“Apa kamu merasa enggak siap dengan posisi kamu di satuan ini, Re?” tanya Nawasena, pimpinannya, yang kini duduk di hadapannya sambil mengulum permen coklat. “Saya berbicara seperti ini bukan untuk menjatuhkan semangat kamu lho, tapi akhir-akhir ini kamu...” Mulutnya berdecak dan kepalanya menggeleng. Ia menggantungkan kalimatnya.
Raesaka tidak menjawab. Bola matanya bergerak mengikuti gerak pimpinannya yang tingginya tidak melebihi tinggi Raesaka, dan sedikit gemuk. Rambutnya disisir ke belakang, dan mengkilat karena baru saja disemir. Garis-garis halus semakin kentara di kulitnya yang berwarna olive. Ia beranjak ke sisi ruangan dan menyingkap tirai.
Raesaka membuang muka. Pandangannya terlalu lelah, bahkan sekedar untuk melihat bias matahari pada dinding ruangan sekali pun, dan warna seragam pimpinannya menjadi terlalu gelap sekaligus terang. Saat matanya berdenyut perih, tangannya mengusap wajah dan kepalanya.
Nawasena terlalu lama diam. Bagi Raesaka, saat-saat hening seperti itulah yang membuatnya gugup. Entah kenapa, dia merasa terintimidasi oleh bunyi sol sepatu pimpinannya, dan bau ruangannya yang khas—aroma buah-buahan yang formal.
“Ini baru permulaan lho,” sambung Nawasena, kembali duduk. “Belum apa-apa, kamu sudah kehilangan fokus. Sampai masalah tidur pun kamu sepelekan.”
“Siap. Maaf, Pak,” gumam Raesaka, mulai merasakan getaran aneh di tengkuk dan dadanya—sinyal supaya tubuhnya istirahat.
“Kamu masih mencari informasi itu?” Nawasena mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Raesaka dengan serius, dan suaranya memelan. Kumis tipisnya naik turun, mengikuti gerakan mulutnya saat mengecap sisa coklat di lidahnya.
Raesaka mengangguk canggung.
“Sudah ketemu?”
“Belum, Pak.”
“Kapan peristiwa itu terjadi?”
“Ibu saya bilang dua puluh tahun yang lalu—mungkin lebih,” jawab Raesaka.
Nawasena menyandarkan punggungnya pada kursi. Tatapannya tidak berpaling ke mana pun selain kepada personelnya. Ia menggeleng samar dan katanya, “Itu sudah lama sekali. Berapa umurmu waktu itu?”
“Tiga atau empat, saya kurang begitu ingat.”
“Sekarang, Ibumu di mana?”
Raesaka melipat bibirnya. Jemarinya terangkat, menyentuh lengan kiri atas, di mana ada luka tembak yang ia dapatkan enam tahun lalu. Sakitnya masih terasa sampai detik ini, tapi tidak melebihi rasa sakit pada jiwanya.
Raesaka sadar betul, tidak seharusnya ia berperilaku seperti ini di hadapan pimpinannya. Namun, kepada siapa lagi ia harus berbicara. Lagipula, Nawasena sudah mengetahui jawaban atas pertanyaannya sendiri. Ia hanya sedang membangunkan Raesaka supaya kembali pada realita dan bergerak maju, jadi ia tidak kaget, apalagi marah dengan sikap diam Raesaka. Secara tidak langsung pimpinannya berkata bahwa ada banyak hal di dunia ini, yang tidak terselesaikan, tidak terungkap, tidak bisa dikontrol, apalagi diubah.
“Andai kamu menemukan informasi yang kamu cari,” lanjut Nawasena, “apa yang akan kamu lakukan? Marah? Atau apa?”
Pertanyaan yang ke dua jelas membuatnya bimbang, tapi Raesaka menjawab, “Sebenarnya, saya hanya ingin tahu masa lalu orang tua saya.” Ia melirik pada bingkai foto keluarga Nawasena di atas rak buku di belakang kursi. “Enggak ada satu pun saudara dari keluarga ibu saya yang mau bercerita, dan sampai saat ini saya enggak tahu alasannya kenapa. Saya juga enggak tahu di mana keluarga ayah saya.”
