“Tempurung lutut kirinya pecah akibat dipukul benda tumpul. Dia juga mengalami luka-luka di bagian dada, wajah, dan kepala. Yang paling fatal di kepala. Tengkoraknya retak karena dibenturkan pada sesuatu, berkali-kali.” “Enggak ada jejak penyakit kanker tulang ‘kan?”“Kalau orang yang mengidap kanker tulang, biasanya tulang-tulangnya akan memiliki tekstur kasar seperti ditumbuhi duri, tetapi ini enggak sama sekali.”Raesaka mengingat kembali penjelasan dokter forensik tentang penyebab kematian Sindukala saat ia memandang tanah dan pusara ayahnya di bawah pohon kersen rumah ibunya. Hanya ditemani Sarbini, Sadeli, Ketua RT dan seorang ustadz, Raesaka mengikuti upacara kematian ayahnya. Walaupun sedih, hatinya kini (setengah) lega; ayahnya sudah dimakamkan di tempat selayaknya, dan menggunakan kain kafan yang baru.“Kalau tanah ini dijual, Anda harus memindahkan makam ini,” ujar Ketua RT.Raesaka melirik ke bawah, menggeleng samar dan berkata, “Saya enggak harus memikirkan itu sekaran
“Nenek minta maaf atas segalanya, tapi ada satu hal yang ingin Nenek sampaikan, bahwa secara pribadi, Nenek masih menganggap ibu kamu itu hanya mencintai suaminya, dan enggak pernah mempedulikan kamu. Kalau memang dia selama ini sayang sama kamu, Re, semestinya dia mampu dan kuat, layaknya para ibu yang lain. Dia bahkan mengurus kamu pun enggak mau, apalagi memperjuangkan kamu.” “Nenek bicara seolah kelahiran Rae itu suatu kesalahan.”Awan-awanan berwarna merah jingga berarak pelan di atas puncak pegunungan yang mengelilingi tanah kosong yang luas. Melalui jendela, Raesaka memperhatikan refleksi cahaya-cahaya lampu di permukaan kolam besar yang dipenuhi daun-daun teratai. Ada sebuah jalan setapak yang membelah kolam itu, yaitu jalan menuju rumah ibunya yang bercat putih, dan jauh lebih sederhana dengan jendela-jendela besar di setiap sisinya. Ada sebuah makam di halaman depan rumah itu, yang dikelilingi bunga-bunga kacapiring dan satu pohon kamboja. Makam itu, yang kini diketahui
Raesaka berdiri di makam palsu itu, memandang nisannya yang bertuliskan nama Sindukala, dan berpikir mungkin ada sesuatu yang disembunyikan ibunya di bawah sana.Rumah ibunya membuat Raesaka bernostalgia, tapi rasanya aneh. Wangi kacapiring bercampur aroma khas Narwastu dan Niskala menari-nari di udara saat Raesaka berjalan menelusuri lorong pendek. Sebagian besar foto masa kanak-kanaknya terpajang di sepanjang dinding lorong, yang kemudian membawanya ke ruangan luas berwarna putih.Cahaya matahari dan angin di jam sembilan, mengalir masuk melalui jendela-jendela besar. Lukisan-lukisan, easel dan peralatan lukis, kertas dan kanvas, serta mesin fotocopy dan benda lainnya yang ada di sana, mengingatkan Raesaka pada Galeri Gardenia sekaligus rumah ibunya dan rumah neneknya.Ibunya sudah duduk di atas permadani merah di depan meja berkaki pendek. Ia memakai kaos hitam polos dan jeans overall yang kotor terkena cat. Rambut ikalnya tidak lagi panjang, melainkan pendek di atas bahu. Matanya
