“Mb—mbak Aisyah?”Nurul gagap. Wajahnya panik dan ketakutan seraya menaikkan tubuhnya dari Aisyah. Ia langsung menguasai tubuhnya, berdiri dengan baik, lalu melirik pada lelaki yang tadi bersamanya.“Mbak Aisyah, ngapain di sini?” tanya Nurul sedikit ragu.“Seharusnya aku yang bertanya, ngapain kamu di sini,” jawab Aisyah tegas dan tatapannya yangvtajam. “Lalu siapa lelaki itu? Kenapa kamu ada di sini? Bukankah kamu berpamitan padaku untuk beristirahat di pos, kenapa bisa berada di tempat ini yang bau lagi?” cecarnya langsung seraya menunjuk lelaki di belakang Nurul.Wajah Nurul makin panik. Ia menoleh pada lelaki yang tampak sebaya dengannya, seolah minta bantuan. Namun, lelaki itu hanya menaikkan kedua bahunya malas.Terlihat jelas wajah wanita itu tengah memaksa akal dan pikirannya bekerja keras mencari alasan yang tepat. Tentunya Nurul yakin, Aisyah pasti berpikiran buruk. Apalagi terlihat jelas ia seperti tertangkap basah. Tidak! Nurul tak bisa membiarkan kakak madunya menariknya
Asiyah panik dan bingung. Ia tak bisa menemukan keberadaan Nurul. Kemudian ia mencoba menghubungi suaminya, mencoba meminta bantuan dari Wahid.“Halo, Mas. Mas, aku minta maaf dan aku bisa minta bantuanmu,, nggak?” seru Aisyah panik setelah sambungan telepon terhubung dan mengucapkan salam.“Bantuan apa, Dek?” sahut Wahid langsung dengan nada cemas. “Kamu tenang dulu, Dek! Ceritakan ada apa?” Wanita bercadar itu menuruti saran suaminya. Aisyah menarik napas dalam dan panjang, agar ia bisa lebih tenang. Kemudian ia menceritakan keadaan dirinya.“Kok bisa kamu kehilangan Nurul, Dek? Nurul itu sedang hamil, loh. Bisa-bisanya kamu ceroboh begitu, kalau umi tahu bisa marah besar,” sembur Wahid setelah Aisyah menceritakannya.“Aku hanya menegur Nurul, Mas. Aku nggak bermaksud apa-apa, Mas. Tiba-tiba Nurul langsung marah dan pergi dari pasar,” jelas Aisyah dengan derai air mata. “Aku minta maaf, Mas. Aku bener-bener bingung.”“Ya sudah, kami diam dan tenangkan diri dulu! Mas akan mencoba me
“Apa-apaan ini?” pekik Rahma kesal.Wanita paruh baya itu langsung menoleh pada Aisyah dengan tatapan nanar. “Berani sekali kamu meninggalkan menantu kesayangan umi di pasar seorang diri! Umi mengizinkan Nurul ikut denganmu agar kamu menjaganya! Nurul itu sedang hamil, kalau terjadi sesuatu sama menantu umi, kamu mau tanggung jawab, hah!” hardiknya seraya menunjuk wajah Aisyah dengan jari telunjuknya.“Astaghfirullah, itu tidak benar, Umi! Ais tak meninggalkan Nurul, justru Nurul yang tiba-tiba pergi meninggalkan Ais. Lalu Ais meminta bantuan Mas Wahid untuk mencarinya,” jelas Aisyah mencoba menerangkan.“Jangan banyak alasan kamu, Aisyah! Kalau benar Nurul pergi meninggalkan kamu, kenapa kamu pulang sendirian dan saat umi tanya kamu berkata Nurul dijemput Wahid ... pintar sekali kamu bersandiwara.” Rahma makin meninggikan suaranya.Wajah Aisyah lemas tak berdaya. Ia lalu menoleh pada madunya yang langsung membuang wajah darinya. Jelas sekali, Nurul sedang mengadu domba dirinya dan me
“Benar kamu hamil, Dek?” tanya Wahid memastikan.“Tidak, Mas, magh-ku kambuh,” jawab Aisyah dengan suara lemas.Benar. Penyakit Aisyah kambuh dan tampaknya semakin parah. Ia tak bisa lagi menahan rasa mual dalam perutnya. Wanita itu langsung memutar tubuhnya dan memuntahkan isi perutnya yang kosong ke dalam kloset. Kepalanya terasa berputar, tubuhnya semakin lemas, tetapi rasa mual dalam perutnya tak segera usai.“Sudah jelas istrimu hamil, Wahid! Lihatlah, sejak tadi nggak masih mual muntah terus! Wajahnya juga sudah pucat, sebaiknya kamu buatkan teh hangat untuknya biar tubuhnya tak terlalu lemas!” titah Rahma pada anak lelakinya.Akan tetapi, Wahid tak menurut. Lelaki itu langsung meraih tubuh Aisyah yang tampaknya sudah selesai memuntahkan isi perutnya. Wahid memutar tubuh istrinya dan menghadapkan pada dirinya.“Siapa yang melakukannya, Aisyah!” pekik Wahid keras dengan tatapan murka. Panggilan sayangnya Wahid untuk Aisyah, tampaknya sudah tak berlaku. Lelaki itu menatap penuh a
