Share

Bab 39 Lily

Penulis: Ayu Katumiri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-04-24 23:22:35

Lily berkunjung ke Lindunagari di bulan ke tiga Muria bekerja di kebun Sindukala. Ia tidak bersama suaminya, melainkan lelaki yang tidak dikenal Marsala, namun wajahnya tampak tidak asing. Lily berkeliling, mengamati rumah dan kebun, memetik beberapa butir dewandaru yang ranum, dan mengunyahnya. Sindukala berbicara panjang lebar tentang bagaimana ia mendapatkan tanah ini. Mereka mengobrol sampai sore, dan meninggalkan sebungkus cemilan untuk Raesaka.

Tiga minggu setelahnya, Lily kembali lagi bersama lelaki yang sama, yang namanya tidak pernah diingat Marsala hingga hari ini. Tidak banyak berbasa-basi, Lily mengatakan maksud dan tujuannya datang ke kebun Sindukala. Sambil memperlihatkan setumpuk surat yang dibungkus map kertas, dengan tenang Lily berkata, “Tanah ini milikku, Sindu. Tanah ini sudah diwariskan oleh ayahku sebelum dia meninggal. Ini semua adalah bukti-buktinya.”

Rupanya Ardiwilaga, yang menjual tanah ke ibunya Sindu itu nama ayahnya Lily, pikir Marsala, baru menyadari.

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 40 Zurek

    “Namaku Zurek, orang yang berkuasa di wilayah ini.” Sindukala dan Marsala mengira Zurek dan keenam temannya (yang tidak melepas maskernya) adalah orang-orang suruhan Lily untuk membantunya merampas tanah ini. Ternyata, mereka hanya sekumpulan preman kampung yang menginginkan uang. Tanpa sepengetahuan Marsala, Sindukala sering kali dikunjungi orang-orang perwakilan Zurek yang meminta sebagian uang penjualan hasil kebun, namun Sindukala tidak pernah memberi mereka sepeser pun.Mereka membakar kayu-kayu di pekarangan depan, sehingga terbentuk api unggun yang cukup besar. Sindukala dan Marsala duduk dalam keadaan dibelenggu di sekitar api, tidak terkecuali Lily, teman lelakinya, dan Muria—mereka tidak dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini; mulut, tangan, dan kakinya ikut dibelenggu.Teman-teman Zurek yang lain berkeliaran di sekitar rumah, mengambil sejumlah uang, laptop, ponsel, televisi dan motor. Mereka juga membawa semua lukisan Marsala dan membakarnya. Padahal, lukisan-lukisan itu

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-25
  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 41 Dilipat Gelap

    “Rae dibawa ke Lindunagari besok aja ya, Mars. Dia masih betah di Niskala.” Suara Abhinanda menggema melalui ponsel bekas yang dibeli Sindukala kemarin. “Kamu kenapa kok tiba-tiba ganti nomor? Sindu juga enggak bisa dihubungi.” “Ponselnya ada yang nyolong.” Marsala berbohong sambil melirik ke jendela, melihat suasana di luar yang sudah gelap, dan menutup tirai.“Oh, gimana ceritanya?”“Panjang, Mah.” Marsala menghela nafas dan kembali duduk di sisi ranjang. “Kapan-kapan aja Marsala ceritain.”Usai menutup obrolan, tanpa sengaja Marsala menjatuhkan ponsel itu ke lantai. Layarnya retak sedikit, tapi masih bisa menyala. Ia taruh ponsel itu di dekat bantal, mengamatinya sambil menggigiti kuku jari, sementara kepalanya berpikir acak. Ia tersentak mendengar pintu yang dibuka Sindukala. Suaminya masuk membawa dua mangkuk bubur asin polos dan dua gelas minuman yang ditaruh di atas nampan.“Kamu baik-baik aja?” tanya Sindukala, menyimpan nampan itu di meja.Marsala menggeleng. Jelas ia tidak

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-26
  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 42 Berbanding Terbalik

    Darah mengalir dari luka sobek pada lutut kiri Sindukala yang membengkak, dan Marsala geram, sekaligus tidak percaya apa yang sedang dialami suaminya sekarang. Mereka tidak hanya menuduhnya merampas tanah milik Lily, memalsukan dokumen dan surat-surat, tetapi juga menuduhnya melakukan tindakan kekerasan sexual terhadap Lily.Bagaimana dengan laporannya kemarin, Zurek dan lainnya? Bukankah Lily dan teman lelakinya termasuk korban? Ada apa ini? Kenapa jadi begini?“Soal luka (di lututnya),” jelas kepala unit kriminal, “itu karena pada saat ditangkap, dia berusaha kabur, lantas jatuh dan lututnya membentur aspal.”“Bapak pikir saya bodoh?” gumam Marsala, lututnya gemetar. Dari sudut matanya, terlihat Sindukala duduk di kursi yang lain, memeluk Raesaka. Wajah keduanya muram (meskipun tidak memahami apa-apa, Raesaka seolah dapat merasakan kesedihan dan ketegangan yang berpendar di ruangan sempit itu). “Saya bisa membedakan mana luka jatuh, dan mana luka yang dipukul. Saya tahu, pasti ada s