Ibunya menjauh, sedangkan Raesaka duduk membungkuk di lantai. Kedua tangan Raesaka menyilang memeluk dadanya sendiri, menarik nafas dan menghelanya. Ia tidak lagi kuasa membendung air mata.Sesuatu yang aneh, seperti atmosfer atau mungkin semacam aliran udara, menembus pusat nalar Raesaka. Sesuatu itu membuatnya tenggelam dalam keputusasaan, perasaan kehilangan, sekaligus nostalgia akan memori yang menyedihkan. Penyesalan, kebencian pada diri sendiri, amarah, dan emosi buruk lainnya, terurai menjadi bulir-bulir air mata yang tumpah seperti air terjun, membasahi wajah dan permadani ibunya. Saat itu, Raesaka merasa sebagian jiwa ibunya merasuk ke dalam dirinya. Tangannya mengepal meninju lantai, menahan geliat menyakitkan jiwa ibunya.Raesaka mendongak, memandang ibunya yang tetap diam memperhatikannya. Di balik tetesan air mata, ibunya tersenyum, tapi tidak damai seperti tadi, melainkan jahat dan menghakimi. Tidak hanya ibunya, semua benda di ruangan ini, rumah ini, tanah dan seluruh
Sindukala menaruh map berisi surat tanah di atas meja, di hadapan Marsala yang sedang menyuapi Raesaka makan malam. Sambil mengerutkan kening, Marsala menaruh piring makan Raesaka, mengambil map itu dan membaca berkas-berkasnya. Matanya membulat, dan bibirnya merekah sumringah. Di sana tertulis nama suaminya sebagai pemilik atas sebidang tanah seluas 1300 m2 yang terletak di kawasan Lindunagari.“Ini beneran tanah punya kamu, Ndu?” Marsala membaca sekali lagi nama suaminya saat Sindukala duduk di kursi yang lain, dalam keadaan sudah berganti pakaian dan menggenggam segelas air putih.“Ya beneran dong,” timpal Sindukala, mencium gemas pipi Raesaka dan memeluknya. “Kamu masih enggak percaya?”“Kamu beli atau...”“Enggak. Mendiang Ibu yang beli dari seseorang, terus dihibahkan ke aku. Di situ ada akta jual beli dan akta hibahnya.”Marsala mengambil akta hibah yang terselip di tengah, dan membacanya. Akta hibah itu resmi dilakukan di hadapan notaris. Kemudian, ia membaca akta jual beliny
Lily berkunjung ke Lindunagari di bulan ke tiga Muria bekerja di kebun Sindukala. Ia tidak bersama suaminya, melainkan lelaki yang tidak dikenal Marsala, namun wajahnya tampak tidak asing. Lily berkeliling, mengamati rumah dan kebun, memetik beberapa butir dewandaru yang ranum, dan mengunyahnya. Sindukala berbicara panjang lebar tentang bagaimana ia mendapatkan tanah ini. Mereka mengobrol sampai sore, dan meninggalkan sebungkus cemilan untuk Raesaka.Tiga minggu setelahnya, Lily kembali lagi bersama lelaki yang sama, yang namanya tidak pernah diingat Marsala hingga hari ini. Tidak banyak berbasa-basi, Lily mengatakan maksud dan tujuannya datang ke kebun Sindukala. Sambil memperlihatkan setumpuk surat yang dibungkus map kertas, dengan tenang Lily berkata, “Tanah ini milikku, Sindu. Tanah ini sudah diwariskan oleh ayahku sebelum dia meninggal. Ini semua adalah bukti-buktinya.”Rupanya Ardiwilaga, yang menjual tanah ke ibunya Sindu itu nama ayahnya Lily, pikir Marsala, baru menyadari.“
“Namaku Zurek, orang yang berkuasa di wilayah ini.” Sindukala dan Marsala mengira Zurek dan keenam temannya (yang tidak melepas maskernya) adalah orang-orang suruhan Lily untuk membantunya merampas tanah ini. Ternyata, mereka hanya sekumpulan preman kampung yang menginginkan uang. Tanpa sepengetahuan Marsala, Sindukala sering kali dikunjungi orang-orang perwakilan Zurek yang meminta sebagian uang penjualan hasil kebun, namun Sindukala tidak pernah memberi mereka sepeser pun.Mereka membakar kayu-kayu di pekarangan depan, sehingga terbentuk api unggun yang cukup besar. Sindukala dan Marsala duduk dalam keadaan dibelenggu di sekitar api, tidak terkecuali Lily, teman lelakinya, dan Muria—mereka tidak dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini; mulut, tangan, dan kakinya ikut dibelenggu.Teman-teman Zurek yang lain berkeliaran di sekitar rumah, mengambil sejumlah uang, laptop, ponsel, televisi dan motor. Mereka juga membawa semua lukisan Marsala dan membakarnya. Padahal, lukisan-lukisan itu