Nawasena menghela nafas, mengetahui Raesaka sedang berusaha menghindari tatapannya. Dia tidak ingin personelnya kecewa atau sakit hati. Ia sungguh mempedulikan kesehatan raga dan jiwa semuanya, termasuk Raesaka. Sayangnya, untuk urusan pribadi ia tidak bisa melangkah terlalu jauh. Di sisi lain, ia juga tidak ingin tugas dan misi institusi ini jadi terganggu.
Lagi-lagi hening. Seberkas cahaya matahari yang mengintip dari balik awan, menyorot bola mata Nawasena saat menyelidiki Raesaka, sehingga iris matanya berubah warna menjadi coklat muda, dan ada lingkaran terang mengelilingi pupilnya.
“Apa Bapak sama sekali enggak tahu?” tanya Raesaka, memancing pimpinannya supaya tidak diam terlalu lama.
“Dua puluh tahun yang lalu, saya dinas di luar pulau, Re. Tapi, begini,” Nawasena kembali mencondongkan dadanya ke depan, dan kedua tangannya bertautan di atas meja, “kamu tahu ‘kan kita sedang dalam situasi darurat? Kita sedang mencari orang ini,” jarinya mengetuk pada lembaran foto seorang narapidana yang sudah divonis mati, yang kini buron setelah kabur dari penjara. Selain melakukan kegiatan jual beli senjata ilegal, narapidana itu juga beberapa kali melakukan pembunuhan terhadap orang-orang penting. Selama menjadi buronan, narapidana itu melakukan teror dan perampokan di rumah dinas pejabat publik, membunuh beberapa petugas kepolisian, serta menyandera sekelompok warga sipil di suatu tempat. “Dan saya yakin kamu sudah tahu tugasmu apa. Mungkin kamu—selama pencarian ini berjalan—bisa berdinas seperti biasa sambil beristirahat sejenak dari urusanmu itu.”
“Tapi, Pak...”
“Kamu jangan arogan dong,” sela Nawasena, sedikit melebarkan matanya, hingga Raesaka bisa melihat refleksi ruangan dan dirinya sendiri pada kornea matanya. Punggung Nawasena mundur dan lebih rileks. “Ingat apa tugasmu saat ini. Atau kamu ingin dipindahkan ke satuan lain?”
Setelah diam selama beberapa saat, Raesaka menggeleng.
“Terakhir,” kata Nawasena, “apa kamu pernah berpikir untuk menemui psikolog atau psikiater?”
Raesaka terkekeh singkat, pura-pura tidak tersinggung, dan katanya, “Bapak pikir saya kena gangguan jiwa?”
Sambil berdecak, Nawasena menggelengkan kepala. “Barangkali mereka bisa bantu kamu melewati kegelisahan ini, Re. Siapa tahu kamu benar-benar butuh itu,” timpalnya. “Kalau kamu mau ambil cuti dua atau tiga hari, enggak apa-apa kok. Pasti saya izinkan.”
Raesaka melirik ke arah lain, lalu mengangguk samar.
“Tolonglah. Jangan menunjukkan sikap lemah seperti itu.”
Raesaka meluruskan punggungnya, mengangguk lagi dan katanya, “Siap. Baik, Pak. Soal cuti, akan saya pertimbangkan dulu. Dan saya janji, hal ini enggak akan mengganggu tugas saya. Saya mohon maaf, dan enggak akan lagi mengulangi perilaku semalam.”
Nawasena melontarkan senyuman. Setidaknya, senyuman singkat itu bisa mengisi ruang-ruang kosong di hati Raesaka.
“Nah,” gumam Nawasena sambil mengecek sebentar layar ponselnya, “sekarang kamu cari Purangga. Suruh dia temui saya sekarang.”
“Siap, Pak,” jawab Raesaka seraya beranjak.