“Siapkan semua baju-bajumu! Aku akan mengantarkan kamu ke rumah orang tuamu dan jangan berani menginjakkan kaki ke rumah ini lagi. Aku tidak sudi memiliki istri pezina!” Suara Wahid lantang.Bagaikan petir yang menyambarnya di siang bolong. Air mata Aisyah makin deras. Sakit, sesak dan hancur tak bisa ia gambarkan.Tubuh Aisyah melemas. Tak terasa tubuhnya ambruk ke lantai. Aisyah hanya bisa menatap tubuh suaminya menjauh dan keluar dari kamar mandi.“Jangan temani dan tanya wanita itu!” perintah Wahid menghentikan menyadari tatapan orang tua, kakaknya dan juga Nurul penuh tanya.“Mas Wahid, ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba mengatakan Mbak Ais pezina?” tanya Nurul seraya mengejar langkah kaki suaminya.Rahma dan Ibrahim, serta Zalimar lebih menuruti ucapan Wahid. Tak ada yang melihat Aisyah menangis tersedu-sedu di dalam kamar mandi. Hancur dan sakit hatinya membuatnya kesulitan bernapas hingga Aisyah kesulitan menahan laju air matanya.“Ya Allah, inikah balasan untuk semua kesabara
“Itu sepertinya pak Akbar dan bu Nilam, orang tuanya Aisyah?”Haidar baru saja menginjakkan kakinya keluar dari parkiran rumah sakit, tak sengaja indera penglihatannya menangkap mobil ambulans yang tengah menurunkan ranjang pasien. Dokter tampan itu mengenali orang tua yang mendampingi pasien. Kemudian indera penglihatannya tertuju pada wanita yang terbaring di atas ranjang beroda itu.“Aisyah?” gumam Haidar panik.Wanita itu terkulai lemah tak berdaya. Wajahnya tak terlindung cadar, sehingga Haidar lebih mudah mengenalinya. Sontak saja ia langsung berlari menghampirinya.“Apa yang terjadi dengan pasien?” tanya Haidar pada petugas ambulans.“Pasien menderita GERD, setelah kami melakukan pemeriksaan fisik saat dalam perjalanan ke sini, Dok,” jawab petugas itu mengenali Haidar.“Astagfirullah, baiklah bawa langsung ke IGD dan panggil dokter Lukman!” pinta Haidar yang ikut mendorong ranjang beroda tersebut.Salah satu dari petugas itu menuju ruangan lain, sementara yang lainnya terus mem
“Wahid, coba jelaskan pada abi apa yang terjadi?” tanya Ibrahim dengan tatapan tajam dan tegas setelah mereka berdua berbicara di ruang kerjanya Ibrahim yang berada di dalam rumah.“ Abi tidak mengerti Kenapa kamu tiba-tiba menuduh Aisyah berzina, padahal Abi tahu kamu begitu sangat menyayangi Aisyah? Ceritakan semuanya dengan detail Abi ingin tahu masalah rumah tanggamu dan Aisyah!” pinta Ibrahim sedikit meninggikan suaranya, menyadari Wahid terus menunduk.Wajah lelaki dengan jambang tipis itu bingung dan terlihat memasang wajah frustrasi. Bahkan ada garis ketakutan di wajahnya. Ibrahim lantas menepuk pundak anak lelakinya, mencoba menyadarkan Wahid.“Wahid! Apa kamu dengar apa yang abi perintahkan?” tanya Ibrahim menurunkan intonasi suaranya.“Dengar, Abi. Tapi—“ ucapan Wahid terpotong, wajahnya meragu.“Tapi apa? Jangan buat abi kesal! Ceritakan semuanya agar rasa penasaran abi tak meninggi. Di luar, umi dan Nurul pasti kebingungan dengan sikapmu,” desak Ibrahim menahan sabarnya.
