“Ngapain kamu kembali ke rumah ibu kamu, Cu?” tanya Abhinanda, neneknya Raesaka melalui ponsel. “Kalau kamu punya waktu, mendingan kamu ke Niskala. Kita mau rayain ulang tahun Oom Dewangga.”
Obrolan bersama neneknya mengingatkan Raesaka pada hari pelantikannya sebagai polisi dulu. Tidak ada satu pun anggota keluarganya yang hadir, termasuk ibunya, dan neneknya (yang kala itu memang sedang kurang sehat). Untuk menebus perasaan bersalah, neneknya berencana menggelar acara syukuran di Niskala, atau di Narwastu (kediaman ibunya), tetapi acara itu tidak pernah ada.
“Acara syukuran buat apa?” tanya Marsala, di hari pertama Raesaka menginjak rumah ibunya (satu hari setelah pelantikan). “Memangnya kamu sudah berbuat apa? Sudah mencapai apa? Ini semua baru permulaan lho.”
Permulaan—kata yang juga disampaikan pimpinannya, yang membuatnya sedikit cemas akan masa depan, yang tidak akan pernah diketahuinya, seperti apa rupanya, atau di mana ujungnya. Raesaka memikirkan itu sambil membuka pintu gerbang rumah ibunya. Rumah ibunya yang bergaya rumah klasik, berjarak sekitar lima puluh meter dari tempatnya berdiri. Saat matahari sore menyorot, rumah itu terlihat seperti bahu dan punggung ibunya.
Tidak ada suara lain, selain bunyi nafasnya sendiri, yang diiringi kicauan burung, dengungan serangga, dan bunyi renyah sepatunya saat menginjak dedaunan dan ranting kering yang berserakan di mana-mana. Semilir angin membawa aroma tanah, rerumputan dan pepohonan yang kesepian karena ditinggal majikannya.
Kacapiring adalah bunga kesukaan ibunya. Wangi itu masih tertinggal di dalam dan sekitarnya, berpendar bersama debu-debu. Aromanya yang cukup kuat, mengingatkan Raesaka pada senyuman dan pandangan ibunya yang selalu damai, seakan-akan wajahnya ada di setiap sudut ruangan rumah ini, menempel pada benda-benda, menyapanya dalam hampa.
“Selamat datang di rumah Ibu, Sayang,” sapa ibunya, mengiang di kepala Raesaka, membuatnya meneteskan air mata. “Ayo, buka sepatumu dan simpan di sini.” Setelah membuka sepatu dan menaruhnya di rak kosong, kakinya menginjak lantai yang dingin berdebu.
Cahaya-cahaya yang masuk ke setiap ruangan, aroma, dan tata letak barang, membuat Raesaka merasa kembali ke dalam pangkuan ibunya. Penyesalan yang datang terlambat, menggores hatinya perlahan-lahan. Ia mengusap pipinya yang basah, lalu menghela nafas. Langkahnya berhenti di dekat piano digital milik ibunya, yang merapat pada dinding di salah satu sudut ruang tengah. Ia sentuh penutupnya, menyingkirkan debu yang menempel di permukaannya, dan membukanya. Ia tekan salah satu tuts putih.
Tiiiing! Lalu hening.
Raesaka sangat suka suara piano, tapi baik dirinya mau pun ibunya tidak mahir bermain. Di hari tertentu, ibunya akan mengundang Arabela, sahabat ibunya, yang pandai bermain piano dan bernyanyi, sedangkan ibunya akan berdiri di tengah ruangan, dan menari. Tapi, selama ini, Raesaka baru beberapa kali bertemu Arabela.