Raesaka berpapasan dengan rekannya yang lain di ambang pintu. Selama beberapa saat, ia mengamati berkas-berkas yang dibawa rekannya itu. Hampir saja ia tergoda untuk merebut berkas-berkas itu dan menyortirnya—siapa tahu Sindukala ada di sana, tapi dia ingat janjinya tadi, dan segera menjauh.
“Dia baik-baik saja, Pak?” tanya petugas itu, bertanya tentang Raesaka.
“Saya penasaran, apa penyakit mental itu bisa menurun dari orang tua kepada anaknya?” gumam Nawasena seraya menerima berkas yang diserahkan kepadanya.
Raesaka menemui Purangga di samping gedung, sedang duduk di bangku beton di bawah pohon akasia yang bergemerisik. Rekannya yang berkulit kuning itu membungkuk memperhatikan sepatu bootnya sendiri, dan pikirannya menerawang. Ia tidak menoleh saat Raesaka duduk di sebelahnya.
“Kamu ditunggu Bapak, Pur,” kata Raesaka.
“Aku tahu,” bisik Purangga, lalu mengusap mulutnya.
“Ada apa?” tanya Raesaka.
Purangga menghela nafas dan menjawab, “Kemarin aku ngeluh soal kinerja institusi yang.. menurutku lambat. Sebetulnya, aku enggak ada maksud apa-apa selain khawatir sama kakakku.” Purangga kemudian menoleh kepada Raesaka, dan mereka saling berpandangan. “Kakakku jadi salah satu korban penyanderaan itu, Re,” lanjutnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku capek lihat ibuku menangis terus. Kami khawatir hal-hal buruk menimpanya sebelum kepolisian menemukan mereka.”
“Kakakmu pasti baik-baik aja,” timpal Raesaka setelah diam sejenak.
“Dari mana kamu tahu?”
“Kalau kamu saudaranya, pasti lebih tahu.” Sebetulnya, Raesaka tidak tahu bagaimana caranya menghibur orang, apalagi situasinya serba tidak pasti seperti sekarang.
Purangga menoleh ke arah lain, mengamati rerumputan dan bunga-bunga liar yang bergoyang pelan dipermainkan angin. Tangannya menepis udara saat seekor lebah kecil mendekati sisi kepalanya. Cukup lama ia merenung, mencoba untuk tidak marah supaya bisa berpikir jernih. Setelah itu, ia beranjak, berlari meninggalkan Raesaka, mau menemui pimpinannya.
“Apa kamu pernah mengalami satu waktu yang aneh?” “Aneh seperti apa, Bu?” “Waktu di mana enggak ada warna dan bentuk. Pikiranmu tertidur dan kamu lupa dirimu sendiri.” “Enggak, Bu. Tapi, mendengar Ibu bicara begitu, sepertinya aku bakal mengalami waktu yang aneh itu. Cepat atau lambat. Iya ‘kan?” * * * Melalui matanya yang bulat, coklat dan berkilat-kilat diterpa cahaya, Raesaka menatap refleksi wajahnya di cermin. Titik-titik air mengalir, membasahi bintik-bintik kecoklatan pada permukaan kulit sawo matangnya. Wangi dan sensasi dingin pasta gigi berseliweran di sekitar hidung dan bibirnya yang gelap kemerahan dan agak tebal. Telunjuknya terangkat, menyingkirkan sehelai bulu mata lentik yang menempel pada pipinya. “Sekarang, ibumu di mana?” Pikirannya mengulang kembali pertanyaan Nawasena, mengaburkan pendengarannya yang tadi sedang menyimak berita melalui aplikasi radio pada ponselnya. Raesaka memiringkan tubuhnya, sehingga ia bisa melihat tangan kirinya di cermin. Di
