Home / Thriller / Seribu Pintu Sindukala / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Seribu Pintu Sindukala: Chapter 1 - Chapter 10

62 Chapters

Prolog

Hanya bunyi detak jantung yang menemani kesadarannya dalam gelap. Satu per satu, helaan nafas mengiringinya. Perlahan-lahan, rasa sakit menggerogoti otot dan tulangnya yang semula mati rasa. Perih di tenggorokannya membuatnya tidak mampu mengeluarkan suara. Darah menetes, menciprat, mengotori ruangan putih yang (katanya) suci itu.Jemari-jemari lentik dan putih beraroma bunga kacapiring, menyentuh pipi dan mencubit dagunya. Raesaka membuka matanya, menatap lurus pada ibunya, yang kini duduk di sampingnya, dengan rambut ikalnya yang terurai panjang. Di sekeliling mereka, bayangan-bayangan gelap dan samar bermunculan, menggeliat membentuk manusia-manusia tinggi berpakaian serba hitam dan berwajah buram.Tapi, tidak ada yang lebih menyakitkan selain menatap pandangan ibunya yang damai, dan senyuman lembutnya saat itu. Dengan ekspresi yang sama, ibunya menodongkan pistol tepat di depan mulut Raesaka. Bibirnya yang kemerahan bergerak mengatakan sesuatu.“Apa kamu sudah sadar, Re? Manusi
last updateLast Updated : 2023-08-20
Read more

Bab 1 Sindu. Kala.

Sindu. Kala. Sindu Kala. Sindukala. Nama itu terketik di langit-langit kepala Raesaka, melebur dengan bau lantai ruang kerja, dan remangnya cahaya yang dipantulkan dinding berwarna krem. Tidak ada informasi yang muncul terkait nama itu di layar komputer. Dia bahkan tidak menemukan berkas-berkas tentang Sindukala di laci arsip, seolah perkaranya memang tidak pernah ada sejak semula. Dalam waktu yang terbatas, rasa penasaran dan kebingungan mengoyak jiwanya. Ia bahkan jijik pada sensasi kering berdebu di sela-sela jemarinya setelah menyortir berkas. Semua itu memicu kemarahan kepada dirinya sendiri, satuannya, pimpinannya, dan negara ini. Memang tidak pernah ada yang beres di negeri ini—sistemnya, orang-orangnya—semuanya hanya membuatnya muak. Hampir saja mulutnya meludahkan kata-kata kasar. “Saat mencari keadilan, ada seribu lebih pintu yang harus kamu lewati. Begitu absurd dan rumit,” kata Marsala, ibunya. Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalanya, membuyarkan nama Sindukala, seak
last updateLast Updated : 2023-08-20
Read more

Bab 2 Nawasena

“Apa kamu merasa enggak siap dengan posisi kamu di satuan ini, Re?” tanya Nawasena, pimpinannya, yang kini duduk di hadapannya sambil mengulum permen coklat. “Saya berbicara seperti ini bukan untuk menjatuhkan semangat kamu lho, tapi akhir-akhir ini kamu...” Mulutnya berdecak dan kepalanya menggeleng. Ia menggantungkan kalimatnya. Raesaka tidak menjawab. Bola matanya bergerak mengikuti gerak pimpinannya yang tingginya tidak melebihi tinggi Raesaka, dan sedikit gemuk. Rambutnya disisir ke belakang, dan mengkilat karena baru saja disemir. Garis-garis halus semakin kentara di kulitnya yang berwarna olive. Ia beranjak ke sisi ruangan dan menyingkap tirai. Raesaka membuang muka. Pandangannya terlalu lelah, bahkan sekedar untuk melihat bias matahari pada dinding ruangan sekali pun, dan warna seragam pimpinannya menjadi terlalu gelap sekaligus terang. Saat matanya berdenyut perih, tangannya mengusap wajah dan kepalanya. Nawasena terlalu lama diam. Bagi Raesaka, saat-saat hening seperti itu
last updateLast Updated : 2023-08-20
Read more