Sebelum masuk ke kamarnya, Raesaka berdiri di tengah ruangan, menoleh ke lorong pendek di sebelah kiri. Di ujung lorong yang temaram itu, berdiri pintu kamar ibunya yang tertutup. Raesaka tahu, pintu itu tidak terkunci, tapi sesuatu dalam pikirannya, membuatnya enggan pergi ke sana, jadi ia berbalik, berjalan ke lorong sebelah kanan, yang berseberangan dengan lorong kamar ibunya, masuk ke kamarnya sendiri. Di sana, ia mengistirahatkan kakinya, lalu berbaring tanpa melepas seragamnya.
Pandangannya menatap pada siling putih. Pendengarannya terfokus pada bunyi dengung rendah dan panjang di sekitar kepalanya. Tidak hanya fisiknya yang butuh istirahat, tetapi juga pikirannya. Mungkin dia bisa tinggal lagi di sini untuk sementara, pikirnya saat itu. Lagipula, rumah ini tidak begitu jauh dari markas tempatnya berdinas.
Sama seperti kehidupan dan pribadi ibunya, rumah ini juga menyimpan misteri. Sepanjang usianya, Raesaka selalu skeptis akan keberadaan hantu atau semacamnya. Tetapi, ia tidak bisa menyangkal itu saat melihat sosok-sosok absurd di sekitar rumah ibunya. Seperti sosok yang dulu sering dijumpainya di hari ke tiga ia tinggal di rumah ini.
Tia.
Sosok itu membisikkan namanya dengan bibir tetap terkatup. Suaranya lembut dan rendah. Tingginya melebihi pintu dan telanjang bulat. Kulitnya putih keabuan dan transparan, memperlihatkan tulang-tulang kelabu di bawahnya, yang dibalut jalinan urat hitam, dan tidak memiliki lengan. Tidak ada sehelai rambut pun di kepalanya, selain sesuatu berwarna hitam yang melingkar-lingkar di atas ubun-ubunnya. Benda gelap sepanjang satu meter, bersarang pada tulang bagian belakang daun telinganya, menembus dari sisi kiri ke kanan. Darah dari kepalanya, mengalir membasahi benda itu. Raesaka tidak pernah tahu bagaimana bentuk kakinya, karena jalinan kain putih menutupinya dari bagian panggul. Dia mengeluarkan aroma kacapiring, yang bercampur bau besi berkarat.
Wajahnya licin dan keras layaknya patung porselen. Dari balik kain kotor yang menutup rapat kedua matanya, darah mengalir mengotori bibirnya yang kering dan sangat pucat. Tidak seperti kebanyakan hantu yang sering diceritakan orang, sosok ini lebih berdimensi, seakan-akan ia memang nyata dan dapat menyentuh sesuatu, tetapi tidak jarang juga ia terlihat tipis bagaikan selembar kertas.
Ketika Tia datang, segala benda di sekitarnya menjadi bengkok dan berubah bentuk. Jam tidak berdetak (atau jarumnya tiba-tiba hilang), dan dunia diredam sesuatu yang tebal dan berat, seperti ketika kita menyelam ke dalam air. Dan di bawah cahaya remang kebiru-biruan, Raesaka jatuh ke dalam titik beku yang paling rendah. Ada sesuatu yang membuat tubuhnya kaku, mengunci pandangannya supaya tidak berpaling ke mana-mana, dan membungkam suaranya. Masih sambil berbaring di ranjang, ia memandang ngeri melalui pintu kamarnya yang sudah terbuka, melihat ke kegelapan yang menyelimuti lorong kamar ibunya di seberang.
Tia muncul dari balik kegelapan—mula-mula tubuhnya dulu, lalu kepalanya. Ia berdiri diam, menatap Raesaka. Setiap kali Raesaka berkedip, Tia mendekat, seakan-akan ia bisa berpindah tempat dengan amat cepat. Kadang-kadang, bentuk tubuhnya menjadi sangat janggal, seperti lehernya yang memanjang dan bengkok ke kiri/kanan, terlalu bengkok seolah kepalanya mau putus. Atau berubah bentuk menjadi lingkaran-lingkaran suram yang mengapung di udara, yang meliputi wajahnya (tanpa kain penutup, sehingga tampak matanya yang putih tanpa pupil). Saat Raesaka berkedip lagi, Tia sudah ada di ujung kakinya, tapi hanya kepalanya saja.