“Ngapain kamu kembali ke rumah ibu kamu, Cu?” tanya Abhinanda, neneknya Raesaka melalui ponsel. “Kalau kamu punya waktu, mendingan kamu ke Niskala. Kita mau rayain ulang tahun Oom Dewangga.” Obrolan bersama neneknya mengingatkan Raesaka pada hari pelantikannya sebagai polisi dulu. Tidak ada satu pun anggota keluarganya yang hadir, termasuk ibunya, dan neneknya (yang kala itu memang sedang kurang sehat). Untuk menebus perasaan bersalah, neneknya berencana menggelar acara syukuran di Niskala, atau di Narwastu (kediaman ibunya), tetapi acara itu tidak pernah ada. “Acara syukuran buat apa?” tanya Marsala, di hari pertama Raesaka menginjak rumah ibunya (satu hari setelah pelantikan). “Memangnya kamu sudah berbuat apa? Sudah mencapai apa? Ini semua baru permulaan lho.” Permulaan—kata yang juga disampaikan pimpinannya, yang membuatnya sedikit cemas akan masa depan, yang tidak akan pernah diketahuinya, seperti apa rupanya, atau di mana ujungnya. Raesaka memikirkan itu sambil membuka pin
“Kapan kamu ada waktu ke Niskala? Udah berbulan-bulan kita enggak ketemu. Aku kangen sama kamu,” kata Arumi, pacar Raesaka, melalui pesan di ponselnya. Di dalam pikirannya, wajah Arumi dan ibunya saling berbenturan. Semakin lama, sosok ibunya terpampang semakin jelas, seperti lembaran-lembaran memori yang beterbangan. Saat itu, ia sedang menyapu lantai rumah ibunya, ditemani musik yang mengalun melalui mp3 player, yang ia taruh di meja ruang televisi. “Sekarang aku lagi sibuk, Rum. Nanti sore aku hubungi lagi, ya,” balas Raesaka, mendengar bunyi bel pintu. Bunyinya membuatnya terpukau selama beberapa saat—sudah berapa lama ia tidak mendengar iramanya? Sambil membetulkan letak maskernya yang melorot di hidung, ia berjalan menyeberangi ruangan dan membuka pintu. “Hai,” sapa Ivan sambil melepas topinya. Matanya yang sipit menyerupai dua garis hitam ketika ia nyengir seperti itu. Sinar matahari menyengat pipinya yang putih kekuningan sampai memerah. Ia memakai seragam coklat berbahan
“Jadi gimana nih?” tanya Arumi melalui telepon. “Kapan ada rencana ke Niskala? Aku kangen pengen ketemu kamu.” Ivan dan Purangga sudah pulang satu jam yang lalu. Bayangan Arumi di kepala Raesaka, dibuyarkan oleh langkah kaki ibunya yang telanjang, menapaki tanah dan rerumputan. Meskipun pincang, Marsala masih mampu memanjat pohon kersen yang tingginya tidak seberapa. Di hari ke tiga setelah kedatangan Raesaka dari Niskala, ibunya berdiri di salah satu batang pohon kersen, bersandar pada batang yang lain, memetik banyak kersen dan melahapnya sambil menikmati cerahnya langit. Kersen-kersen itu menggelincir di telapak tangan ibunya, berjatuhan tepat di wajah Raesaka. Di bawah, ia melihat ibunya yang riang, terbingkai ranting dan dedaunan. Itu adalah keceriaan ibunya yang pertama kali dilihatnya setelah lima belas tahun mereka hidup berpisah. Dulu, setiap hari Sabtu dan Minggu, ibunya mengunjungi Raesaka di Niskala. Itu pun jarang, bahkan ia pernah tidak datang selama beberapa bula
“Aku kira, kita enggak akan ketemu lagi,” kata Nayyala sambil melahap nasi goreng ikan asin. Suaranya kecil dan bergetar, seakan kecemasan menyelip di tenggorokannya, tetapi memang itu ciri khas Nayyala. Dia sejatinya perempuan periang. Keduanya duduk berhadapan di restoran terbuka yang dikelilingi pepohonan rimbun. Suasananya sedikit temaram, dan tidak banyak pengunjung yang datang. Musik jazz mengalir memenuhi udara di sekitar mereka, saat Nayyala tersenyum dikulum, memperhatikan Raesaka yang sedang menyendok nasi ayam teriyaki. “Kakak kerja di mana sekarang?” tanya Raesaka. “Di toko buku Citraloka, jadi kasir lagi,” jawab Nayyala. “Kak Prisha?” Nayyala angkat bahu dan menggelengkan kepala. Katanya, “Udah lama enggak ada kabar dari dia, selain pernikahannya.” “Menikah?” Raesaka hampir tidak percaya, matanya membulat. “Kapan? Sama siapa?” “Satu tahun yang lalu, sama orang Baralingga. Pestanya di luar pulau, jadi aku enggak datang.” “Kok aku enggak dikasih kabar, ya?” Kening