“Rae dibawa ke Lindunagari besok aja ya, Mars. Dia masih betah di Niskala.” Suara Abhinanda menggema melalui ponsel bekas yang dibeli Sindukala kemarin. “Kamu kenapa kok tiba-tiba ganti nomor? Sindu juga enggak bisa dihubungi.” “Ponselnya ada yang nyolong.” Marsala berbohong sambil melirik ke jendela, melihat suasana di luar yang sudah gelap, dan menutup tirai.“Oh, gimana ceritanya?”“Panjang, Mah.” Marsala menghela nafas dan kembali duduk di sisi ranjang. “Kapan-kapan aja Marsala ceritain.”Usai menutup obrolan, tanpa sengaja Marsala menjatuhkan ponsel itu ke lantai. Layarnya retak sedikit, tapi masih bisa menyala. Ia taruh ponsel itu di dekat bantal, mengamatinya sambil menggigiti kuku jari, sementara kepalanya berpikir acak. Ia tersentak mendengar pintu yang dibuka Sindukala. Suaminya masuk membawa dua mangkuk bubur asin polos dan dua gelas minuman yang ditaruh di atas nampan.“Kamu baik-baik aja?” tanya Sindukala, menyimpan nampan itu di meja.Marsala menggeleng. Jelas ia tidak
Usai melewati perjalanan panjang, Raesaka tiba di Sadajiwa.Keheningan dan gemuruh dari kejauhan menyambutnya di bawah naungan langit petang. Dia mengetuk pintu rumah Arabela, menengok ke dalam melalui jendela yang suram, dan tidak terdengar bunyi langkah mau pun sahutan. Ia baru ingat, Damian baru saja meninggal dan pasti Arabela masih berduka. Raesaka berlari kecil ke belakang rumah.Langkahnya bergema ketika Raesaka berjalan menyeberangi jalan setapak di atas kolam ikan, menuju ke rumah kecil ibunya. Ia berhenti di dekat makam palsu Sindukala yang kini dikelilingi semak-semak kering yang tidak terawat. Nafasnya sedikit memburu saat ia memutuskan mencari cangkul yang tidak ada di mana pun, selain di gudang.Gudang itu digembok, jadi ia meraih glock yang bukan miliknya, yang menggantung di panggulnya. Seraya menjaga jarak dan berhati-hati supaya tidak terkena serpihan yang bisa melukainya, Raesaka mengarahkan pucuknya ke gembok gudang dan melepaskan peluru beberapa kali—suaranya mene
“Boleh aku minta waktu buat mikir, Re?” suara Prisha mengakhiri keheningan. “Nanti aku kabari lagi.”“Iya, Kak. Boleh.” Raesaka menghela nafas dan mengangguk.Bunyi lembut deru motor yang dikendarainya menemaninya pulang melewati gemerlap malam. Hatinya membuncah karena kebahagiaan dan kelegaan usai mengungkapkan rasa cintanya kepada Prisha. Wajah dan senyuman teduh Prisha memenuhi pikirannya, bahkan saat berhenti di lampu merah pun, jiwanya seakan kembali ke rumah Prisha yang beraroma teh dan lavender. Kini ia bergantung pada harapan akan jawaban positif dari Prisha.Raesaka kembali ke rumah dan memarkir motornya di garasi. Begitu mau menutup pintu garasi, terdengar bunyi notifikasi dari ponselnya. Ia rogoh ponselnya dari saku celana jeans-nya, dan melihat ada pesan dari Arabela. Matanya melebar membaca isinya.“Rae, apa kamu ada di rumah? Hari ini Tante sedang berduka. Oom Damian meninggal usai minum kopi kemarin sore. Tante merasa ada seseorang yang meracuninya. Bisa kita ketemu da
