Satu tahun enam bulan penjara. Begitulah hakim mengetuk palu, menyudahi perkara suaminya Prisha. Mereka tetap menilai suaminya bersalah atas perbuatan yang tidak dilakukannya. Suaminya menerima putusan hakim dengan lapang dada, tanpa mengajukan banding. Baik dirinya mau pun Prisha sudah tahu, langkah itu hanya akan menambah beban mereka saja.Prisha tidak pernah tahu, dan tidak pernah mencari tahu, seperti apa kehidupan di penjara, dan bagaimana ia akan menjalani kehidupan tanpa suaminya. Pikiran-pikiran itu, sedikit demi sedikit, melebur bersama perasaan lega dan lapar yang tidak tertahankan, sehingga yang tersisa hanya sedikit harapan.Awan-awan kelabu berarak menutupi matahari, dan suhu udara di dalam warung makan sederhana meningkat meskipun sudah tidak lagi ramai pengunjung. Sambil mengusap keringat yang mengucur di pelipisnya, Nayyala menyedot sisa air jeruknya, lalu mengamati Prisha yang lahap menghabiskan makan siang. Beberapa jam yang lalu, pertemuan mereka begitu canggung.
Cahaya sore merayap pelan menerangi seluruh ruangan berudara sejuk. Sambil tersenyum manis, dan rambutnya berserakan menutupi sebagian wajahnya, ibunya menelungkup di lantai. Matanya memandang lembut kepada Raesaka kecil yang duduk sambil merengek, tidak suka melihat ibunya yang tadi terpejam, atau mungkin dia mengira ibunya sudah mati.“Tadi pelurunya kena Ibu, tapi kan Ibu enggak kenapa-kenapa,” kata ibunya, membujuk. “Ibu cuma pura-pura luka, Sayang.” Masih dengan posisi yang sama, ibunya meraih pistol mainan berwarna kuning dan biru yang tergeletak di lantai, lalu menyodorkannya kepada Raesaka. “Ayo, kita main lagi.” Memori yang tidak pernah diingatnya itu kembali tergambar dalam pikirannya. Di kala sadar itulah, Raesaka menyaksikan wajah ibunya melebur menjadi wajah Ivan, yang babak belur, mengkilat karena keringat, dan terengah-engah pelan. Pandangan Ivan yang menggelap berkaca-kaca, menggulirkan bulir-bulir air mata. Tangannya memaksa bergerak, meraih pistol glock miliknya
“Bukannya kamu... tewas, Vi?” bisik Raesaka, masih merasakan beban tubuh Arkavi yang menindihnya.“Dasar bego,” hardik Arkavi. “Itu jelas rekan kita dari regu yang lain. Masa’ kamu enggak bisa bedain?” Matanya yang gelap hampir tidak berkedip saat memandang Raesaka. Bibirnya tersenyum puas, tapi singkat.“Apa kamu... bekerja sama dengan Maruk?” Pertanyaan itu sangat pahit diucapkan.Arkavi menarik kerah baju Raesaka, dan memaksanya berdiri.“Misi ini sudah selesai,” katanya.“Ini belum selesai,” balas Raesaka, suaranya tegang.Bunyi geraman dan gemeretak pukulan memecah keheningan yang tadi menenggelamkan mereka. Raesaka tidak pernah mengira peristiwa ini akan terjadi, menghadapi dan melawan rekannya sendiri, tanpa ia mengerti. Terlintas sebuah pikiran: Arkavi tidak membunuh Akarsana, melainkan Akarsana yang mengorbankan diri; mungkin ini bagian dari rencana Arkavi, mempermainkan dan menjebak musuh. Tapi, itu hanya pikiran belaka. Ketika sepatunya tanpa sengaja menginjak kulit mati
