Home / Thriller / Seribu Pintu Sindukala / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Seribu Pintu Sindukala: Chapter 11 - Chapter 20

62 Chapters

Bab 10 Disorientasi

“Gimana kalau kita cari si bangsat ini?” tanya Purangga melalui telepon.“Siapa maksud kamu?” Raesaka bertanya balik, keningnya mengerut.“Maruk,” jawab Purangga, menyebut nama penjahat yang menjadi target pencarian oleh kepolisian. Walaupun suaranya rendah dan terkesan kosong, terselip kebencian yang gelap dari nadanya. “Kita hajar dia sampai mati, atau kalau perlu kita seret dan kita permalukan dia di depan publik.” Mendengar itu, Raesaka menjadi merinding. Ia tidak pernah mengira Purangga yang pemalu, melontarkan kata-kata seperti itu. Tapi, Raesaka paham, mau sebanyak apa pun cuti yang dia ambil, tidak akan meredam kekalutannya, apalagi menyelesaikan situasi yang dialaminya. Di sisi lain, ia juga menyadari bahwa Purangga tidak benar-benar ingin menangkap Maruk. Purangga hanya ingin segera menyelamatkan kakaknya.“Enggak mungkin kita bertindak di luar prosedur, Pur. Kamu tahu itu, bukan?” ujar Raesaka.“Si Maruk sendiri bertindak di luar aturan!” geram Purangga. “Mereka bahk
last updateLast Updated : 2024-03-26
Read more

Bab 11 Fever

“Rae.” Gaduhnya pintu yang dibuka, langkah-langkah kaki yang sibuk, dan keriuhan orang-orang, menumpuk suara Purangga.Kaget, Raesaka membuka matanya dan menoleh cepat, mendapati dirinya sedang berbaring di kursi, dan Purangga yang berlutut di sampingnya, menatapnya tanpa senyuman. Di belakang Purangga, dua kepala rekannya yang kelabu, bergerak-gerak menertawakannya. Bingung, Raesaka mengangkat kepala dan bahunya ketika Bu Dhatri muncul dari balik pintu.“Orang pingsan jangan diketawain,” tegur Bu Dhatri sambil membungkuk, menaruh semangkuk bubur asin yang hanya ditaburi bawang goreng dan irisan telur, disertai teh manis hangat di meja. Kemudian, ia menoleh kepada Raesaka, memintanya supaya segera makan sebelum wanita setengah baya itu meninggalkan ruangan.“Kenapa aku ada di sini?” bisik Raesaka.“Kamu pingsan pas apel,” jawab salah satu rekannya. “Kita semua yang gotong kamu ke sini.”“Apel?” Raesaka melihat topi baret miliknya di meja, lalu mengamati seragamnya selama beberapa s
last updateLast Updated : 2024-03-27
Read more

Bab 12 Fever Dream

Raesaka menolak ajakan Purangga yang bersedia mengantarnya ke dokter. “Pernah satu kali,” kata Raesaka di bawah tekanan menyakitkan di kepalanya dan tubuhnya gemetar samar, “aku pergi ke dokter umum di dekat rumah di Niskala, setelah jempol kakiku digigit nyamuk dan sakitnya seperti disengat lebah, lalu aku demam.” “Ah, barangkali itu memang lebah, Re.” Purangga menyesap air di gelas dan terkekeh. “Enggak, enggak, itu beneran nyamuk, kok. Sakitnya memang kayak habis disengat lebah, tapi enggak gatal dan enggak bengkak. Aku lantas bilang sama dokternya, kayaknya aku kena chikungunya. Aku malah dikatain sok tahu sama dokternya, dan cuma dikasih obat pereda sakit dan penurun panas.” “Terus, kondisi kamu gimana?” “Ya, makin parah. Aku demam tinggi malam harinya. Yang sakit bukan lagi jempol, tapi semua persendian, dan baru sembuh sepuluh hari kemudian. Saking sakitnya, aku enggak bisa bangun, dan aku pikir, aku lumpuh, Pur. Tapi, enggak ada yang percaya kalau aku kena chikungunya. Mer
last updateLast Updated : 2024-03-28
Read more