Samar-samar, terdengar bunyi senandung rendah dan panjang. Satu per satu membentuk tiga harmoni. Senandung itu bergemerisik, terputus-putus, memenuhi kamar. Semakin Raesaka berpikir apa yang dialaminya itu hanya halusinasi, kengerian justru semakin mengintimidasi akal sehatnya.
Seseorang berbisik, entah dari atas kepalanya, atau mungkin di bawah bantalnya. Orang itu berkata, “Setiap langkah adalah sakit. Setiap ucapan sudah pasti kosong. Apa pun yang kamu dengar hanya kebohongan.” Berulang-ulang, sampai berubah menjadi dengungan panjang yang membuat telinganya sakit. Raesaka memejamkan matanya erat-erat, sampai terasa pegal dan menegang.
“Ayo, bangun!”
Ibunya dan Nawasena berseru berbarengan, mengejutkan Raesaka. Wajah mereka diliputi cahaya siang yang benderang, lalu keduanya menampar Raesaka satu kali.
Seperti hantu dalam film kartun, Nawasena tersenyum sekilas dan matanya melebar (terlalu lebar hingga terlihat urat-uratnya, seakan bola matanya mau melompat ke luar) sebelum akhirnya ia benar-benar lenyap, sedangkan ibunya tetap di tempat, tersenyum sambil memperhatikan telapak tangannya yang tadi menampar Raesaka. Ada sedikit darah di sela-sela jarinya.
Di balik embun yang melapisi mata Raesaka, ibunya kini menatap lurus padanya, tanpa sekali pun berkedip. Lama-lama, tatapannya menjadi kosong dan menggelap, bibirnya mengendur tidak lagi tersenyum. Perlahan dan menyakitkan, kedua pupil ibunya bergerak ke atas, hingga yang tersisa hanya putih matanya saja, memerah dan berkilat-kilat.
Triing! Bunyi notifikasi ponsel menggugah kesadarannya. Untuk yang ke dua kalinya Raesaka membuka mata. Dadanya berdebar, tangan dan kakinya bergetar, dan nafasnya pendek-pendek. Ini semacam ketakutan yang tidak beralasan, yang pernah dialaminya saat kecil dulu. Dia tidak begitu ingat apa yang terjadi semalam, dan nalarnya selalu gagal membuat kesimpulan apakah itu hanya mimpi atau sebaliknya.
“Kapan kamu ada waktu ke Niskala? Udah berbulan-bulan kita enggak ketemu. Aku kangen sama kamu,” kata Arumi, pacar Raesaka, melalui pesan di ponselnya. Di dalam pikirannya, wajah Arumi dan ibunya saling berbenturan. Semakin lama, sosok ibunya terpampang semakin jelas, seperti lembaran-lembaran memori yang beterbangan. Saat itu, ia sedang menyapu lantai rumah ibunya, ditemani musik yang mengalun melalui mp3 player, yang ia taruh di meja ruang televisi. “Sekarang aku lagi sibuk, Rum. Nanti sore aku hubungi lagi, ya,” balas Raesaka, mendengar bunyi bel pintu. Bunyinya membuatnya terpukau selama beberapa saat—sudah berapa lama ia tidak mendengar iramanya? Sambil membetulkan letak maskernya yang melorot di hidung, ia berjalan menyeberangi ruangan dan membuka pintu. “Hai,” sapa Ivan sambil melepas topinya. Matanya yang sipit menyerupai dua garis hitam ketika ia nyengir seperti itu. Sinar matahari menyengat pipinya yang putih kekuningan sampai memerah. Ia memakai seragam coklat berbahan
“Jadi gimana nih?” tanya Arumi melalui telepon. “Kapan ada rencana ke Niskala? Aku kangen pengen ketemu kamu.” Ivan dan Purangga sudah pulang satu jam yang lalu. Bayangan Arumi di kepala Raesaka, dibuyarkan oleh langkah kaki ibunya yang telanjang, menapaki tanah dan rerumputan. Meskipun pincang, Marsala masih mampu memanjat pohon kersen yang tingginya tidak seberapa. Di hari ke tiga setelah kedatangan Raesaka dari Niskala, ibunya berdiri di salah satu batang pohon kersen, bersandar pada batang yang lain, memetik banyak kersen dan melahapnya sambil menikmati cerahnya langit. Kersen-kersen itu menggelincir di telapak tangan ibunya, berjatuhan tepat di wajah Raesaka. Di bawah, ia melihat ibunya yang riang, terbingkai ranting dan dedaunan. Itu adalah keceriaan ibunya yang pertama kali dilihatnya setelah lima belas tahun mereka hidup berpisah. Dulu, setiap hari Sabtu dan Minggu, ibunya mengunjungi Raesaka di Niskala. Itu pun jarang, bahkan ia pernah tidak datang selama beberapa bula