Setengah berlari, Raesaka menelurusi lorong panjang dan terang, melewati pintu-pintu berwarna hitam, yang berjajar di sisi kiri dan kanannya, dan terkunci. Bunyi yang didengarnya saat itu hanya degup jantungnya, helaan nafasnya yang lelah, dan langkah kakinya. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain di sana, seakan dunia luar menjauh darinya. Sampailah ia pada satu pintu di ujung lorong, dan memutar tombolnya.Ada sesuatu yang jatuh begitu Raesaka masuk ke sana, diikuti cairan kental gelap yang menetes ke lantai yang dipenuhi bercak darah, pasir, jejak sol sepatu dan beberapa selongsong peluru. Benda yang semula dikira batu itu berguling ke dekat sepatunya, di mana sepasang mata yang mati memandang kosong padanya. Terkejut sekaligus ngeri, kakinya secara refleks melangkah mundur dan menabrak pintu di belakangnya sampai gaduh. Tangannya terangkat menutupi wajahnya yang meringis, tidak percaya apa yang sedang disaksikannya.Di dalam ruangan putih berbentuk segi delapan itu, tubuh Pu
Sesuatu yang basah dan hitam, menetes mengotori wajahnya. Begitu membuka mata, Raesaka sudah berada di dalam ruangan sempit berwarna krem bercahaya suram. Ada sesuatu yang menggantung, memenuhi langit-langit ruangan berbau debu dan besi itu.Tia ada di sana, menempel pada siling, memunggungi Raesaka yang masih berbaring. Lehernya memanjang dan melengkung ke bawah, sehingga kepala dan wajahnya yang terbalik berada tepat di hadapan Raesaka. Namun, ada sesuatu yang berbeda—tidak, aku tidak ingin melihatnya, tetapi aku harus melihatnya! Tidak ada kain yang menutupi kedua matanya, dan tampak dua rongga mata yang sangat gelap dan menyedihkan, meneteskan darah kental. Bahunya tetap buntung, tidak mengeluarkan tangan-tangannya yang aneh.Guuuuuuuunnnnnnnnnnnnnngggg. Bunyi gong berdengung panjang memenuhi ruangan. Tidak ada siapa pun di sana, begitu pula dengan gong-nya.Sensasi mengerikan bergelayut mengepung Raesaka, membuat tubuhnya membeku sama sekali, dan udara di sekelilingnya menjadi
“Sepertinya, wajah kamu enggak asing,” kata seseorang. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”Mulanya Raeasaka tidak begitu yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Hal pertama yang dilihatnya dari balik kabut yang menyelimuti matanya adalah bulir-bulir air dingin, bercampur keringat dan tetesan darahnya sendiri, berjatuhan di atas permukaan meja coklat muda. Kedua tangannya dalam keadaan kosong dan bebas, saling bertautan di hadapannya, dan bajunya basah. Perlahan, rasa sakit dan sensasi panas merambat di sekujur tubuhnya yang bergetar hebat; kepalanya (yang semula ia kira meledak) pusing bukan main, dan setiap udara yang dihirupnya hanya memicu rasa ngilu yang tajam di dadanya. Sambil bertanya-tanya bagaimana dirinya bisa bertahan (haruskah ia bersyukur, atau mengutuk atas rasa sakit yang menyiksanya sekarang?), ia mengangkat wajahnya pelan-pelan.Di sisi kanan, tiga orang duduk di lantai, dalam keadaan dibelenggu dan mulutnya ditutupi lakban belapis-lapis, begitu pula dengan ti
Ketika membuka matanya, Raesaka tidak ingat apa pun kecuali namanya sendiri.Bunyi ritme jantung mengiringi cahaya yang merambat pada dinding dan siling putih, membantunya merealisasikan keadaan. Kelopak matanya mengerjap beberapa kali, merasakan aliran udara melalui selang yang disematkan pada hidungnya. Tidak ada rasa sakit selain sensasi aneh yang mengganjal kerongkongannya, punggung tangannya, dan bagian kemaluannya. Kepala dan dadanya dibebat, dan gips membalut lengan kiri dan kanannya. Ia melirik ke samping, melihat seorang perawat berbaju serba biru tua, memakai penutup kepala dan masker, bergerak-gerak di sampingnya, sedang melakukan pemeriksaan berkala.Perawat itu, yang baru saja selesai memasang kantung air kemih kosong, menoleh dan menyadari tatapan lemah Raesaka. Ia kemudian mengangkat tangan dan menggerakannya di depan Raesaka, memastikan Raesaka memang benar-benar sadar. Raesaka mengikuti gerakan tangan perawat itu.“Anda bisa mendengar saya, Pak?” tanya perawat.Raesa