Bab 13 Abhirumi

Raesaka membuka mata, melihat siling yang semula buram kini tampak jelas, menyadari kekeliruannya yang mengira neneknya adalah ibunya. Senyuman dan sentuhan neneknya menyambutnya kala itu. Rambutnya yang keriting pendek dan kelabu, berkilat-kilat diterpa cahaya dari luar jendela. Tubuhnya yang pendek tetapi tidak bungkuk, bergerak-gerak di sekitar ranjang Raesaka.“Kapan Nenek datang?” tanya Raesaka sambil menyentuh plester penurun panas di keningnya. Pergi, kata Raesaka dalam hati. Tinggalkan Rae sendiri, Nek. Nenek mengganggu!“Kemarin malam saat kamu tidur—ceroboh sekali kamu enggak kunci pintu depan,” jawab neneknya yang kini sedang memeriksa kotak obat di ujung ranjang. “Setelah tahu kamu sakit, Nenek langsung berangkat ke sini.”“Dari mana Nenek tahu aku sakit?” tanya Raesaka lagi setelah meneguk air.Neneknya menghela nafas pendek, mengangkat wajahnya dan menjawab, “Sena yang kasih kabar. Duh, seperti apa ya dia sekarang? Sudah lama Nenek enggak ketemu Sena.”“Maksudnya?”“M
last updateLast Updated : 2024-03-29
Read more

Bab 14 Muntingia

Ketika lidah pahitnya berusaha menikmati potongan tumis jamur, Raesaka melihat kepulan asap kelabu, yang berputar-putar di sudut siling di atas lemari dapur. Kepulan asap itu berbisik-bisik, membentuk beberapa ekspresi wajah yang berbeda, asing, dan samar. Keberadaannya tidak disadari neneknya dan Arumi, dan Raesaka sudah tidak lagi merasa heran.Di antara wangi-wangi gurih ikan goreng, sambal, dan tumis sayuran, Raesaka melirik kepada neneknya yang sedang menambah beberapa centong nasi ke piring Arumi. Ia mendengar neneknya berkata, “Ayo, ambil nasinya yang banyak. Apa kamu pemilih? Enggak ‘kan?”“Enggak, Nek,” gumam Arumi sambil sesekali melirik kepada Raesaka, berharap pacarnya itu bisa menghentikan apa yang dilakukan neneknya. Jelas Arumi berbohong. Dia tidak suka jamur dan sayuran, jadi dia hanya mengambil ikan goreng dan sedikit sambal, dan diam-diam menyingkirkan potongan bawang dan tomat ke sisi piring. Raesaka tahu betul apa yang ada dalam pikiran pacarnya saat ini: ingin
last updateLast Updated : 2024-03-30
Read more

Bab 15 Sakarumi

“Aku mau lihat perpustakaan kamu, boleh ‘kan?” kata Arumi ketika Raesaka sedang mengamati layar ponselnya, memeriksa kapan Purangga terakhir kali online.Sebetulnya, Arumi tidak sungguh-sungguh ingin ke perpustakaan, selain menghindari obrolan Raesaka dan neneknya yang terlalu intens. Tapi, muncul rasa penasaran, apa yang sedang dibicarakan keduanya ketika dirinya tidak ada? Jadi, Arumi berdiam diri di dekat pintu, menyimak obrolan Raesaka dan neneknya yang melebur dengan suara televisi.Arumi berharap kedatangannya ke sini bisa mencairkan suasana yang kaku, dan menghibur Raesaka. Semenjak meninggalkan Niskala, Raesaka menjadi agak sinis, terlalu serius, dan misterius. Sekarang, dia juga menolak diurus, seakan-akan kehadiran Arumi mengganggunya. Arumi sama sekali tidak bermaksud menyetujui apa yang diucapkan neneknya Raesaka tadi siang, tetapi alangkah baiknya Raesaka melupakan ibunya dan persoalan Sindukala barang sejenak.Sambil menatap refleksinya di cermin lonjong yang menggantu
last updateLast Updated : 2024-03-31
Read more

Bab 16 Cherry Red

“Hukum dan keadilan itu saling menyokong satu sama lain,” kata ibunya suatu hari. “Tapi, itu semua cuma ada di buku. Nyatanya, keduanya seperti dua sisi mata uang. Apalagi, di negeri koruptif seperti ini, kita harus melewati banyak pintu agar mereka saling bertemu.”Langit cerah berbintang tanpa bulan, melengkung menaungi gedung-gedung tinggi di sisi kiri dan kanan jalan. Raesaka berkendara dengan kecepatan tertentu, melewati jalan tol menuju tempat di utara Narwastu. Musik pop bervolume sedang mengalun pelan di setiap sudut ruang mobil.Di samping Raesaka, Prisha yang memakai sweater dan hoodie berwarna merah hati bertuliskan Paramarta University, dan jeans panjang kelabu tua, duduk sambil menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Tiga hari sebelumnya, di tengah pikirannya yang selalu merasa sial, dan kekalutan akan nasib suaminya, Prisha mendapat dua tiket gratis menonton mini konser Cherry Red, band beraliran indie kesukaannya. Raesaka tidak pernah tahu tentang band ini, sampa
last updateLast Updated : 2024-04-01
Read more