Bab 3 Urban Warfare

“Apa kamu pernah mengalami satu waktu yang aneh?” “Aneh seperti apa, Bu?” “Waktu di mana enggak ada warna dan bentuk. Pikiranmu tertidur dan kamu lupa dirimu sendiri.” “Enggak, Bu. Tapi, mendengar Ibu bicara begitu, sepertinya aku bakal mengalami waktu yang aneh itu. Cepat atau lambat. Iya ‘kan?” * * * Melalui matanya yang bulat, coklat dan berkilat-kilat diterpa cahaya, Raesaka menatap refleksi wajahnya di cermin. Titik-titik air mengalir, membasahi bintik-bintik kecoklatan pada permukaan kulit sawo matangnya. Wangi dan sensasi dingin pasta gigi berseliweran di sekitar hidung dan bibirnya yang gelap kemerahan dan agak tebal. Telunjuknya terangkat, menyingkirkan sehelai bulu mata lentik yang menempel pada pipinya. “Sekarang, ibumu di mana?” Pikirannya mengulang kembali pertanyaan Nawasena, mengaburkan pendengarannya yang tadi sedang menyimak berita melalui aplikasi radio pada ponselnya. Raesaka memiringkan tubuhnya, sehingga ia bisa melihat tangan kirinya di cermin. Di
last updateLast Updated : 2023-08-20
Read more

Bab 4 Tia

“Ngapain kamu kembali ke rumah ibu kamu, Cu?” tanya Abhinanda, neneknya Raesaka melalui ponsel. “Kalau kamu punya waktu, mendingan kamu ke Niskala. Kita mau rayain ulang tahun Oom Dewangga.” Obrolan bersama neneknya mengingatkan Raesaka pada hari pelantikannya sebagai polisi dulu. Tidak ada satu pun anggota keluarganya yang hadir, termasuk ibunya, dan neneknya (yang kala itu memang sedang kurang sehat). Untuk menebus perasaan bersalah, neneknya berencana menggelar acara syukuran di Niskala, atau di Narwastu (kediaman ibunya), tetapi acara itu tidak pernah ada. “Acara syukuran buat apa?” tanya Marsala, di hari pertama Raesaka menginjak rumah ibunya (satu hari setelah pelantikan). “Memangnya kamu sudah berbuat apa? Sudah mencapai apa? Ini semua baru permulaan lho.” Permulaan—kata yang juga disampaikan pimpinannya, yang membuatnya sedikit cemas akan masa depan, yang tidak akan pernah diketahuinya, seperti apa rupanya, atau di mana ujungnya. Raesaka memikirkan itu sambil membuka pin
last updateLast Updated : 2023-08-20
Read more

Bab 5 Purivan

“Kapan kamu ada waktu ke Niskala? Udah berbulan-bulan kita enggak ketemu. Aku kangen sama kamu,” kata Arumi, pacar Raesaka, melalui pesan di ponselnya. Di dalam pikirannya, wajah Arumi dan ibunya saling berbenturan. Semakin lama, sosok ibunya terpampang semakin jelas, seperti lembaran-lembaran memori yang beterbangan. Saat itu, ia sedang menyapu lantai rumah ibunya, ditemani musik yang mengalun melalui mp3 player, yang ia taruh di meja ruang televisi. “Sekarang aku lagi sibuk, Rum. Nanti sore aku hubungi lagi, ya,” balas Raesaka, mendengar bunyi bel pintu. Bunyinya membuatnya terpukau selama beberapa saat—sudah berapa lama ia tidak mendengar iramanya? Sambil membetulkan letak maskernya yang melorot di hidung, ia berjalan menyeberangi ruangan dan membuka pintu. “Hai,” sapa Ivan sambil melepas topinya. Matanya yang sipit menyerupai dua garis hitam ketika ia nyengir seperti itu. Sinar matahari menyengat pipinya yang putih kekuningan sampai memerah. Ia memakai seragam coklat berbahan
last updateLast Updated : 2023-08-20
Read more

Bab 6 Gardenia

“Jadi gimana nih?” tanya Arumi melalui telepon. “Kapan ada rencana ke Niskala? Aku kangen pengen ketemu kamu.” Ivan dan Purangga sudah pulang satu jam yang lalu. Bayangan Arumi di kepala Raesaka, dibuyarkan oleh langkah kaki ibunya yang telanjang, menapaki tanah dan rerumputan. Meskipun pincang, Marsala masih mampu memanjat pohon kersen yang tingginya tidak seberapa. Di hari ke tiga setelah kedatangan Raesaka dari Niskala, ibunya berdiri di salah satu batang pohon kersen, bersandar pada batang yang lain, memetik banyak kersen dan melahapnya sambil menikmati cerahnya langit. Kersen-kersen itu menggelincir di telapak tangan ibunya, berjatuhan tepat di wajah Raesaka. Di bawah, ia melihat ibunya yang riang, terbingkai ranting dan dedaunan. Itu adalah keceriaan ibunya yang pertama kali dilihatnya setelah lima belas tahun mereka hidup berpisah. Dulu, setiap hari Sabtu dan Minggu, ibunya mengunjungi Raesaka di Niskala. Itu pun jarang, bahkan ia pernah tidak datang selama beberapa bula
last updateLast Updated : 2023-08-22
Read more