“Aku kira, kita enggak akan ketemu lagi,” kata Nayyala sambil melahap nasi goreng ikan asin. Suaranya kecil dan bergetar, seakan kecemasan menyelip di tenggorokannya, tetapi memang itu ciri khas Nayyala. Dia sejatinya perempuan periang. Keduanya duduk berhadapan di restoran terbuka yang dikelilingi pepohonan rimbun. Suasananya sedikit temaram, dan tidak banyak pengunjung yang datang. Musik jazz mengalir memenuhi udara di sekitar mereka, saat Nayyala tersenyum dikulum, memperhatikan Raesaka yang sedang menyendok nasi ayam teriyaki. “Kakak kerja di mana sekarang?” tanya Raesaka. “Di toko buku Citraloka, jadi kasir lagi,” jawab Nayyala. “Kak Prisha?” Nayyala angkat bahu dan menggelengkan kepala. Katanya, “Udah lama enggak ada kabar dari dia, selain pernikahannya.” “Menikah?” Raesaka hampir tidak percaya, matanya membulat. “Kapan? Sama siapa?” “Satu tahun yang lalu, sama orang Baralingga. Pestanya di luar pulau, jadi aku enggak datang.” “Kok aku enggak dikasih kabar, ya?” Kening
“Re, apa kabar?” sapa Prisha.Hawa panas memenuhi ruang mobil tahanan, saat Raesaka mengamati enam punggung terdakwa pelaku terorisme, yang dijadwalkan akan menjalani persidangan hari ini. Satu rekannya yang lain, berjaga di dekat pintu keluar. Ia teringat ibunya pernah membicarakan soal asas praduga tidak bersalah. Ibunya tahu betul tentang itu, dan menjelaskannya berkali-kali sampai terdengar membosankan, seakan itu pengingat supaya Raesaka tidak bertingkah main hakim sendiri.“Ibu semestinya masuk sekolah hukum,” kata Raesaka waktu itu. “Ibu pintar dan berwawasan luas.”Ucapan itu membuat ibunya diam cukup lama, lalu tertawa seperti sedang mendengar humor yang tidak lucu. Demi milyaran menit yang telah berlalu, Raesaka belum pernah menyaksikan ibunya tertawa seperti itu—langit-langit mulutnya yang kemerahan, mengkilat dan basah, dan anak tekaknya sampai terlihat. Bahu ibunya sampai bergetar, dan tangannya menepuk-nepuk meja sambil cegukan. Dengan canggung, Raesaka ikut tertaw
Prisha duduk di lantai koridor pengadilan, bahunya bersandar pada pilar, mengamati area pengadilan yang diramaikan oleh kehadiran para wartawan yang akan meliput persidangan terdakwa terorisme. Sama seperti dua minggu yang lalu, ia mengenakan celana gading pegawai negeri sipil dan kaos putih bercorak, tetapi tanpa kemeja almamaternya. Sesekali, ia melirik ke ruang sidang yang terbuka, di mana suaminya sedang menunggu giliran sidang.Di samping Prisha, ada wanita berusia empat puluhan bersetelan resmi hitam-hitam, yang kemudian berdiri menghampiri Wandra, dan mengobrol. Itu adalah ibu Padma, tetangga yang tinggal di dekat rumahnya Wandra. Kedua tangannya mendekap dua map berisi berkas-berkas. Ada sebentuk logo dan nama universitas pada permukaan map yang dibawanya.“Ibu dipanggil jadi saksi,” kata wanita berambut pendek itu, berdiri membelakangi Prisha. Sesekali ia mengusap kemejanya, menyingkirkan debu yang sebetulnya tidak ada di sana. “Padahal, hari ini ada jadwal ngajar di kampus.
