan marah padaku,” sahut Nurul diakhiri senyuman lebarnya.Tanpa izin wanita itu memeluk Wahid yang kini sudah menjadi suaminya. Lelaki itu tampak tersentak, tetapi ia tak melawan. Tangannya menggantung tak berani bergerak atau mengusap kepalanya, seperti yang biasa ia lakukan saat Aisyah memeluknya mesra.
“Aku dapat rekomendasi dokter kandungan yang bagus, namanya dokter Haidar.”Ucapan Zalimar langsung membuat tenggorokan Aisyah terasa tercekat. Makanan yang tadinya dipaksa masuk melewati tenggorokannya terasa tertahan dan hampir membuatnya tersedak. Aisyah refleks terbatuk dengan suara keras.Sontak semua mata di ruang makan tertuju padanya, tetapi dengan tatapan sinis. Tangan Aisyah langsung menggapai gelas minumnya dan meneguknya hingga tandas. Sayangnya tenggorokannya masih terasa tercekik dan ia terus terbatuk.Wahid segera bangkit dari duduknya dan langsung menghampiri istrinya. Tampaknya hanya lelaki itu yang mencemaskan Aisyah. Wahid menepuk pundak istrinya beberapa kali, mencoba meringankan rasa tersedaknya.“Hati-hati, Dek!” ucap Wahid lembut dan terus menepuk pundak istrinya.“Makan buru-buru banget sih, makanya tersedak,” celetuk Rahma sinis.“Kualat tuh kayaknya!” timpal Zalimar makin menunjukkan tak sukanya.Sementara Nurul hanya bisa diam m
“Mari, Bu, saya bantu tiduran di ranjang untuk langsung di USG!” Suara Erni, asisten perawatnya Haidar membuyarkan renungannya. Cepat-cepat ia mengalihkan fokusnya pada map di hadapannya yang melampirkan identitas pasiennya. Haidar membaca teliti nama suami dari pasiennya.Saat pernikahan Aisyah dulu, ia memang tak hadir padahal Haidar menerima undangan pernikahannya. Mungkin karena itulah Aisyah mengira dokter tampan itu tak akan mengenali suaminya. Akan tetapi, saat itu Haidar menerima foto-foto pernikahan wanita itu. Tentu saja ia mengenali Wahid dan juga Rahma. Tak banyak yang berubah dari wajah mereka berdua. Haidar terlihat menghela napas panjang, ia diserang banyak tanya dalam pikirannya tentang sahabatnya. Haidar yakin sekali pemeriksaan kemarin, tak ada yang mengkhawatirkan tentang kesehatan rahim Aisyah. Bahkan ia menebak, suaminya lah yang bermasalah. Akan tetapi, hari ini Wahid datang bersama wanita hamil dan tertulis dalam kertas pasiennya bahwa lelaki itu adalah suami
“Tumpah di luar atau sudah masuk langsung keluar lagi?” Haidar mencoba memastikan.“Selalu tumpah di luar, bahkan sebelum saya melihat seperti apa isi dari istri, akan selalu keluar lebih dulu tanpa bisa saya tahan,” jawab Wahid seraya menundukkan wajahnya. “Saya sudah mengikuti beberapa saran untuk menjaga kualitas stamina saya, tetapi tak ada hasilnya. Saya juga tidak merokok dan rutin olah raga pagi.”Haidar menghela napas panjang dan berat. “Kapan Bapak menyadarinya?” tanyanya hati-hati.“Sebenarnya sejak saya masih remaja. Saya pikir bertambahnya usia akan membaik, tetapi tetap sama sampai sekarang.” Suara Wahid makin pelan.“Maafkan saya, Pak. Tapi, saya perlu kejujuran pasien agar bisa memberi diagnosa yang tepat,” terang Haidar makin hati-hati. “Bapak tak perlu sungkan! Atau Bapak bisa anggap saya sebagai seorang teman jadi bisa lebih rileks dalam sesi konsultasi ini!” sarannya.Wahid menaikkan wajahnya. Ia memberikan senyuman memaksa, lalu mengangguk ber
“Jangan ganggu hidupku, bisa nggak sih! Aku nggak mau terlibat masalah lebih jauh denganmu!” desis Nurul menahan kesal dengan suara yang sangat pelan.Wanita itu berbicara dengan seseorang di balik telepon dalam ruang tamu yang gelap. Sesekali Nurul memutar tubuhnya menghadap ruangan dalam, berjaga-jaga jika ada seseorang yang muncul atau memergokinya. Ya, wanita itu sedang sembunyi-sembunyi berbicara dengan telepon.“Kita sudah tidak punya hubungan apa pun dan aku sudah menikah!” tegas Nurul lagi. Tetap dengan suara seperti tadi, pelan dan menahan kesal.“Nurul, aku sangat merindukanmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu! Aku tahu kamu sudah menikah, tetapi aku begitu mencintaimu ... aku mohon temui aku sekali saja! Setelah itu aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku janji!” ucap suara di balik telepon dengan nada memelas. Suara seorang lelaki dengan nada berat.Wanita itu tampak berpikir seraya berkacak pinggang. Ia kembali menatap ke arah belakang dengan tatapan waspada.