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-27
  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 43 Besi

    “Tiga hari setelah menemui Sindu di kepolisian sektor Lindunagari, aku bangun di hari yang aneh, baik aroma mau pun atmosfernya. Semua benda di sekelilingku membiru, janggal, bengkok-bengkok, dan dingin. Enggak ada yang menyadari keanehan itu selain diriku sendiri.” Tapi, Marsala tidak bisa menjabarkan setiap bentuk yang dilihatnya, seakan-akan istilah “bentuk” itu sendiri tidak pernah ada dari awal. Dia diberi pakaian, namun merasa sangat telanjang. Telapak kakinya kotor tidak beralas. Jajaran besi yang mengurungnya sendirian, meninggalkan aroma yang tidak menyenangkan pada telapak tangannya. Satu per satu, tembok-tembok beton bermunculan dari permukaan tanah, membentuk benteng yang meninggi hingga mencapai langit. Dari setiap celah benteng itu, semua mata tertuju kepada Marsala, membicarakannya sekaligus mengecamnya. Ketika Marsala balas memandang, mata-mata itu berpaling dan menutup celahnya. Di hadapan keluarga, teman-teman, bahkan ibunya sendiri, ia menjadi asing dan jauh. Jeru

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-28
  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 44 Catra

    Selama tujuh hari berturut-turut, Marsala menyembunyikan rasa syok-nya—tidak pernah mengira ia tidak akan bertemu Sindukala lagi. Setiap kali menengok ke luar jendela, selalu ada dua atau tiga orang tidak dikenal berkeliaran di sekitar rumah yang dikontraknya, di Minara (Marsala menolak ikut bersama ibunya ke Niskala).Sampai detik ini, ia tidak tahu di mana jenazah suaminya berada. Ia mendatangi kepolisian Lindunagari, namun jawabannya tetap sama. Mereka tidak memberitahukan di mana jenazah Sindukala disimpan, selain masih dalam keperluan autopsi, dan mereka telah mengurus laporan dugaan penganiayaan yang menyebabkan kematian Sindukala yang dilakukan beberapa tahanan. Saat Marsala ingin bertemu para pelaku, petugas itu mengatakan bahwa mereka sudah dipindahkan ke rumah tahanan lain.Tidak ada yang setuju dengan kecurigaannya yang menduga Sindukala bukan meninggal karena dikeroyok sesama tahanan, melainkan oleh para oknum kepolisian. Memikirkan tentang oknum, Maruk adalah orang yang m

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-29
  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 45 Pinggala

    Setelah mengobati luka pada sikunya, Marsala melirik ke kaca spion, melihat dua teman Maruk—entah sesama polisi atau bukan, Marsala tidak bertanya—berdiri di belakang bak mobil, mengobrol sambil mengawasi sekitar. Aroma persawahan yang mengapit jalan lingkar selatan Narwastu, mengalir dari sela-sela jendela.“Aku tahu tujuan kamu mencariku,” ujar Maruk, yang duduk di samping Marsala di kabin belakang. “Kamu pasti ingin memastikan kematian Sindu.” Ia terkekeh singkat, dan keduanya saling berpandangan. Maruk menggeser duduknya, mendekati Marsala; telapak tangannya terangkat, menempel pada kaca jendela, dan tubuhnya yang besar menaungi Marsala. Walaupun rasa takut mengepung hatinya, Marsala tidak melepas pandangannya dari Maruk. Punggungnya menempel pada pintu mobil, bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Maruk.“Dengar,” bisik Maruk. “Setelah kamu bertemu Sindu, kamu pulang dan lupakan semuanya. Kasus suamimu enggak pernah ada sejak awal, dan terima saja kematiannya.”“Jadi.. Sindu...”