Bab 7 Onni

“Aku kira, kita enggak akan ketemu lagi,” kata Nayyala sambil melahap nasi goreng ikan asin. Suaranya kecil dan bergetar, seakan kecemasan menyelip di tenggorokannya, tetapi memang itu ciri khas Nayyala. Dia sejatinya perempuan periang. Keduanya duduk berhadapan di restoran terbuka yang dikelilingi pepohonan rimbun. Suasananya sedikit temaram, dan tidak banyak pengunjung yang datang. Musik jazz mengalir memenuhi udara di sekitar mereka, saat Nayyala tersenyum dikulum, memperhatikan Raesaka yang sedang menyendok nasi ayam teriyaki. “Kakak kerja di mana sekarang?” tanya Raesaka. “Di toko buku Citraloka, jadi kasir lagi,” jawab Nayyala. “Kak Prisha?” Nayyala angkat bahu dan menggelengkan kepala. Katanya, “Udah lama enggak ada kabar dari dia, selain pernikahannya.” “Menikah?” Raesaka hampir tidak percaya, matanya membulat. “Kapan? Sama siapa?” “Satu tahun yang lalu, sama orang Baralingga. Pestanya di luar pulau, jadi aku enggak datang.” “Kok aku enggak dikasih kabar, ya?” Kening
last updateLast Updated : 2024-03-22
Read more

Bab 8 Prisha

“Re, apa kabar?” sapa Prisha.Hawa panas memenuhi ruang mobil tahanan, saat Raesaka mengamati enam punggung terdakwa pelaku terorisme, yang dijadwalkan akan menjalani persidangan hari ini. Satu rekannya yang lain, berjaga di dekat pintu keluar. Ia teringat ibunya pernah membicarakan soal asas praduga tidak bersalah. Ibunya tahu betul tentang itu, dan menjelaskannya berkali-kali sampai terdengar membosankan, seakan itu pengingat supaya Raesaka tidak bertingkah main hakim sendiri.“Ibu semestinya masuk sekolah hukum,” kata Raesaka waktu itu. “Ibu pintar dan berwawasan luas.”Ucapan itu membuat ibunya diam cukup lama, lalu tertawa seperti sedang mendengar humor yang tidak lucu. Demi milyaran menit yang telah berlalu, Raesaka belum pernah menyaksikan ibunya tertawa seperti itu—langit-langit mulutnya yang kemerahan, mengkilat dan basah, dan anak tekaknya sampai terlihat. Bahu ibunya sampai bergetar, dan tangannya menepuk-nepuk meja sambil cegukan. Dengan canggung, Raesaka ikut tertaw
last updateLast Updated : 2024-03-23
Read more

Bab 9 Prisha part 2

Prisha duduk di lantai koridor pengadilan, bahunya bersandar pada pilar, mengamati area pengadilan yang diramaikan oleh kehadiran para wartawan yang akan meliput persidangan terdakwa terorisme. Sama seperti dua minggu yang lalu, ia mengenakan celana gading pegawai negeri sipil dan kaos putih bercorak, tetapi tanpa kemeja almamaternya. Sesekali, ia melirik ke ruang sidang yang terbuka, di mana suaminya sedang menunggu giliran sidang.Di samping Prisha, ada wanita berusia empat puluhan bersetelan resmi hitam-hitam, yang kemudian berdiri menghampiri Wandra, dan mengobrol. Itu adalah ibu Padma, tetangga yang tinggal di dekat rumahnya Wandra. Kedua tangannya mendekap dua map berisi berkas-berkas. Ada sebentuk logo dan nama universitas pada permukaan map yang dibawanya.“Ibu dipanggil jadi saksi,” kata wanita berambut pendek itu, berdiri membelakangi Prisha. Sesekali ia mengusap kemejanya, menyingkirkan debu yang sebetulnya tidak ada di sana. “Padahal, hari ini ada jadwal ngajar di kampus.
last updateLast Updated : 2024-03-24
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status