Di hari yang agak mendung dan gerah, Raesaka, yang sudah bisa menenangkan diri sepenuhnya, sedang menonton film black-comedy tentang perilaku politikus yang rela melakukan apa saja demi memenuhi ambisinya untuk berkuasa. Film itu mengingatkannya pada buku yang pernah dibacanya di perpustakaan ibunya, tetapi lupa judulnya. Dia harus menahan diri supaya tidak tertawa terlalu lepas, agar tidak menyakiti tubuhnya.Sebetulnya, Raesaka menghindari acara berita, terutama yang berkaitan dengan institusinya, dan ia juga tidak mau tahu bagaimana kabar Arkavi dan perkembangan kasusnya (terkecuali, ia akan hadir apabila pengadilan membutuhkan kesaksiannya).Berhubung tidak ada lagi acara yang menarik, Raesaka memutuskan pergi ke halaman belakang rumah ibunya. Sambil duduk bersandar pada pohon kersen yang belum berbuah, semilir angin sore menyejukkan kepalanya yang sedang mengenang Purangga, Ivan, Akarsana dan rekan-rekannya yang lain. Hatinya melantunkan doa-doa yang sudah lama tidak pernah diu
Usai melewati perjalanan panjang, Raesaka tiba di Sadajiwa.Keheningan dan gemuruh dari kejauhan menyambutnya di bawah naungan langit petang. Dia mengetuk pintu rumah Arabela, menengok ke dalam melalui jendela yang suram, dan tidak terdengar bunyi langkah mau pun sahutan. Ia baru ingat, Damian baru saja meninggal dan pasti Arabela masih berduka. Raesaka berlari kecil ke belakang rumah.Langkahnya bergema ketika Raesaka berjalan menyeberangi jalan setapak di atas kolam ikan, menuju ke rumah kecil ibunya. Ia berhenti di dekat makam palsu Sindukala yang kini dikelilingi semak-semak kering yang tidak terawat. Nafasnya sedikit memburu saat ia memutuskan mencari cangkul yang tidak ada di mana pun, selain di gudang.Gudang itu digembok, jadi ia meraih glock yang bukan miliknya, yang menggantung di panggulnya. Seraya menjaga jarak dan berhati-hati supaya tidak terkena serpihan yang bisa melukainya, Raesaka mengarahkan pucuknya ke gembok gudang dan melepaskan peluru beberapa kali—suaranya mene
“Boleh aku minta waktu buat mikir, Re?” suara Prisha mengakhiri keheningan. “Nanti aku kabari lagi.”“Iya, Kak. Boleh.” Raesaka menghela nafas dan mengangguk.Bunyi lembut deru motor yang dikendarainya menemaninya pulang melewati gemerlap malam. Hatinya membuncah karena kebahagiaan dan kelegaan usai mengungkapkan rasa cintanya kepada Prisha. Wajah dan senyuman teduh Prisha memenuhi pikirannya, bahkan saat berhenti di lampu merah pun, jiwanya seakan kembali ke rumah Prisha yang beraroma teh dan lavender. Kini ia bergantung pada harapan akan jawaban positif dari Prisha.Raesaka kembali ke rumah dan memarkir motornya di garasi. Begitu mau menutup pintu garasi, terdengar bunyi notifikasi dari ponselnya. Ia rogoh ponselnya dari saku celana jeans-nya, dan melihat ada pesan dari Arabela. Matanya melebar membaca isinya.“Rae, apa kamu ada di rumah? Hari ini Tante sedang berduka. Oom Damian meninggal usai minum kopi kemarin sore. Tante merasa ada seseorang yang meracuninya. Bisa kita ketemu da
