Semua Bab Seribu Pintu Sindukala: Bab 41 - Bab 50

62 Bab

Bab 40 Zurek

“Namaku Zurek, orang yang berkuasa di wilayah ini.” Sindukala dan Marsala mengira Zurek dan keenam temannya (yang tidak melepas maskernya) adalah orang-orang suruhan Lily untuk membantunya merampas tanah ini. Ternyata, mereka hanya sekumpulan preman kampung yang menginginkan uang. Tanpa sepengetahuan Marsala, Sindukala sering kali dikunjungi orang-orang perwakilan Zurek yang meminta sebagian uang penjualan hasil kebun, namun Sindukala tidak pernah memberi mereka sepeser pun.Mereka membakar kayu-kayu di pekarangan depan, sehingga terbentuk api unggun yang cukup besar. Sindukala dan Marsala duduk dalam keadaan dibelenggu di sekitar api, tidak terkecuali Lily, teman lelakinya, dan Muria—mereka tidak dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini; mulut, tangan, dan kakinya ikut dibelenggu.Teman-teman Zurek yang lain berkeliaran di sekitar rumah, mengambil sejumlah uang, laptop, ponsel, televisi dan motor. Mereka juga membawa semua lukisan Marsala dan membakarnya. Padahal, lukisan-lukisan itu
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-25
Baca selengkapnya

Bab 41 Dilipat Gelap

“Rae dibawa ke Lindunagari besok aja ya, Mars. Dia masih betah di Niskala.” Suara Abhinanda menggema melalui ponsel bekas yang dibeli Sindukala kemarin. “Kamu kenapa kok tiba-tiba ganti nomor? Sindu juga enggak bisa dihubungi.” “Ponselnya ada yang nyolong.” Marsala berbohong sambil melirik ke jendela, melihat suasana di luar yang sudah gelap, dan menutup tirai.“Oh, gimana ceritanya?”“Panjang, Mah.” Marsala menghela nafas dan kembali duduk di sisi ranjang. “Kapan-kapan aja Marsala ceritain.”Usai menutup obrolan, tanpa sengaja Marsala menjatuhkan ponsel itu ke lantai. Layarnya retak sedikit, tapi masih bisa menyala. Ia taruh ponsel itu di dekat bantal, mengamatinya sambil menggigiti kuku jari, sementara kepalanya berpikir acak. Ia tersentak mendengar pintu yang dibuka Sindukala. Suaminya masuk membawa dua mangkuk bubur asin polos dan dua gelas minuman yang ditaruh di atas nampan.“Kamu baik-baik aja?” tanya Sindukala, menyimpan nampan itu di meja.Marsala menggeleng. Jelas ia tidak
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-26
Baca selengkapnya

Bab 42 Berbanding Terbalik

Darah mengalir dari luka sobek pada lutut kiri Sindukala yang membengkak, dan Marsala geram, sekaligus tidak percaya apa yang sedang dialami suaminya sekarang. Mereka tidak hanya menuduhnya merampas tanah milik Lily, memalsukan dokumen dan surat-surat, tetapi juga menuduhnya melakukan tindakan kekerasan sexual terhadap Lily.Bagaimana dengan laporannya kemarin, Zurek dan lainnya? Bukankah Lily dan teman lelakinya termasuk korban? Ada apa ini? Kenapa jadi begini?“Soal luka (di lututnya),” jelas kepala unit kriminal, “itu karena pada saat ditangkap, dia berusaha kabur, lantas jatuh dan lututnya membentur aspal.”“Bapak pikir saya bodoh?” gumam Marsala, lututnya gemetar. Dari sudut matanya, terlihat Sindukala duduk di kursi yang lain, memeluk Raesaka. Wajah keduanya muram (meskipun tidak memahami apa-apa, Raesaka seolah dapat merasakan kesedihan dan ketegangan yang berpendar di ruangan sempit itu). “Saya bisa membedakan mana luka jatuh, dan mana luka yang dipukul. Saya tahu, pasti ada s
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-27
Baca selengkapnya