Sebuah citra merasuk ke dalam kalbunya dan membentuk mimpi. Di sana, Raesaka melihat ibunya yang kembali muda, dibalut gaun pendek berwarna merah marun, berjalan tanpa alas kaki, menyusuri jalanan panjang dan sepi. Cahaya matahari yang lembut menyorot dari sela-sela pepohohan akasia dan mahoni yang menaunginya. Raesaka menghampirinya, dan ibunya menoleh padanya, memandangnya.Raesaka membalas pandangan ibunya, mengusap lembut wajah dan rambut ibunya sembari berkata, “Rae sayang sama Ibu.” Ia peluk tubuh mungil ibunya, lalu menikmati kecupan ringan ibunya di pipi. Setelah melepas pelukan Raesaka, bibir ibunya merekah, meninggalkan jejak-jejak kedamaian dan keindahan di hati Raesaka yang menangis. Ia berjalan mundur, berbalik dan kembali melangkah menjauhi Raesaka, entah ke mana.* * *Raesaka sudah berseragam dan wangi ketika memandangi makam ibunya di samping makam Sindukala, dan menaruh dupa di sana. Mungkin, mungkin saja, inilah kepergian dan pelepasan yang selama ini yang dii
Matahari yang hampir mendekati cakrawala terbingkai oleh jendela kamarnya. Warna ungu dan jingga merambat mewarnai langit. Perlahan-lahan, tanah bergerak, bergelombang dan berputar, menarik Marsala jauh ke suatu tempat di mana hanya ada dirinya, cakrawala gelap dan matahari raksasa yang bulat kemerahan.Pemandangan yang sedang dilihatnya kini berubah menjadi wajah seseorang yang selama ini dicintainya. Wajah yang kecoklatan, berhidung mancung, dan bermata sendu. Rambutnya yang pendek bergelombang, mengalir dipermainkan angin. Orang itu menoleh, memutar tubuhnya menghadap Marsala, dan melemparkan senyuman yang selalu dirindukan Marsala.Sindukala.Kedua mata Marsala berbinar memantulkan cahaya. Dadanya bergejolak akan kerinduan dan cinta yang tiada henti. Aroma khas suaminya meliputi dirinya saat mereka berpelukan dan saling berpandangan. Lalu, Sindukala membenamkan bibirnya pada bibir Marsala. * * *Bunyi kerangkeng besi yang ditutup dan digembok menggema keras di sepanjang loro
Musik yang diputar Marsala memenuhi ruangan dapur, menciptakan nuansa ceria dan hangat di pagi hari.Raesaka menyendok nasi goreng kencur dan telur mata sapi di piring, memperhatikan ibunya yang mondar-mandir, menaruh beberapa makanan ringan di atas meja, dan menyeduh secangkir teh kembang sepatu untuk dirinya sendiri. Sinar matahari menembus dari jendela, menyorot sosok mungilnya. Rambut ibunya diikat sedemikian rupa, dan beberapa helai rambut turun ke bahu dan punggungnya, membuatnya terlihat lebih anggun dari biasanya, walaupun dia hanya memakai daster pendek bercorak bunga-bunga.“Hari ini kamu ada dinas, Sayang?” tanya ibunya sembari menarik kursi dan duduk di seberang Raesaka.Raesaka menelan suapan nasi gorengnya sebelum ia menggeleng dan menjawab, “Oh, Rae dinas setelah maghrib, Bu. Sayang sekali, sebenarnya Rae ingin pergi ke Niskala, mau ikut doa tujuh hari kepergian Nenek. Ibu juga akan berangkat, bukan?”Marsala menyesap teh kembang sepatunya dan menggeleng. “Ibu batal be
Kicauan burung membangunkan Marsala di sore hari, dan ia membaca pesan dari Raesaka yang isinya, “Bu, malam ini Rae sedang tidak ada dinas, dan Rae mau pergi ke restoran sama Kak Prisha, jadi jaga diri Ibu baik-baik, ya. Rae tidak akan lama.”Matahari yang hampir mendekati cakrawala terbingkai oleh jendela kamarnya. Warna ungu dan kemerah-merahan merambat mewarnai langit. Marsala bangun dan duduk di sisi ranjangnya, memandangi jendela, menikmati hembusan angin yang menyentuh kulitnya. Pemandangan seperti ini selalu mengingatkannya pada suaminya dan segala hal tentang dirinya, bertumpuk bersama kenangan-kenangan. Kemudian, Marsala berdiri, menghampiri meja kerjanya.Marsala menunduk, mengamati potret-potret kecil wajah Sindukala yang ia lukis selama beberapa minggu terakhir. Tidak semua lukisannya selesai, ada yang setengah jadi, dan ada pula yang hanya berupa lukisan lingkaran mata Sindukala. Hanya ditemani bunyi nafasnya sendiri, jemari Marsala menelusuri permukaan dan sisi lukisan