“Gimana kalau kita cari si bangsat ini?” tanya Purangga melalui telepon.“Siapa maksud kamu?” Raesaka bertanya balik, keningnya mengerut.“Maruk,” jawab Purangga, menyebut nama penjahat yang menjadi target pencarian oleh kepolisian. Walaupun suaranya rendah dan terkesan kosong, terselip kebencian yang gelap dari nadanya. “Kita hajar dia sampai mati, atau kalau perlu kita seret dan kita permalukan dia di depan publik.” Mendengar itu, Raesaka menjadi merinding. Ia tidak pernah mengira Purangga yang pemalu, melontarkan kata-kata seperti itu. Tapi, Raesaka paham, mau sebanyak apa pun cuti yang dia ambil, tidak akan meredam kekalutannya, apalagi menyelesaikan situasi yang dialaminya. Di sisi lain, ia juga menyadari bahwa Purangga tidak benar-benar ingin menangkap Maruk. Purangga hanya ingin segera menyelamatkan kakaknya.“Enggak mungkin kita bertindak di luar prosedur, Pur. Kamu tahu itu, bukan?” ujar Raesaka.“Si Maruk sendiri bertindak di luar aturan!” geram Purangga. “Mereka bahk
“Rae.” Gaduhnya pintu yang dibuka, langkah-langkah kaki yang sibuk, dan keriuhan orang-orang, menumpuk suara Purangga.Kaget, Raesaka membuka matanya dan menoleh cepat, mendapati dirinya sedang berbaring di kursi, dan Purangga yang berlutut di sampingnya, menatapnya tanpa senyuman. Di belakang Purangga, dua kepala rekannya yang kelabu, bergerak-gerak menertawakannya. Bingung, Raesaka mengangkat kepala dan bahunya ketika Bu Dhatri muncul dari balik pintu.“Orang pingsan jangan diketawain,” tegur Bu Dhatri sambil membungkuk, menaruh semangkuk bubur asin yang hanya ditaburi bawang goreng dan irisan telur, disertai teh manis hangat di meja. Kemudian, ia menoleh kepada Raesaka, memintanya supaya segera makan sebelum wanita setengah baya itu meninggalkan ruangan.“Kenapa aku ada di sini?” bisik Raesaka.“Kamu pingsan pas apel,” jawab salah satu rekannya. “Kita semua yang gotong kamu ke sini.”“Apel?” Raesaka melihat topi baret miliknya di meja, lalu mengamati seragamnya selama beberapa s
Raesaka menolak ajakan Purangga yang bersedia mengantarnya ke dokter. “Pernah satu kali,” kata Raesaka di bawah tekanan menyakitkan di kepalanya dan tubuhnya gemetar samar, “aku pergi ke dokter umum di dekat rumah di Niskala, setelah jempol kakiku digigit nyamuk dan sakitnya seperti disengat lebah, lalu aku demam.” “Ah, barangkali itu memang lebah, Re.” Purangga menyesap air di gelas dan terkekeh. “Enggak, enggak, itu beneran nyamuk, kok. Sakitnya memang kayak habis disengat lebah, tapi enggak gatal dan enggak bengkak. Aku lantas bilang sama dokternya, kayaknya aku kena chikungunya. Aku malah dikatain sok tahu sama dokternya, dan cuma dikasih obat pereda sakit dan penurun panas.” “Terus, kondisi kamu gimana?” “Ya, makin parah. Aku demam tinggi malam harinya. Yang sakit bukan lagi jempol, tapi semua persendian, dan baru sembuh sepuluh hari kemudian. Saking sakitnya, aku enggak bisa bangun, dan aku pikir, aku lumpuh, Pur. Tapi, enggak ada yang percaya kalau aku kena chikungunya. Mer