Sebuah citra merasuk ke dalam kalbunya dan membentuk mimpi. Di sana, Raesaka melihat ibunya yang kembali muda, dibalut gaun pendek berwarna merah marun, berjalan tanpa alas kaki, menyusuri jalanan panjang dan sepi. Cahaya matahari yang lembut menyorot dari sela-sela pepohohan akasia dan mahoni yang menaunginya. Raesaka menghampirinya, dan ibunya menoleh padanya, memandangnya.Raesaka membalas pandangan ibunya, mengusap lembut wajah dan rambut ibunya sembari berkata, “Rae sayang sama Ibu.” Ia peluk tubuh mungil ibunya, lalu menikmati kecupan ringan ibunya di pipi. Setelah melepas pelukan Raesaka, bibir ibunya merekah, meninggalkan jejak-jejak kedamaian dan keindahan di hati Raesaka yang menangis. Ia berjalan mundur, berbalik dan kembali melangkah menjauhi Raesaka, entah ke mana.* * *Raesaka sudah berseragam dan wangi ketika memandangi makam ibunya di samping makam Sindukala, dan menaruh dupa di sana. Mungkin, mungkin saja, inilah kepergian dan pelepasan yang selama ini yang dii
Matahari yang hampir mendekati cakrawala terbingkai oleh jendela kamarnya. Warna ungu dan jingga merambat mewarnai langit. Perlahan-lahan, tanah bergerak, bergelombang dan berputar, menarik Marsala jauh ke suatu tempat di mana hanya ada dirinya, cakrawala gelap dan matahari raksasa yang bulat kemerahan.Pemandangan yang sedang dilihatnya kini berubah menjadi wajah seseorang yang selama ini dicintainya. Wajah yang kecoklatan, berhidung mancung, dan bermata sendu. Rambutnya yang pendek bergelombang, mengalir dipermainkan angin. Orang itu menoleh, memutar tubuhnya menghadap Marsala, dan melemparkan senyuman yang selalu dirindukan Marsala.Sindukala.Kedua mata Marsala berbinar memantulkan cahaya. Dadanya bergejolak akan kerinduan dan cinta yang tiada henti. Aroma khas suaminya meliputi dirinya saat mereka berpelukan dan saling berpandangan. Lalu, Sindukala membenamkan bibirnya pada bibir Marsala. * * *Bunyi kerangkeng besi yang ditutup dan digembok menggema keras di sepanjang loro
Musik yang diputar Marsala memenuhi ruangan dapur, menciptakan nuansa ceria dan hangat di pagi hari.Raesaka menyendok nasi goreng kencur dan telur mata sapi di piring, memperhatikan ibunya yang mondar-mandir, menaruh beberapa makanan ringan di atas meja, dan menyeduh secangkir teh kembang sepatu untuk dirinya sendiri. Sinar matahari menembus dari jendela, menyorot sosok mungilnya. Rambut ibunya diikat sedemikian rupa, dan beberapa helai rambut turun ke bahu dan punggungnya, membuatnya terlihat lebih anggun dari biasanya, walaupun dia hanya memakai daster pendek bercorak bunga-bunga.“Hari ini kamu ada dinas, Sayang?” tanya ibunya sembari menarik kursi dan duduk di seberang Raesaka.Raesaka menelan suapan nasi gorengnya sebelum ia menggeleng dan menjawab, “Oh, Rae dinas setelah maghrib, Bu. Sayang sekali, sebenarnya Rae ingin pergi ke Niskala, mau ikut doa tujuh hari kepergian Nenek. Ibu juga akan berangkat, bukan?”Marsala menyesap teh kembang sepatunya dan menggeleng. “Ibu batal be
Kicauan burung membangunkan Marsala di sore hari, dan ia membaca pesan dari Raesaka yang isinya, “Bu, malam ini Rae sedang tidak ada dinas, dan Rae mau pergi ke restoran sama Kak Prisha, jadi jaga diri Ibu baik-baik, ya. Rae tidak akan lama.”Matahari yang hampir mendekati cakrawala terbingkai oleh jendela kamarnya. Warna ungu dan kemerah-merahan merambat mewarnai langit. Marsala bangun dan duduk di sisi ranjangnya, memandangi jendela, menikmati hembusan angin yang menyentuh kulitnya. Pemandangan seperti ini selalu mengingatkannya pada suaminya dan segala hal tentang dirinya, bertumpuk bersama kenangan-kenangan. Kemudian, Marsala berdiri, menghampiri meja kerjanya.Marsala menunduk, mengamati potret-potret kecil wajah Sindukala yang ia lukis selama beberapa minggu terakhir. Tidak semua lukisannya selesai, ada yang setengah jadi, dan ada pula yang hanya berupa lukisan lingkaran mata Sindukala. Hanya ditemani bunyi nafasnya sendiri, jemari Marsala menelusuri permukaan dan sisi lukisan