Bab 43 Besi

“Tiga hari setelah menemui Sindu di kepolisian sektor Lindunagari, aku bangun di hari yang aneh, baik aroma mau pun atmosfernya. Semua benda di sekelilingku membiru, janggal, bengkok-bengkok, dan dingin. Enggak ada yang menyadari keanehan itu selain diriku sendiri.” Tapi, Marsala tidak bisa menjabarkan setiap bentuk yang dilihatnya, seakan-akan istilah “bentuk” itu sendiri tidak pernah ada dari awal. Dia diberi pakaian, namun merasa sangat telanjang. Telapak kakinya kotor tidak beralas. Jajaran besi yang mengurungnya sendirian, meninggalkan aroma yang tidak menyenangkan pada telapak tangannya. Satu per satu, tembok-tembok beton bermunculan dari permukaan tanah, membentuk benteng yang meninggi hingga mencapai langit. Dari setiap celah benteng itu, semua mata tertuju kepada Marsala, membicarakannya sekaligus mengecamnya. Ketika Marsala balas memandang, mata-mata itu berpaling dan menutup celahnya. Di hadapan keluarga, teman-teman, bahkan ibunya sendiri, ia menjadi asing dan jauh. Jeru
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-28
Baca selengkapnya

Bab 44 Catra

Selama tujuh hari berturut-turut, Marsala menyembunyikan rasa syok-nya—tidak pernah mengira ia tidak akan bertemu Sindukala lagi. Setiap kali menengok ke luar jendela, selalu ada dua atau tiga orang tidak dikenal berkeliaran di sekitar rumah yang dikontraknya, di Minara (Marsala menolak ikut bersama ibunya ke Niskala).Sampai detik ini, ia tidak tahu di mana jenazah suaminya berada. Ia mendatangi kepolisian Lindunagari, namun jawabannya tetap sama. Mereka tidak memberitahukan di mana jenazah Sindukala disimpan, selain masih dalam keperluan autopsi, dan mereka telah mengurus laporan dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian Sindukala yang dilakukan beberapa tahanan. Saat Marsala ingin bertemu para pelaku, petugas itu mengatakan bahwa mereka sudah dipindahkan ke rumah tahanan lain.Tidak ada yang setuju dengan kecurigaannya yang menduga Sindukala bukan meninggal karena dikeroyok sesama tahanan, melainkan oleh para oknum kepolisian. Memikirkan tentang oknum, Maruk adalah orang yang m
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-29
Baca selengkapnya

Bab 45 Pinggala

Setelah mengobati luka pada sikunya, Marsala melirik ke kaca spion, melihat dua teman Maruk—entah sesama polisi atau bukan, Marsala tidak bertanya—berdiri di belakang bak mobil, mengobrol sambil mengawasi sekitar. Aroma persawahan yang mengapit jalan lingkar selatan Narwastu, mengalir dari sela-sela jendela.“Aku tahu tujuan kamu mencariku,” ujar Maruk, yang duduk di samping Marsala di kabin belakang. “Kamu pasti ingin memastikan kematian Sindu.” Ia terkekeh singkat, dan keduanya saling berpandangan. Maruk menggeser duduknya, mendekati Marsala; telapak tangannya terangkat, menempel pada kaca jendela, dan tubuhnya yang besar menaungi Marsala. Walaupun rasa takut mengepung hatinya, Marsala tidak melepas pandangannya dari Maruk. Punggungnya menempel pada pintu mobil, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Maruk.“Dengar,” bisik Maruk. “Setelah kamu bertemu Sindu, kamu pulang dan lupakan semuanya. Kasus suamimu enggak pernah ada sejak awal, dan terima saja kematiannya.”“Jadi.. Sindu...”
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-30
Baca selengkapnya

Bab 46 Aamodini

Maruk melarikan Marsala ke klinik. Dokter yang menangani lukanya, memberi saran agar Marsala dirawat inap, namun Maruk malah membawanya ke penginapan yang lokasinya cukup jauh dari keramaian kota. Di bawah pengaruh obat, mata Marsala hanya setengah terbuka, memandang Maruk yang duduk di sampingnya.“Untung cuma keserempat peluru,” gumam Maruk. “Tapi, kita harus tunda keberangkatan kita. Seenggaknya, untuk semalam.”Marsala mengangguk lemah.“Dengar,” lanjut Maruk. “Urusanmu berhenti di Catra. Artinya, mau enggak mau, kamu harus terima kematian Sindu. Kamu enggak bisa melangkah lebih jauh lagi dari ini. Aku serius, Mars. Pokoknya, lanjutkan hidup kamu seperti biasa, dan fokus saja mengurus anakmu.”Marsala mengangguk lagi. Ia meraih tangan Maruk dan menaruhnya di pipinya sendiri, lalu memejamkan mata. Tidak menyadari pipinya yang memerah, Maruk tercenung, memandangi Marsala yang sudah melayang ke dunia mimpi. Nafas Maruk tercekat, jemarinya gemetar, menelusuri bentuk halus pipi, r
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-05-01
Baca selengkapnya