“Aisyah, kamu sudah sadar, Nak?”Nilam langsung bergegas bangun dari duduknya hingga kursi besi yang ia duduki berderit keras karena gerakan wanita paruh baya itu terlalu cepat. Akbar yang duduk di sofa seraya melantunkan dzikir dan doa untuk putrinya pun langsung bergegas bangun. Wajah cemas mereka sedikit memudar melihat Aisyah membuka matanya.“Aku di mana, Bu?” tanya Aisyah menyadari tempat ia berada terasa asing.“Kamu ada di rumah sakit, Nak. Kamu pingsan, jadi kami langsung membawamu ke rumah sakit,” jawab Nilam lembut seraya membelai lembut rambut putrinya yang tertutup hijab. “Bagaimana sekarang keadaanmu?” tanyanya.“Ayah, panggilkan dokter dulu untuk memeriksa keadaanmu,” sela Akbar seraya menghapus air mata harunya.Akbar langsung bergegas berjalan menuju pintu kamar rawat. Setelah suaminya tak terlihat, Nilam menawari putrinya minum dan langsung dijawab anggukannya Aisyah. Tentu saja, ia tak keberatan dan langsung meraih gelas di atas nakas samping ranjang rawat Aisyah da
Kehidupan Aisyah benar-benar terasa tenang. Dimas Fahri yang semula mencibir karena iri padanya, mulai menerima dan memahami alasan wanita cantik tersebut. Shahira yang benar-benar memutuskan berhenti dari dunia entertainer memilih membantu Aisyah membuat rancangan berbagai pakaian muslim.Bahkan Shahira memutuskan membeli sebuah ruko untuk membuka butik pakaian muslim dan Aisyah lah yang menjadi perancang busananya. Tentu saja, wanita itu lebih bersemangat. Hingga tak terasa masa iddahnya pun selesai dan rencana pernikahannya dengan Haidar akan terlaksana.Dokter tampan itu sudah merencanakan semuanya berjalan dengan lancar. Hingga di malam sebelum acara pernikahan mereka Zalimar mendatangi Haidar. Untuk pertama kalinya lelaki itu mendekati Zalimar dengan wajah penuh penyesalan yang sungguh-sungguh.Zalimar m
“Apa kita nggak kepagian, Aisyah?” tanya Nilam dengan tatapan bingung.Aisyah dan Nilam sudah berada di lokasi persidangan untuk kasus desainnya yang dicuri. Suasana di dalam gedung itu tampak sepi sekali, bahkan hanya ditemukan beberapa orang saja yang lalu lalang. Namun, Aisyah yakin ia tak terlalu pagi. Jadwal sidangnya memang di pagi hari dan sekitar 15 menit lagi persidangan akan di mulai.“Kayaknya nggak deh, Bu. Mungkin orang-orang memilih menunggu kedatangan kak Shahira yang akan melakukan wawancara sebentar dengan para wartawan sebelum acara sidang dimulai,” jelas Aisyah santun. Kemudian ia menunjuk bangku di samping gedung yang menghadap taman kecil. “Kita tunggu di sana saja, yuk!” ajaknya.Nilam menurut. Keduanya langsung berjalan dan duduk bangku yang masih koso