“Mars benci Mamah, dan keluarga Mamah. Sampai Tuhan pun enggak sabar ingin segera menjebloskanku ke neraka, saking bencinya aku sama Mamah,” tutur Marsala. Tatapannya lebih rileks selama memandangi ibunya; suaranya rendah dan pelan, hampir tanpa emosi, seakan-akan dirinya semacam benda kosong yang tidak berjiwa. “Perasaan ini sudah mengerak sangat lama di hati Marsala, dan inilah saatnya Mamah mendengar semuanya.”Abhinanda menelan ludah, menahan godaan menghindari tatapan Marsala, dan keinginan untuk membantah, tapi mimik wajah putri sulungnya mengintimidasinya, menuntutnya supaya menuruti keinginannya.“Sadar enggak sadar, Mamah mengecewakan Mars berkali-kali. Mamah mengambil lagi kehidupan Mars yang telah Mamah berikan dengan cara Mamah sendiri. Betapa lembutnya tutur kata Mamah setiap kali memaksakan segala kehendak Mamah, membuatku enggak berani melawan. Mamah enggak pernah bersyukur punya anak seperti aku, dan oleh sebab itu, Mamah dan Papah menaruh harapan di luar kapasitas Mar
“Nay pikir si Rae bohong, ternyata benar, Ibu pulang,” seru Nayyala di teras depan, tertawa di antara air matanya. “Gimana kabarnya, Bu? Kita semua kangen sama Ibu.”Raesaka menengok dari balik dinding, melihat Nayyala berjalan masuk ke ruangan sambil menjinjing dua tote bag. Ia tidak datang bersama Aditya, melainkan Prisha. Mata Raesaka melebar dan jantungnya berdebar, memperhatikan Prisha yang sedang memeluk ibunya, dalam keadaan baik-baik saja. Setelah mematikan musik, Raesaka berjalan melewati ruangan televisi, menyambut kedua perempuan itu.“Kamu mau langsung berangkat?” tanya Marsala kepada Raesaka.“Oh, enggak, Bu. Masih ada waktu kok,” jawab Raesaka, mengusap matanya yang terasa kering usai tadi menangis, dan ia menjadi salah tingkah.“Kalau gitu, bisa kamu bikinin minuman buat mereka?”“Jangan, Bu,” sahut Nayyala langsung beranjak dari kursi. “Biar aku aja yang bikin. Kebetulan kita bawa banyak teh kesukaan Ibu. Ada jasmine, kembang sepatu, kembang telang, chamomile, green t
Raesaka membuka mata, mengakhiri mimpi tentang masa kecilnya.Sayup-sayup terdengar musik dari arah dapur. Atmosfer di dalam dan di luar rumahnya menjadi lebih familiar dan hangat semenjak ibunya di sini, seakan-akan situasinya sangat normal; tidak ada masa lalu mau pun masa depan, dan tidak ada yang perlu dicemaskan, apalagi ditakutkan. Pula, tidak ada lagi seliweran bayangan-bayangan, sosok aneh, dan juga Tia di sekitar rumahnya.Raesaka merosot dari ranjangnya, berjalan menghampiri jendela dan menyingkap tirainya sedikit. Di balik kaca yang berembun, ia melihat ibunya duduk bersimpuh di samping makam Sindukala, yang dinaungi langit kelabu kebiru-biruan. Asap-asap dupa yang dibakar, beterbangan mengelilingi tubuhnya yang terbalut baju dan kerudung panjang berwarna merah. Cukup lama ibunya berdiam diri di sana, lalu menumpahkan air dan menaburi bunga-bungaan. Hampir setiap pagi ibunya melakukan itu, sesekali di tengah malam hari. Hari-hari berikutnya, Raesaka membantu ibunya men