Bab 17 Purangga

“Bekerja keraslah kalian diiringi loyalitas yang tinggi, ketabahan, dan tanpa pamrih!” seru pimpinannya, membangunkan Raesaka, entah untuk yang ke berapa kalinya. “Ingat sumpah dan janji kalian pada negeri ini! Walaupun darah tertumpah di antara tulang-tulang yang remuk, demi tegaknya hukum dan keadilan, langkah kalian tidak boleh mundur sedikit pun!” Dinaungi lengkungan langit berbintang, Raesaka yang sudah mengenakan seragam lengkap dan serba hitam, berdiri di antara rekan-rekannya di lapangan basah yang terletak di dalam lingkup markas. Pimpinannya berdiri tanpa podium, mikrofon, mau pun speaker. Kepulan uap keluar dari mulutnya saat berbicara. Nada bicaranya terdengar biasa namun tegas, melontarkan kalimat yang memuat dorongan dan semangat, merobek kesunyian yang sejak tadi meliputi Raesaka dalam dingin.Begitu mendapat perintah untuk menjalankan misi ini, waktu bergerak lebih cepat dari biasanya. Setiap detiknya menggedor-gedor kesadarannya, seakan-akan ia diharuskan untuk sel
last updateLast Updated : 2024-04-02
Read more

Bab 18 Samara

Pepohonan yang tinggi dan rimbun menghalangi pemandangan langit. Gemerisik dedaunannya mengiringi bunyi detak jantung dan langkah mereka. Debu-debu kering yang diterbangkan angin, cukup mengganggu pandangan, tetapi Raesaka terus berjalan, menembus kabut tipis yang dingin. Tempat ini benar-benar asing. Sementara Ivan bersiaga, Raesaka mengamati orang yang duduk dalam keadaan terikat itu. Kepalanya ditutup kain kotor. Nama yang terjahit pada kemejanya yang lusuh memang Purangga. Mula-mula, dengan hati-hati ia menyentuh pergelangan tangan orang itu, dan mendapati masih ada denyutnya walaupun lemah. Ketika Raesaka mau membuka kain yang menutupi kepala orang itu, ia mendengar Ivan bertanya, “Apa kamu berpikir juga, kalau ini misi jebakan?” “Jangan ngomong yang enggak-enggak,” tepis Raesaka. Mungkin Ivan berkata begitu karena ini pertama kalinya ia terlibat dalam misi yang lebih berbahaya (yang biasanya hanya ia dapatkan melalui latihan atau simulasi), tetapi Raesaka tidak peduli. Ia men
last updateLast Updated : 2024-04-03
Read more

Bab 19 Labirin

Diikuti para personelnya, Akarsana melangkah cepat menelusuri jalan panjang yang semakin suram dan dingin. Di akhir jalan, ketika ia mau melewati sebuah lawang, anak buah Maruk muncul—satu, tiga, lima—berlompatan dari balik reruntuhan. Mereka memilih bungkam saat Akarsana bertanya tentang lokasi Maruk dan para warga yang disandera. Tanpa banyak bicara, para kriminal itu menyerang.Namun, ada satu hal yang membuat Raesaka terganggu. Matanya mengerjap lebih sering dari biasanya, berpikir terkena debu atau iritasi. Ia tercenung beberapa kali, mencoba memahami apa yang terjadi. Meskipun serangan para kriminal itu dapat dengan mudah ditangkis dan dilawan balik, Raesaka tidak dapat melihat jelas wajah mereka. Mata, telinga, dan mulut mereka ditutupi lapisan buram, seperti uap embun pada permukaan cermin. Setelah para kriminal itu dikalahkan, tangan dan kaki mereka diikat supaya tidak melarikan diri.Hal yang sama terjadi lagi begitu memasuki jalan berikutnya, dan Raesaka yakin, hanya dir
last updateLast Updated : 2024-04-04
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status