“Si—siapa? Aisyah, suaminya ustaz Wahid dan madunya Nurul?” Haidar terkejut. Ia mencoba mengulangi ucapan si ibu tadi. Haidar perlu memastikan apa yang ditangkap indera pendengarannya.“Heueh, Dokter Tampan kayaknya kenal? Wajahnya tampak terkejut gitu,” selidik ibu itu.Para ibu-ibu yang lainnya pun saling mengangguk setuju. Haidar terlihat jelas menunjukkan wajah terkejutnya. Ia tahu ini bukanlah hal baik. Mereka pasti akan mencecarnya dan menahannya lebih lama.“Bukan begitu, Bu. Saya hanya terkejut saja sama nama-nama mereka. Itu ‘kan artinya bagus-bagus semua, apalagi namanya yang anak kyai itu. Rasanya nggak percaya kalau dia berani hamil di luar nikah, bukannya itu merusak nama baik pondok pesantren pak kyainya?” ucap Haidar pura-pura menyatu dengan mereka.Ibu-ibu itu saling menyahut, “ooh ....”Haidar pantas untuk lega. Tak ada lagi tatapan curiga dari mereka semua. “Astaghfirullah, maaf Bu, saya harus segera pergi. Ada jadwal operasi pagi,” ucapnya sopan.Serentak para ibu-
Nurul berhasil meyakinkan Wahid dan mertuanya. Tentu saja Aisyah tak keberatan. Ia terlalu penasaran akan kebusukan madunya.“Kamu kalau lelah istirahat saja di pos dekat parkiran, tukang parkir dan pedagang gorengan itu kenal baik dengan aku. Jadi, mereka pasti akan menjagamu kalau aku menitipkan kamu di sana,” saran Aisyah saat mereka baru saja turun dari motor.Wajah Nurul sedikit terkejut. Aisyah yakin madunya tengah mencari keberadaan orang yang akan ditemuinya. Terlihat wajah Nurul sedari tadi gelisah sejak keluar dari rumah menuju pasar. Aisyah dapat melihatnya dari kaca spion motor.Bahkan sesekali wanita hamil itu memeriksa ponselnya yang selalu dalam genggamannya. Beberapa kali pula Nurul terlihat memainkan ponselnya, mungkin berbalas pesan. Bertanya di mana tempat mereka bertemu.“Ponselnya simpan saja, Nurul! Rawan copet kalau di pasar,” ucap Aisyah memberi nasehat. “Mari ke pos itu, biar aku titipkan kamu sama bu Ina, pedagang gorengan itu, mungpung belum rame,” ajaknya.“
Kehidupan Aisyah benar-benar terasa tenang. Dimas Fahri yang semula mencibir karena iri padanya, mulai menerima dan memahami alasan wanita cantik tersebut. Shahira yang benar-benar memutuskan berhenti dari dunia entertainer memilih membantu Aisyah membuat rancangan berbagai pakaian muslim.Bahkan Shahira memutuskan membeli sebuah ruko untuk membuka butik pakaian muslim dan Aisyah lah yang menjadi perancang busananya. Tentu saja, wanita itu lebih bersemangat. Hingga tak terasa masa iddahnya pun selesai dan rencana pernikahannya dengan Haidar akan terlaksana.Dokter tampan itu sudah merencanakan semuanya berjalan dengan lancar. Hingga di malam sebelum acara pernikahan mereka Zalimar mendatangi Haidar. Untuk pertama kalinya lelaki itu mendekati Zalimar dengan wajah penuh penyesalan yang sungguh-sungguh.Zalimar m
“Apa kita nggak kepagian, Aisyah?” tanya Nilam dengan tatapan bingung.Aisyah dan Nilam sudah berada di lokasi persidangan untuk kasus desainnya yang dicuri. Suasana di dalam gedung itu tampak sepi sekali, bahkan hanya ditemukan beberapa orang saja yang lalu lalang. Namun, Aisyah yakin ia tak terlalu pagi. Jadwal sidangnya memang di pagi hari dan sekitar 15 menit lagi persidangan akan di mulai.“Kayaknya nggak deh, Bu. Mungkin orang-orang memilih menunggu kedatangan kak Shahira yang akan melakukan wawancara sebentar dengan para wartawan sebelum acara sidang dimulai,” jelas Aisyah santun. Kemudian ia menunjuk bangku di samping gedung yang menghadap taman kecil. “Kita tunggu di sana saja, yuk!” ajaknya.Nilam menurut. Keduanya langsung berjalan dan duduk bangku yang masih koso
