Semua Bab Seribu Pintu Sindukala: Bab 31 - Bab 40

62 Bab

Bab 30 Arumi

Dinaungi suasana cafe yang riuh rendah, keduanya duduk berseberangan, dan terlihat sangat asing. Arumi, yang selalu berusaha menghindari pandangan Raesaka, hanya makan sedikit dan tidak berbicara banyak—ia bahkan tidak ceria seperti biasanya. Kadang-kadang, gadis itu tampak tidak nyaman dengan kursi yang didudukinya, berkali-kali menunduk, seakan-akan ia sedang dalam keadaan waspada karena takut jatuh dari lantai dua. Dia menjadi agak kikuk dan kehilangan fokus.“Kamu sakit, Rum?” tanya Raesaka, curiga.“Hah?” Kali ini Arumi mengangkat kepalanya, menatap Raesaka sambil menyematkan rambutnya ke belakang telinga, lalu menunduk dan mengerutkan kening. “Oh... enggak kok.”“Terus, kenapa makannya enggak dihabisin? Kamu suka zuppa zoup ‘kan?” Pandangan Raesaka terus tertuju pada Arumi.“Tadi.. sebenernya, aku udah makan di rumah, jadi aku...” Tiba-tiba Arumi mengangkat tangannya, menutupi mulutnya sendiri, dan menatap Raesaka selama beberapa detik, lalu berpaling. Masih sambil menutupi mulu
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-15
Baca selengkapnya

Bab 31 Mahawira

“Ibu pernah baca buku bagus—Ibu lupa judul bukunya apa,” kata Marsala di pagi hari. “Buku itu bercerita tentang seseorang yang mencari harta karun hingga ke pelosok negeri. Dia bertemu berbagai macam orang, salah satunya orang pintar dan bijak yang dikira penyihir oleh warga sekitar. Setelah berkelana panjang dan lama, apa yang dicarinya selama ini rupanya terkubur di halaman rumahnya sendiri. Ah, Ibu ingin baca buku itu sekali lagi. Andai aja Ibu ingat judul bukunya, mungkin bisa kamu carikan suatu hari.” “Terus, apa yang mau Ibu sampaikan?”“Nah, kesimpulan dari cerita itu adalah sering kali apa yang kita cari sesungguhnya sudah ada di dekat kita.”“Apa Ibu bertemu Ayah seperti itu juga? Tiba-tiba dia muncul di halaman depan rumah?” tanya Raesaka, yang kemudian terpana mendengar tawa ibunya gara-gara candaannya, tapi ibunya hanya tertawa, tidak membicarakan suaminya.* * *Air kran membasuh wajahnya beberapa kali. Di depan cermin, titik-titik air mengalir di pipi dan dagunya
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-16
Baca selengkapnya

Bab 32 Bangkawara

“Pantas wajahmu familiar. Ternyata kamu anaknya Marsala,” kata Maruk. “Firasatku benar, kita pasti bertemu lagi.”Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Bangkawara merupakan tempat binaan bagi para narapidana yang melakukan tindak pidana khusus. Lapas itu terletak di atas daratan berbentuk lingkaran yang berada di tengah danau besar. Jika dilihat dari langit, penampakannya mirip sebuah mata yang memandang ke atas, berwarna hijau kebiru-biruan, berkilauan tersorot matahari—seperti mata Maruk, yang memandangnya tajam hampir tidak berkedip.Berbalut baju tahanan, Maruk duduk di kursi kayu. Kedua tangan dan kakinya diborgol, yang rantai borgolnya terkunci pada lantai di bawahnya. Rambutnya yang indah sudah dicukur habis sampai licin. Namun, ia tidak kehilangan karisma, ketampanannya, serta auranya yang agak.. buruk, yang menggertak Raesaka dalam hening, supaya ia segera menyudahi percakapan ini.“Gimana kamu bisa mengenal ibu saya?” tanya Raesaka usai menyalakan aplikasi perekam di ponselnya.
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-17
Baca selengkapnya