    Terakhir Diperbarui : 2024-04-30
  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 46 Aamodini

    Maruk melarikan Marsala ke klinik. Dokter yang menangani lukanya, memberi saran agar Marsala dirawat inap, namun Maruk malah membawanya ke penginapan yang lokasinya cukup jauh dari keramaian kota. Di bawah pengaruh obat, mata Marsala hanya setengah terbuka, memandang Maruk yang duduk di sampingnya.“Untung cuma keserempat peluru,” gumam Maruk. “Tapi, kita harus tunda keberangkatan kita. Seenggaknya, untuk semalam.”Marsala mengangguk lemah.“Dengar,” lanjut Maruk. “Urusanmu berhenti di Catra. Artinya, mau enggak mau, kamu harus terima kematian Sindu. Kamu enggak bisa melangkah lebih jauh lagi dari ini. Aku serius, Mars. Pokoknya, lanjutkan hidup kamu seperti biasa, dan fokus saja mengurus anakmu.”Marsala mengangguk lagi. Ia meraih tangan Maruk dan menaruhnya di pipinya sendiri, lalu memejamkan mata. Tidak menyadari pipinya yang memerah, Maruk tercenung, memandangi Marsala yang sudah melayang ke dunia mimpi. Nafas Maruk tercekat, jemarinya gemetar, menelusuri bentuk halus pipi, r

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-01
  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 47 Cungkup Tanah

    “Di penghujung waktu, penderitaan harus diterima seperti kutukan. Penderitaan yang tidak memiliki makna, yang tidak memberi kekuatan, dan tidak pula berdampingan dengan kebahagiaan, yang ketika ditanya kenapa, jawabannya sunyi. Tapi, terkadang kita menemukan puncak kesenangan di dalam penderitaan, dan aku berpikir, mungkin Tuhan juga ikut tertawa, menertawakan kita. Apa kamu pernah berpikir bahwa hidup kita ini cuma lelucon bagiNya?”Raesaka menunduk, mengamati nama Sindukala yang terukir pada nisan di atas pusara palsu itu, tersorot sinar purnama raksasa yang menggantung rendah di langit gelap. Puncak-puncak pegunungan meninggi, tanah menggeliat lambat, dan angin bersemilir mempermainkan dedaunan dan rerumputan, menerbangkan aroma kacapiring bersama kunang-kunang dan kupu-kupu beraneka warna. Suara-suara binatang malam mengiringi Marsala dan Arabela yang menari di atas tanah kosong. Keduanya bertelanjang kaki, tertawa, berpelukan, berciuman, dan kembali muda.Sebagian genting rumah

    Terakhir Diperbarui : 2024-05-02

Bab terbaru

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 61 Justitia

    Usai melewati perjalanan panjang, Raesaka tiba di Sadajiwa.Keheningan dan gemuruh dari kejauhan menyambutnya di bawah naungan langit petang. Dia mengetuk pintu rumah Arabela, menengok ke dalam melalui jendela yang suram, dan tidak terdengar bunyi langkah mau pun sahutan. Ia baru ingat, Damian baru saja meninggal dan pasti Arabela masih berduka. Raesaka berlari kecil ke belakang rumah.Langkahnya bergema ketika Raesaka berjalan menyeberangi jalan setapak di atas kolam ikan, menuju ke rumah kecil ibunya. Ia berhenti di dekat makam palsu Sindukala yang kini dikelilingi semak-semak kering yang tidak terawat. Nafasnya sedikit memburu saat ia memutuskan mencari cangkul yang tidak ada di mana pun, selain di gudang.Gudang itu digembok, jadi ia meraih glock yang bukan miliknya, yang menggantung di panggulnya. Seraya menjaga jarak dan berhati-hati supaya tidak terkena serpihan yang bisa melukainya, Raesaka mengarahkan pucuknya ke gembok gudang dan melepaskan peluru beberapa kali—suaranya mene

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 60 Raesaka part 2

    “Boleh aku minta waktu buat mikir, Re?” suara Prisha mengakhiri keheningan. “Nanti aku kabari lagi.”“Iya, Kak. Boleh.” Raesaka menghela nafas dan mengangguk.Bunyi lembut deru motor yang dikendarainya menemaninya pulang melewati gemerlap malam. Hatinya membuncah karena kebahagiaan dan kelegaan usai mengungkapkan rasa cintanya kepada Prisha. Wajah dan senyuman teduh Prisha memenuhi pikirannya, bahkan saat berhenti di lampu merah pun, jiwanya seakan kembali ke rumah Prisha yang beraroma teh dan lavender. Kini ia bergantung pada harapan akan jawaban positif dari Prisha.Raesaka kembali ke rumah dan memarkir motornya di garasi. Begitu mau menutup pintu garasi, terdengar bunyi notifikasi dari ponselnya. Ia rogoh ponselnya dari saku celana jeans-nya, dan melihat ada pesan dari Arabela. Matanya melebar membaca isinya.“Rae, apa kamu ada di rumah? Hari ini Tante sedang berduka. Oom Damian meninggal usai minum kopi kemarin sore. Tante merasa ada seseorang yang meracuninya. Bisa kita ketemu da