“Re, apa kabar?” sapa Prisha.Hawa panas memenuhi ruang mobil tahanan, saat Raesaka mengamati enam punggung terdakwa pelaku terorisme, yang dijadwalkan akan menjalani persidangan hari ini. Satu rekannya yang lain, berjaga di dekat pintu keluar. Ia teringat ibunya pernah membicarakan soal asas praduga tidak bersalah. Ibunya tahu betul tentang itu, dan menjelaskannya berkali-kali sampai terdengar membosankan, seakan itu pengingat supaya Raesaka tidak bertingkah main hakim sendiri.“Ibu semestinya masuk sekolah hukum,” kata Raesaka waktu itu. “Ibu pintar dan berwawasan luas.”Ucapan itu membuat ibunya diam cukup lama, lalu tertawa seperti sedang mendengar humor yang tidak lucu. Demi milyaran menit yang telah berlalu, Raesaka belum pernah menyaksikan ibunya tertawa seperti itu—langit-langit mulutnya yang kemerahan, mengkilat dan basah, dan anak tekaknya sampai terlihat. Bahu ibunya sampai bergetar, dan tangannya menepuk-nepuk meja sambil cegukan. Dengan canggung, Raesaka ikut tertaw
Prisha duduk di lantai koridor pengadilan, bahunya bersandar pada pilar, mengamati area pengadilan yang diramaikan oleh kehadiran para wartawan yang akan meliput persidangan terdakwa terorisme. Sama seperti dua minggu yang lalu, ia mengenakan celana gading pegawai negeri sipil dan kaos putih bercorak, tetapi tanpa kemeja almamaternya. Sesekali, ia melirik ke ruang sidang yang terbuka, di mana suaminya sedang menunggu giliran sidang.Di samping Prisha, ada wanita berusia empat puluhan bersetelan resmi hitam-hitam, yang kemudian berdiri menghampiri Wandra, dan mengobrol. Itu adalah ibu Padma, tetangga yang tinggal di dekat rumahnya Wandra. Kedua tangannya mendekap dua map berisi berkas-berkas. Ada sebentuk logo dan nama universitas pada permukaan map yang dibawanya.“Ibu dipanggil jadi saksi,” kata wanita berambut pendek itu, berdiri membelakangi Prisha. Sesekali ia mengusap kemejanya, menyingkirkan debu yang sebetulnya tidak ada di sana. “Padahal, hari ini ada jadwal ngajar di kampus.
“Gimana kalau kita cari si bangsat ini?” tanya Purangga melalui telepon.“Siapa maksud kamu?” Raesaka bertanya balik, keningnya mengerut.“Maruk,” jawab Purangga, menyebut nama penjahat yang menjadi target pencarian oleh kepolisian. Walaupun suaranya rendah dan terkesan kosong, terselip kebencian yang gelap dari nadanya. “Kita hajar dia sampai mati, atau kalau perlu kita seret dan kita permalukan dia di depan publik.” Mendengar itu, Raesaka menjadi merinding. Ia tidak pernah mengira Purangga yang pemalu, melontarkan kata-kata seperti itu. Tapi, Raesaka paham, mau sebanyak apa pun cuti yang dia ambil, tidak akan meredam kekalutannya, apalagi menyelesaikan situasi yang dialaminya. Di sisi lain, ia juga menyadari bahwa Purangga tidak benar-benar ingin menangkap Maruk. Purangga hanya ingin segera menyelamatkan kakaknya.“Enggak mungkin kita bertindak di luar prosedur, Pur. Kamu tahu itu, bukan?” ujar Raesaka.“Si Maruk sendiri bertindak di luar aturan!” geram Purangga. “Mereka bahk