Bab 33 Belulang

Cahaya meredup saat Raesaka membalas tatapan Nawasena.Warna merah merambat di permukaan kulit pimpinannya yang agak berkeringat. Bibirnya terkatup, rahangnya menegang, dan pipinya berdenyut-denyut, sementara kedua tangannya berada di pinggang. Lima belas menit yang lalu, ia memarahi Raesaka habis-habisan, karena mengetahui Raesaka membuat surat keterangan sakit palsu dan memalsukan tanda tangannya pada surat tugas yang disusunnya sendiri, demi pergi ke Bangkawara. Ia ingin sekali mengatakan betapa muaknya ia pada urusan Sindukala, namun suara Maruk yang keluar dari rekaman ponsel Raesaka, memaksanya diam dan menyimak.“....kami menghabisinya.” Suara khas Maruk memantul pada dinding ruangan.“...setelah Rahinakala tewas, kami menghapus perkaranya seolah-olah itu enggak pernah ada sejak awal...”“Kuburan ayahmu bukan di Sadajiwa, melainkan di Samara. Kami menguburnya di sana.”Raesaka, yang juga tidak mau berpaling dari Nawasena, mendengar rekaman itu dengan jantung berdebar. Bunyi
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-18
Baca selengkapnya

Bab 34 Peristiwa Itu

“Tempurung lutut kirinya pecah akibat dipukul benda tumpul. Dia juga mengalami luka-luka di bagian dada, wajah, dan kepala. Yang paling fatal di kepala. Tengkoraknya retak karena dibenturkan pada sesuatu, berkali-kali.” “Enggak ada jejak penyakit kanker tulang ‘kan?”“Kalau orang yang mengidap kanker tulang, biasanya tulang-tulangnya akan memiliki tekstur kasar seperti ditumbuhi duri, tetapi ini enggak sama sekali.”Raesaka mengingat kembali penjelasan dokter forensik tentang penyebab kematian Sindukala saat ia memandang tanah dan pusara ayahnya di bawah pohon kersen rumah ibunya. Hanya ditemani Sarbini, Sadeli, Ketua RT dan seorang ustadz, Raesaka mengikuti upacara kematian ayahnya. Walaupun sedih, hatinya kini (setengah) lega; ayahnya sudah dimakamkan di tempat selayaknya, dan menggunakan kain kafan yang baru.“Kalau tanah ini dijual, Anda harus memindahkan makam ini,” ujar Ketua RT.Raesaka melirik ke bawah, menggeleng samar dan berkata, “Saya enggak harus memikirkan itu sekaran
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-19
Baca selengkapnya

Bab 35 Sadajiwa

“Nenek minta maaf atas segalanya, tapi ada satu hal yang ingin Nenek sampaikan, bahwa secara pribadi, Nenek masih menganggap ibu kamu itu hanya mencintai suaminya, dan enggak pernah mempedulikan kamu. Kalau memang dia selama ini sayang sama kamu, Re, semestinya dia mampu dan kuat, layaknya para ibu yang lain. Dia bahkan mengurus kamu pun enggak mau, apalagi memperjuangkan kamu.” “Nenek bicara seolah kelahiran Rae itu suatu kesalahan.”Awan-awanan berwarna merah jingga berarak pelan di atas puncak pegunungan yang mengelilingi tanah kosong yang luas. Melalui jendela, Raesaka memperhatikan refleksi cahaya-cahaya lampu di permukaan kolam besar yang dipenuhi daun-daun teratai. Ada sebuah jalan setapak yang membelah kolam itu, yaitu jalan menuju rumah ibunya yang bercat putih, dan jauh lebih sederhana dengan jendela-jendela besar di setiap sisinya. Ada sebuah makam di halaman depan rumah itu, yang dikelilingi bunga-bunga kacapiring dan satu pohon kamboja. Makam itu, yang kini diketahui
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-20
Baca selengkapnya

Bab 36 Marsala

Raesaka berdiri di makam palsu itu, memandang nisannya yang bertuliskan nama Sindukala, dan berpikir mungkin ada sesuatu yang disembunyikan ibunya di bawah sana.Rumah ibunya membuat Raesaka bernostalgia, tapi rasanya aneh. Wangi kacapiring bercampur aroma khas Narwastu dan Niskala menari-nari di udara saat Raesaka berjalan menelusuri lorong pendek. Sebagian besar foto masa kanak-kanaknya terpajang di sepanjang dinding lorong, yang kemudian membawanya ke ruangan luas berwarna putih.Cahaya matahari dan angin di jam sembilan, mengalir masuk melalui jendela-jendela besar. Lukisan-lukisan, easel dan peralatan lukis, kertas dan kanvas, serta mesin fotocopy dan benda lainnya yang ada di sana, mengingatkan Raesaka pada Galeri Gardenia sekaligus rumah ibunya dan rumah neneknya.Ibunya sudah duduk di atas permadani merah di depan meja berkaki pendek. Ia memakai kaos hitam polos dan jeans overall yang kotor terkena cat. Rambut ikalnya tidak lagi panjang, melainkan pendek di atas bahu. Matanya
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-21
Baca selengkapnya