  • Seribu Pintu Sindukala    Bab 59 Utamika

    Sebuah citra merasuk ke dalam kalbunya dan membentuk mimpi. Di sana, Raesaka melihat ibunya yang kembali muda, dibalut gaun pendek berwarna merah marun, berjalan tanpa alas kaki, menyusuri jalanan panjang dan sepi. Cahaya matahari yang lembut menyorot dari sela-sela pepohohan akasia dan mahoni yang menaunginya. Raesaka menghampirinya, dan ibunya menoleh padanya, memandangnya.Raesaka membalas pandangan ibunya, mengusap lembut wajah dan rambut ibunya sembari berkata, “Rae sayang sama Ibu.” Ia peluk tubuh mungil ibunya, lalu menikmati kecupan ringan ibunya di pipi. Setelah melepas pelukan Raesaka, bibir ibunya merekah, meninggalkan jejak-jejak kedamaian dan keindahan di hati Raesaka yang menangis. Ia berjalan mundur, berbalik dan kembali melangkah menjauhi Raesaka, entah ke mana.* * *Raesaka sudah berseragam dan wangi ketika memandangi makam ibunya di samping makam Sindukala, dan menaruh dupa di sana. Mungkin, mungkin saja, inilah kepergian dan pelepasan yang selama ini yang dii

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 58 Pergi Ke Mars

    Matahari yang hampir mendekati cakrawala terbingkai oleh jendela kamarnya. Warna ungu dan jingga merambat mewarnai langit. Perlahan-lahan, tanah bergerak, bergelombang dan berputar, menarik Marsala jauh ke suatu tempat di mana hanya ada dirinya, cakrawala gelap dan matahari raksasa yang bulat kemerahan.Pemandangan yang sedang dilihatnya kini berubah menjadi wajah seseorang yang selama ini dicintainya. Wajah yang kecoklatan, berhidung mancung, dan bermata sendu. Rambutnya yang pendek bergelombang, mengalir dipermainkan angin. Orang itu menoleh, memutar tubuhnya menghadap Marsala, dan melemparkan senyuman yang selalu dirindukan Marsala.Sindukala.Kedua mata Marsala berbinar memantulkan cahaya. Dadanya bergejolak akan kerinduan dan cinta yang tiada henti. Aroma khas suaminya meliputi dirinya saat mereka berpelukan dan saling berpandangan. Lalu, Sindukala membenamkan bibirnya pada bibir Marsala. * * *Bunyi kerangkeng besi yang ditutup dan digembok menggema keras di sepanjang loro

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 57 Delusional

    Musik yang diputar Marsala memenuhi ruangan dapur, menciptakan nuansa ceria dan hangat di pagi hari.Raesaka menyendok nasi goreng kencur dan telur mata sapi di piring, memperhatikan ibunya yang mondar-mandir, menaruh beberapa makanan ringan di atas meja, dan menyeduh secangkir teh kembang sepatu untuk dirinya sendiri. Sinar matahari menembus dari jendela, menyorot sosok mungilnya. Rambut ibunya diikat sedemikian rupa, dan beberapa helai rambut turun ke bahu dan punggungnya, membuatnya terlihat lebih anggun dari biasanya, walaupun dia hanya memakai daster pendek bercorak bunga-bunga.“Hari ini kamu ada dinas, Sayang?” tanya ibunya sembari menarik kursi dan duduk di seberang Raesaka.Raesaka menelan suapan nasi gorengnya sebelum ia menggeleng dan menjawab, “Oh, Rae dinas setelah maghrib, Bu. Sayang sekali, sebenarnya Rae ingin pergi ke Niskala, mau ikut doa tujuh hari kepergian Nenek. Ibu juga akan berangkat, bukan?”Marsala menyesap teh kembang sepatunya dan menggeleng. “Ibu batal be