Usaha Haidar tak sia-sia. Kondisi Nurul kembali stabil. Ia pun lantas segera menyelesaikan operasinya, menutup lukanya dan menjahitnya dengan hati-hati.Haidar bisa saja memberikan tugas tersebut pada dokter lainnya yang berada di sana, karena itu adalah proses terakhir dan tak terlalu berat. Namun, ia memilih menuntaskannya sendiri. Haidar ingin bertanggung jawab penuh atas permintaan Wahid.Alasan lainnya, ia perlu memastikan bahwa pasien di hadapannya baik-baik saja agar bisa menjaga perasaan Wahid sebelum dirinya resmi menjadi suami dari mantan istri lelaki itu. Mungkin bisa diartikannya sebagai ucapan terima kasih sudah melepaskan Aisyah untuknya. Akan tetapi, ia tetap memastikan semua yang dilakukannya sesuai prosedur kesehatan.“Tutup lukanya dengan hati-hati!” perintah Haidar setelah selesai dan
Setelah mendapatkan persetujuan dari Aisyah, Haidar langsung bergegas ke rumah sakit. Sejujurnya, bukan persetujuan tetapi ia ingin memastikan Aisyah tak salah paham sebab Wahid memintanya secara khusus untuk menyelamatkan Nurul. Walaupun wanita itu pasti memahami dirinya yang seorang dokter, tak berhak untuk memilih pasien.Namun, kebesaran hati Aisyah tak bisa ia sepelekan. Wanita yang akan menjadi pasiennya adalah orang yang membuat hidup wanitanya hancur. Jadi, Haidar perlu memastikan perasaan Aisyah tak akan terluka.“Aku percaya padamu, Haidar. Lakukan tugasmu dengan baik!” Kalimat tersebut mampu menguatkan keberanian Haidar. Dokter tampan itu mampu mengesampingkan perasaan dan hatinya untuk fokus pada pekerjaannya. Tak butuh waktu lama, ia langsung menuju IGD dan bertepatan dengan Wahid yang baru saja tiba membawa istrinya.“Apa yang terjadi, Pak wahid?” tanya Haidar sembari menunggu petugas medis memindahkan tubuh Nurul ke ranjang beroda.Belum sempat Wahid menjawab, dokter t
“Bagaimana kamu masuk ke rumahku?” Nurul terkejut dan hampir saja ia terjengkang ke belakang. Toni tiba-tiba muncul di dalam rumahnya saat ia baru saja memasuki rumah setelah mengantar Wahid. Untunglah lelaki itu berhasil menahan tubuh wanita yang tengah hamil besar itu. Usia kandungannya yang sudah melewati tujuh bulan membuatnya kesulitan menjaga keseimbangannya. Namun, wanita itu langsung menepis kasar tangan Toni setelah berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya. Wajah Nurul bahkan berubah panik dan cemas. “Mau apa lagi kamu menemuiku, Toni? Kita sudah tak ada hubungan apapun!” cecar Nurul cemas. Sesekali wanita itu menoleh ke arah pintu. Takut dan cemas, jika Wahid tiba-tiba kembali lalu memergoki dirinya bersama Toni. Ia sudah memutuskan untuk menuruti per
Sebuah mimpi yang begitu mengganggu Aisyah. Wanita bahkan tak bisa berpikir jernih. Takut jika mimpi itu menjadi kenyataan.Akankah kejadian yang sudah pernah ia alami akan kembali terulang? Aisyah benar-benar tak bisa tenang. Ia tak bisa berdiam diri hingga akhirnya memutuskan menemui Haidar di rumah sakit, tepat di jam istirahatnya.Tentu saja dokter tampan itu senang dikunjungi oleh Aisyah. Mereka memilih sebuah kafe di luar rumah sakit yang tak terlalu ramai. Setidaknya Aisyah perlu mengungkapkan rasa cemasnya dalam keadaan tenang.“Sepertinya ada masalah serius? Ada apa, Aisyah?” tanya Haidar yang bisa membaca jelas sorot mata wanitanya.Ya, walaupun hanya tatapannya saja, tanpa melihat wajahnya yang tertutup cadar Haidar bisa melihat tatapan gelisahnya.