Bab 37 Marsala Part 2

Ibunya menjauh, sedangkan Raesaka duduk membungkuk di lantai. Kedua tangan Raesaka menyilang memeluk dadanya sendiri, menarik nafas dan menghelanya. Ia tidak lagi kuasa membendung air mata.Sesuatu yang aneh, seperti atmosfer atau mungkin semacam aliran udara, menembus pusat nalar Raesaka. Sesuatu itu membuatnya tenggelam dalam keputusasaan, perasaan kehilangan, sekaligus nostalgia akan memori yang menyedihkan. Penyesalan, kebencian pada diri sendiri, amarah, dan emosi buruk lainnya, terurai menjadi bulir-bulir air mata yang tumpah seperti air terjun, membasahi wajah dan permadani ibunya. Saat itu, Raesaka merasa sebagian jiwa ibunya merasuk ke dalam dirinya. Tangannya mengepal meninju lantai, menahan geliat menyakitkan jiwa ibunya.Raesaka mendongak, memandang ibunya yang tetap diam memperhatikannya. Di balik tetesan air mata, ibunya tersenyum, tapi tidak damai seperti tadi, melainkan jahat dan menghakimi. Tidak hanya ibunya, semua benda di ruangan ini, rumah ini, tanah dan seluruh
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-22
Baca selengkapnya

Bab 38 Lindunagari

Sindukala menaruh map berisi surat tanah di atas meja, di hadapan Marsala yang sedang menyuapi Raesaka makan malam. Sambil mengerutkan kening, Marsala menaruh piring makan Raesaka, mengambil map itu dan membaca berkas-berkasnya. Matanya membulat, dan bibirnya merekah sumringah. Di sana tertulis nama suaminya sebagai pemilik atas sebidang tanah seluas 1300 m2 yang terletak di kawasan Lindunagari.“Ini beneran tanah punya kamu, Ndu?” Marsala membaca sekali lagi nama suaminya saat Sindukala duduk di kursi yang lain, dalam keadaan sudah berganti pakaian dan menggenggam segelas air putih.“Ya beneran dong,” timpal Sindukala, mencium gemas pipi Raesaka dan memeluknya. “Kamu masih enggak percaya?”“Kamu beli atau...”“Enggak. Mendiang Ibu yang beli dari seseorang, terus dihibahkan ke aku. Di situ ada akta jual beli dan akta hibahnya.”Marsala mengambil akta hibah yang terselip di tengah, dan membacanya. Akta hibah itu resmi dilakukan di hadapan notaris. Kemudian, ia membaca akta jual beliny
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-23
Baca selengkapnya

Bab 39 Lily

Lily berkunjung ke Lindunagari di bulan ke tiga Muria bekerja di kebun Sindukala. Ia tidak bersama suaminya, melainkan lelaki yang tidak dikenal Marsala, namun wajahnya tampak tidak asing. Lily berkeliling, mengamati rumah dan kebun, memetik beberapa butir dewandaru yang ranum, dan mengunyahnya. Sindukala berbicara panjang lebar tentang bagaimana ia mendapatkan tanah ini. Mereka mengobrol sampai sore, dan meninggalkan sebungkus cemilan untuk Raesaka.Tiga minggu setelahnya, Lily kembali lagi bersama lelaki yang sama, yang namanya tidak pernah diingat Marsala hingga hari ini. Tidak banyak berbasa-basi, Lily mengatakan maksud dan tujuannya datang ke kebun Sindukala. Sambil memperlihatkan setumpuk surat yang dibungkus map kertas, dengan tenang Lily berkata, “Tanah ini milikku, Sindu. Tanah ini sudah diwariskan oleh ayahku sebelum dia meninggal. Ini semua adalah bukti-buktinya.”Rupanya Ardiwilaga, yang menjual tanah ke ibunya Sindu itu nama ayahnya Lily, pikir Marsala, baru menyadari.“
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-04-24
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status