“Mars benci Mamah, dan keluarga Mamah. Sampai Tuhan pun enggak sabar ingin segera menjebloskanku ke neraka, saking bencinya aku sama Mamah,” tutur Marsala. Tatapannya lebih rileks selama memandangi ibunya; suaranya rendah dan pelan, hampir tanpa emosi, seakan-akan dirinya semacam benda kosong yang tidak berjiwa. “Perasaan ini sudah mengerak sangat lama di hati Marsala, dan inilah saatnya Mamah mendengar semuanya.”Abhinanda menelan ludah, menahan godaan menghindari tatapan Marsala, dan keinginan untuk membantah, tapi mimik wajah putri sulungnya mengintimidasinya, menuntutnya supaya menuruti keinginannya.“Sadar enggak sadar, Mamah mengecewakan Mars berkali-kali. Mamah mengambil lagi kehidupan Mars yang telah Mamah berikan dengan cara Mamah sendiri. Betapa lembutnya tutur kata Mamah setiap kali memaksakan segala kehendak Mamah, membuatku enggak berani melawan. Mamah enggak pernah bersyukur punya anak seperti aku, dan oleh sebab itu, Mamah dan Papah menaruh harapan di luar kapasitas Mar
“Nay pikir si Rae bohong, ternyata benar, Ibu pulang,” seru Nayyala di teras depan, tertawa di antara air matanya. “Gimana kabarnya, Bu? Kita semua kangen sama Ibu.”Raesaka menengok dari balik dinding, melihat Nayyala berjalan masuk ke ruangan sambil menjinjing dua tote bag. Ia tidak datang bersama Aditya, melainkan Prisha. Mata Raesaka melebar dan jantungnya berdebar, memperhatikan Prisha yang sedang memeluk ibunya, dalam keadaan baik-baik saja. Setelah mematikan musik, Raesaka berjalan melewati ruangan televisi, menyambut kedua perempuan itu.“Kamu mau langsung berangkat?” tanya Marsala kepada Raesaka.“Oh, enggak, Bu. Masih ada waktu kok,” jawab Raesaka, mengusap matanya yang terasa kering usai tadi menangis, dan ia menjadi salah tingkah.“Kalau gitu, bisa kamu bikinin minuman buat mereka?”“Jangan, Bu,” sahut Nayyala langsung beranjak dari kursi. “Biar aku aja yang bikin. Kebetulan kita bawa banyak teh kesukaan Ibu. Ada jasmine, kembang sepatu, kembang telang, chamomile, green t
Raesaka membuka mata, mengakhiri mimpi tentang masa kecilnya.Sayup-sayup terdengar musik dari arah dapur. Atmosfer di dalam dan di luar rumahnya menjadi lebih familiar dan hangat semenjak ibunya di sini, seakan-akan situasinya sangat normal; tidak ada masa lalu mau pun masa depan, dan tidak ada yang perlu dicemaskan, apalagi ditakutkan. Pula, tidak ada lagi seliweran bayangan-bayangan, sosok aneh, dan juga Tia di sekitar rumahnya.Raesaka merosot dari ranjangnya, berjalan menghampiri jendela dan menyingkap tirainya sedikit. Di balik kaca yang berembun, ia melihat ibunya duduk bersimpuh di samping makam Sindukala, yang dinaungi langit kelabu kebiru-biruan. Asap-asap dupa yang dibakar, beterbangan mengelilingi tubuhnya yang terbalut baju dan kerudung panjang berwarna merah. Cukup lama ibunya berdiam diri di sana, lalu menumpahkan air dan menaburi bunga-bungaan. Hampir setiap pagi ibunya melakukan itu, sesekali di tengah malam hari. Hari-hari berikutnya, Raesaka membantu ibunya men