“Maafkan aku, Aisyah. Aku tak bisa melanjutkan rencanaku menikahimu … Kita batalkan saja pernikahan ini!”Tubuh Aisyah terasa disambar petir di siang bolong. Kedua bola matanya yang membulat sempurna langsung tersiram air mata, banjir dan deras bak air terjun. Bibirnya bergetar, hingga ia kesulitan untuk membuka mulutnya.Aisyah sungguh tak menyangka, Haidar mengatakan hal tersebut tepat di hadapan kedua orang tuanya yang percaya sepenuhnya pada dirinya. Bukan itu saja yang membuatnya terasa terguncang, gaun putih yang menutupi tubuhnya tanpa memperlihatkan lekuk indah tubuhnya, serta rangkaian bunga melati yang menghiasi hijab lebarnya.Ya, di hari pernikahannya yang seharusnya berikrar sebuah akad, tetapi Haidar mengikrarkan kata maaf. Tak ada sirat penyesalan pada wajah lelaki itu. Hatiny
“Kak Shahira yakin?” tanya Aisyah sedikit tak percaya.Shahira yang dikenal sebagai artis yang selalu modis dan glamor, serta tak malu dengan pakaian seksi meski usianya sudah tak lagi muda. Itulah imej yang melekat pada artis cantik itu. Satu hal lagi, Shahira dikenal sebagai artis yang santun dan ramah, yang membuatnya tetap terkenal dan tak kalah dengan artis pendatang baru.Hari ini, Aisyah dan Haidar mendengar ungkapan hatinya. Artis cantik itu ternyata menyimpan beban yang berat. Shahira tak segera menjawab pertanyaan Aisyah.“Maafkan aku, Kak. Maksudku ... aku senang jika Kak Shahira ingin berubah menjadi lebih tertutup, tetapi harus dari hati agar Kakak bisa menemukan kedamaian dan ketenangan,” jelas Aisyah hati-hati, berharap kata-katanya tak menyinggung artis cantik itu. “Mm ... jika aku boleh kasih saran tentang rumah tangga Kak Shahira, sebaiknya coba jalin hubungan lebih baik lagi dengan suaminya. Menurutku dukungan dari suami adalah yang paling berharga, seberat apapun
Shahira tak segera menjawab. Artis cantik itu menurunkan tumpangan kakinya dan menegapkan wajahnya dengan ekspresi datar. Tentu saja tindakannya membuat sorot mata Aisyah cemas.“Aisyah sama sekali tak berniat untuk melanggar kontrak kerja, Kak. Dia hanya ingin mencoba desain pakaian yang tertutup tetapi tetap anggun,” seru Haidar mencoba menengahi. “Bukankah di kontrak hanya dicantumkan Aisyah membuat desain sesuai keinginan Kak Shahira, tidak dispesifikan bagaimana jenis desainnya,” imbuhnya.“Tidak spesifik? Contohnya?” selidik Shahira dengan tatapan penuh arti pada Haidar.Haidar mengulum bibir bawah dan atasnya ke dalam sembari berpikir. Jawaban apa yang bisa diterima oleh Shahira. “Maksud saya, desain pakaiannya tidak dijelaskan harus seksi dan terbuka,” jawabnya hati-hati, tetapi terdengar tegas.Asiyah sedikit bersyukur Haidar bisa membantu mengeluarkan rasa cemasnya, tetapi kini ia merasa was-was. Khawatir, jika respon Shahira justru memberikan penolakan. Terlihat jelas saat