Usaha Haidar tak sia-sia. Kondisi Nurul kembali stabil. Ia pun lantas segera menyelesaikan operasinya, menutup lukanya dan menjahitnya dengan hati-hati.Haidar bisa saja memberikan tugas tersebut pada dokter lainnya yang berada di sana, karena itu adalah proses terakhir dan tak terlalu berat. Namun, ia memilih menuntaskannya sendiri. Haidar ingin bertanggung jawab penuh atas permintaan Wahid.Alasan lainnya, ia perlu memastikan bahwa pasien di hadapannya baik-baik saja agar bisa menjaga perasaan Wahid sebelum dirinya resmi menjadi suami dari mantan istri lelaki itu. Mungkin bisa diartikannya sebagai ucapan terima kasih sudah melepaskan Aisyah untuknya. Akan tetapi, ia tetap memastikan semua yang dilakukannya sesuai prosedur kesehatan.“Tutup lukanya dengan hati-hati!” perintah Haidar setelah selesai dan
Setelah mendapatkan persetujuan dari Aisyah, Haidar langsung bergegas ke rumah sakit. Sejujurnya, bukan persetujuan tetapi ia ingin memastikan Aisyah tak salah paham sebab Wahid memintanya secara khusus untuk menyelamatkan Nurul. Walaupun wanita itu pasti memahami dirinya yang seorang dokter, tak berhak untuk memilih pasien.Namun, kebesaran hati Aisyah tak bisa ia sepelekan. Wanita yang akan menjadi pasiennya adalah orang yang membuat hidup wanitanya hancur. Jadi, Haidar perlu memastikan perasaan Aisyah tak akan terluka.“Aku percaya padamu, Haidar. Lakukan tugasmu dengan baik!” Kalimat tersebut mampu menguatkan keberanian Haidar. Dokter tampan itu mampu mengesampingkan perasaan dan hatinya untuk fokus pada pekerjaannya. Tak butuh waktu lama, ia langsung menuju IGD dan bertepatan dengan Wahid yang baru saja tiba membawa istrinya.“Apa yang terjadi, Pak wahid?” tanya Haidar sembari menunggu petugas medis memindahkan tubuh Nurul ke ranjang beroda.Belum sempat Wahid menjawab, dokter t
“Bagaimana kamu masuk ke rumahku?” Nurul terkejut dan hampir saja ia terjengkang ke belakang. Toni tiba-tiba muncul di dalam rumahnya saat ia baru saja memasuki rumah setelah mengantar Wahid. Untunglah lelaki itu berhasil menahan tubuh wanita yang tengah hamil besar itu. Usia kandungannya yang sudah melewati tujuh bulan membuatnya kesulitan menjaga keseimbangannya. Namun, wanita itu langsung menepis kasar tangan Toni setelah berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya. Wajah Nurul bahkan berubah panik dan cemas. “Mau apa lagi kamu menemuiku, Toni? Kita sudah tak ada hubungan apapun!” cecar Nurul cemas. Sesekali wanita itu menoleh ke arah pintu. Takut dan cemas, jika Wahid tiba-tiba kembali lalu memergoki dirinya bersama Toni. Ia sudah memutuskan untuk menuruti per
Sebuah mimpi yang begitu mengganggu Aisyah. Wanita bahkan tak bisa berpikir jernih. Takut jika mimpi itu menjadi kenyataan.Akankah kejadian yang sudah pernah ia alami akan kembali terulang? Aisyah benar-benar tak bisa tenang. Ia tak bisa berdiam diri hingga akhirnya memutuskan menemui Haidar di rumah sakit, tepat di jam istirahatnya.Tentu saja dokter tampan itu senang dikunjungi oleh Aisyah. Mereka memilih sebuah kafe di luar rumah sakit yang tak terlalu ramai. Setidaknya Aisyah perlu mengungkapkan rasa cemasnya dalam keadaan tenang.“Sepertinya ada masalah serius? Ada apa, Aisyah?” tanya Haidar yang bisa membaca jelas sorot mata wanitanya.Ya, walaupun hanya tatapannya saja, tanpa melihat wajahnya yang tertutup cadar Haidar bisa melihat tatapan gelisahnya.