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 56 Shavasana

    Kicauan burung membangunkan Marsala di sore hari, dan ia membaca pesan dari Raesaka yang isinya, “Bu, malam ini Rae sedang tidak ada dinas, dan Rae mau pergi ke restoran sama Kak Prisha, jadi jaga diri Ibu baik-baik, ya. Rae tidak akan lama.”Matahari yang hampir mendekati cakrawala terbingkai oleh jendela kamarnya. Warna ungu dan kemerah-merahan merambat mewarnai langit. Marsala bangun dan duduk di sisi ranjangnya, memandangi jendela, menikmati hembusan angin yang menyentuh kulitnya. Pemandangan seperti ini selalu mengingatkannya pada suaminya dan segala hal tentang dirinya, bertumpuk bersama kenangan-kenangan. Kemudian, Marsala berdiri, menghampiri meja kerjanya.Marsala menunduk, mengamati potret-potret kecil wajah Sindukala yang ia lukis selama beberapa minggu terakhir. Tidak semua lukisannya selesai, ada yang setengah jadi, dan ada pula yang hanya berupa lukisan lingkaran mata Sindukala. Hanya ditemani bunyi nafasnya sendiri, jemari Marsala menelusuri permukaan dan sisi lukisan

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 55 Monolog Marsala

    “Mars benci Mamah, dan keluarga Mamah. Sampai Tuhan pun enggak sabar ingin segera menjebloskanku ke neraka, saking bencinya aku sama Mamah,” tutur Marsala. Tatapannya lebih rileks selama memandangi ibunya; suaranya rendah dan pelan, hampir tanpa emosi, seakan-akan dirinya semacam benda kosong yang tidak berjiwa. “Perasaan ini sudah mengerak sangat lama di hati Marsala, dan inilah saatnya Mamah mendengar semuanya.”Abhinanda menelan ludah, menahan godaan menghindari tatapan Marsala, dan keinginan untuk membantah, tapi mimik wajah putri sulungnya mengintimidasinya, menuntutnya supaya menuruti keinginannya.“Sadar enggak sadar, Mamah mengecewakan Mars berkali-kali. Mamah mengambil lagi kehidupan Mars yang telah Mamah berikan dengan cara Mamah sendiri. Betapa lembutnya tutur kata Mamah setiap kali memaksakan segala kehendak Mamah, membuatku enggak berani melawan. Mamah enggak pernah bersyukur punya anak seperti aku, dan oleh sebab itu, Mamah dan Papah menaruh harapan di luar kapasitas Mar

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 54 Jayasri

    “Nay pikir si Rae bohong, ternyata benar, Ibu pulang,” seru Nayyala di teras depan, tertawa di antara air matanya. “Gimana kabarnya, Bu? Kita semua kangen sama Ibu.”Raesaka menengok dari balik dinding, melihat Nayyala berjalan masuk ke ruangan sambil menjinjing dua tote bag. Ia tidak datang bersama Aditya, melainkan Prisha. Mata Raesaka melebar dan jantungnya berdebar, memperhatikan Prisha yang sedang memeluk ibunya, dalam keadaan baik-baik saja. Setelah mematikan musik, Raesaka berjalan melewati ruangan televisi, menyambut kedua perempuan itu.“Kamu mau langsung berangkat?” tanya Marsala kepada Raesaka.“Oh, enggak, Bu. Masih ada waktu kok,” jawab Raesaka, mengusap matanya yang terasa kering usai tadi menangis, dan ia menjadi salah tingkah.“Kalau gitu, bisa kamu bikinin minuman buat mereka?”“Jangan, Bu,” sahut Nayyala langsung beranjak dari kursi. “Biar aku aja yang bikin. Kebetulan kita bawa banyak teh kesukaan Ibu. Ada jasmine, kembang sepatu, kembang telang, chamomile, green t

  • Seribu Pintu Sindukala   Bab 53 Ambu & Anaking

    Raesaka membuka mata, mengakhiri mimpi tentang masa kecilnya.Sayup-sayup terdengar musik dari arah dapur. Atmosfer di dalam dan di luar rumahnya menjadi lebih familiar dan hangat semenjak ibunya di sini, seakan-akan situasinya sangat normal; tidak ada masa lalu mau pun masa depan, dan tidak ada yang perlu dicemaskan, apalagi ditakutkan. Pula, tidak ada lagi seliweran bayangan-bayangan, sosok aneh, dan juga Tia di sekitar rumahnya.Raesaka merosot dari ranjangnya, berjalan menghampiri jendela dan menyingkap tirainya sedikit. Di balik kaca yang berembun, ia melihat ibunya duduk bersimpuh di samping makam Sindukala, yang dinaungi langit kelabu kebiru-biruan. Asap-asap dupa yang dibakar, beterbangan mengelilingi tubuhnya yang terbalut baju dan kerudung panjang berwarna merah. Cukup lama ibunya berdiam diri di sana, lalu menumpahkan air dan menaburi bunga-bungaan. Hampir setiap pagi ibunya melakukan itu, sesekali di tengah malam hari. Hari-hari berikutnya, Raesaka membantu ibunya men

DMCA.com Protection Status