Bab 47 Cungkup Tanah

“Di penghujung waktu, penderitaan harus diterima seperti kutukan. Penderitaan yang tidak memiliki makna, yang tidak memberi kekuatan, dan tidak pula berdampingan dengan kebahagiaan, yang ketika ditanya kenapa, jawabannya sunyi. Tapi, terkadang kita menemukan puncak kesenangan di dalam penderitaan, dan aku berpikir, mungkin Tuhan juga ikut tertawa, menertawakan kita. Apa kamu pernah berpikir bahwa hidup kita ini cuma lelucon bagiNya?”Raesaka menunduk, mengamati nama Sindukala yang terukir pada nisan di atas pusara palsu itu, tersorot sinar purnama raksasa yang menggantung rendah di langit gelap. Puncak-puncak pegunungan meninggi, tanah menggeliat lambat, dan angin bersemilir mempermainkan dedaunan dan rerumputan, menerbangkan aroma kacapiring bersama kunang-kunang dan kupu-kupu beraneka warna. Suara-suara binatang malam mengiringi Marsala dan Arabela yang menari di atas tanah kosong. Keduanya bertelanjang kaki, tertawa, berpelukan, berciuman, dan kembali muda.Sebagian genting rumah
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-05-02
Baca selengkapnya

Bab 48 Puzzle

“Kamu mau tahu, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Damian, memasukkan beberapa sendok krimer bubuk ke dalam kopi dan mengaduknya cepat-cepat, sambil sesekali memandang Raesaka yang duduk di hadapannya. Asap rokok melingkar-lingkar di udara sekitar mereka, bercampur aroma rerumputan basah dari luar jendela.Damian, lelaki tinggi yang mewarnai rambut pendeknya dengan cat warna coklat kemerahan, tetapi catnya sudah agak memudar, sehingga terlihat sebagian rambutnya yang memutih. Wajahnya yang lonjong membingkai alis dan kumisnya yang tebal, hidung mancung, serta rongga matanya yang agak menjorok ke dalam, yang membuat bola matanya sering kali tampak samar jika berada di bawah cahaya temaram.Damian menjadi salah satu pengacara yang mendampingi Marsala menjalani persidangan. Selama beracara, Damian sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari pihak keluarga Marsala; salah satunya adalah menghalang-halangi dirinya menemui Raesaka.“Jual beli tanah antara ibunya Sindu dengan Ardiwilag
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-05-04
Baca selengkapnya

Bab 49 Dewangga

Gimana kabar kamu, Re?” Dewangga duduk di sofa ruang tamu, tersenyum singkat. Kehadirannya sangat canggung, sehingga Raesaka merasa pertemuan ini aneh, seakan-akan mereka orang asing yang baru berkenalan.“Kebetulan,” Dewangga mengusap kedua telapak tangannya, “Oom mau ke Teluki—ada proyek yang harus dikerjakan—jadi mampir ke sini, sekalian ngobrol soal ibu kamu.”“Iya, Oom.” Raesaka mengangguk, melirik sebentar pada cangkir teh tawar yang ia suguhkan untuk pamannya.“Keluarga bukannya enggak mau bicara. Kami sudah sepakat enggak akan membahas masa lalu ibu dan ayah kamu sejak Marsala kecelakaan dan koma. Ini rumit sekali,” jelas Dewangga. “Dan yang menulis kanker tulang pada surat kematian ayah kamu itu inisiatifnya Nenek, tanpa ada tekanan dari siapa pun. Iya, kami memang mendapat tekanan dari pihak “itu” dulu, tapi yang jelas bukan itu alasannya. Setelah siuman, ada sebagian memorinya yang hilang, salah satunya memori kematian suaminya, jadi Nenek sebetulnya ingin membentuk memo
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-05-05
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status