“Maafkan aku, Aisyah. Aku tak bisa melanjutkan rencanaku menikahimu … Kita batalkan saja pernikahan ini!”Tubuh Aisyah terasa disambar petir di siang bolong. Kedua bola matanya yang membulat sempurna langsung tersiram air mata, banjir dan deras bak air terjun. Bibirnya bergetar, hingga ia kesulitan untuk membuka mulutnya.Aisyah sungguh tak menyangka, Haidar mengatakan hal tersebut tepat di hadapan kedua orang tuanya yang percaya sepenuhnya pada dirinya. Bukan itu saja yang membuatnya terasa terguncang, gaun putih yang menutupi tubuhnya tanpa memperlihatkan lekuk indah tubuhnya, serta rangkaian bunga melati yang menghiasi hijab lebarnya.Ya, di hari pernikahannya yang seharusnya berikrar sebuah akad, tetapi Haidar mengikrarkan kata maaf. Tak ada sirat penyesalan pada wajah lelaki itu. Hatiny
“Kak Shahira yakin?” tanya Aisyah sedikit tak percaya.Shahira yang dikenal sebagai artis yang selalu modis dan glamor, serta tak malu dengan pakaian seksi meski usianya sudah tak lagi muda. Itulah imej yang melekat pada artis cantik itu. Satu hal lagi, Shahira dikenal sebagai artis yang santun dan ramah, yang membuatnya tetap terkenal dan tak kalah dengan artis pendatang baru.Hari ini, Aisyah dan Haidar mendengar ungkapan hatinya. Artis cantik itu ternyata menyimpan beban yang berat. Shahira tak segera menjawab pertanyaan Aisyah.“Maafkan aku, Kak. Maksudku ... aku senang jika Kak Shahira ingin berubah menjadi lebih tertutup, tetapi harus dari hati agar Kakak bisa menemukan kedamaian dan ketenangan,” jelas Aisyah hati-hati, berharap kata-katanya tak menyinggung artis cantik itu. “Mm ... jika aku boleh kasih saran tentang rumah tangga Kak Shahira, sebaiknya coba jalin hubungan lebih baik lagi dengan suaminya. Menurutku dukungan dari suami adalah yang paling berharga, seberat apapun
Shahira tak segera menjawab. Artis cantik itu menurunkan tumpangan kakinya dan menegapkan wajahnya dengan ekspresi datar. Tentu saja tindakannya membuat sorot mata Aisyah cemas.“Aisyah sama sekali tak berniat untuk melanggar kontrak kerja, Kak. Dia hanya ingin mencoba desain pakaian yang tertutup tetapi tetap anggun,” seru Haidar mencoba menengahi. “Bukankah di kontrak hanya dicantumkan Aisyah membuat desain sesuai keinginan Kak Shahira, tidak dispesifikan bagaimana jenis desainnya,” imbuhnya.“Tidak spesifik? Contohnya?” selidik Shahira dengan tatapan penuh arti pada Haidar.Haidar mengulum bibir bawah dan atasnya ke dalam sembari berpikir. Jawaban apa yang bisa diterima oleh Shahira. “Maksud saya, desain pakaiannya tidak dijelaskan harus seksi dan terbuka,” jawabnya hati-hati, tetapi terdengar tegas.Asiyah sedikit bersyukur Haidar bisa membantu mengeluarkan rasa cemasnya, tetapi kini ia merasa was-was. Khawatir, jika respon Shahira justru memberikan penolakan. Terlihat jelas saat