Usai melewati perjalanan panjang, Raesaka tiba di Sadajiwa.Keheningan dan gemuruh dari kejauhan menyambutnya di bawah naungan langit petang. Dia mengetuk pintu rumah Arabela, menengok ke dalam melalui jendela yang suram, dan tidak terdengar bunyi langkah mau pun sahutan. Ia baru ingat, Damian baru saja meninggal dan pasti Arabela masih berduka. Raesaka berlari kecil ke belakang rumah.Langkahnya bergema ketika Raesaka berjalan menyeberangi jalan setapak di atas kolam ikan, menuju ke rumah kecil ibunya. Ia berhenti di dekat makam palsu Sindukala yang kini dikelilingi semak-semak kering yang tidak terawat. Nafasnya sedikit memburu saat ia memutuskan mencari cangkul yang tidak ada di mana pun, selain di gudang.Gudang itu digembok, jadi ia meraih glock yang bukan miliknya, yang menggantung di panggulnya. Seraya menjaga jarak dan berhati-hati supaya tidak terkena serpihan yang bisa melukainya, Raesaka mengarahkan pucuknya ke gembok gudang dan melepaskan peluru beberapa kali—suaranya mene
“Boleh aku minta waktu buat mikir, Re?” suara Prisha mengakhiri keheningan. “Nanti aku kabari lagi.”“Iya, Kak. Boleh.” Raesaka menghela nafas dan mengangguk.Bunyi lembut deru motor yang dikendarainya menemaninya pulang melewati gemerlap malam. Hatinya membuncah karena kebahagiaan dan kelegaan usai mengungkapkan rasa cintanya kepada Prisha. Wajah dan senyuman teduh Prisha memenuhi pikirannya, bahkan saat berhenti di lampu merah pun, jiwanya seakan kembali ke rumah Prisha yang beraroma teh dan lavender. Kini ia bergantung pada harapan akan jawaban positif dari Prisha.Raesaka kembali ke rumah dan memarkir motornya di garasi. Begitu mau menutup pintu garasi, terdengar bunyi notifikasi dari ponselnya. Ia rogoh ponselnya dari saku celana jeans-nya, dan melihat ada pesan dari Arabela. Matanya melebar membaca isinya.“Rae, apa kamu ada di rumah? Hari ini Tante sedang berduka. Oom Damian meninggal usai minum kopi kemarin sore. Tante merasa ada seseorang yang meracuninya. Bisa kita ketemu da
Sebuah citra merasuk ke dalam kalbunya dan membentuk mimpi. Di sana, Raesaka melihat ibunya yang kembali muda, dibalut gaun pendek berwarna merah marun, berjalan tanpa alas kaki, menyusuri jalanan panjang dan sepi. Cahaya matahari yang lembut menyorot dari sela-sela pepohohan akasia dan mahoni yang menaunginya. Raesaka menghampirinya, dan ibunya menoleh padanya, memandangnya.Raesaka membalas pandangan ibunya, mengusap lembut wajah dan rambut ibunya sembari berkata, “Rae sayang sama Ibu.” Ia peluk tubuh mungil ibunya, lalu menikmati kecupan ringan ibunya di pipi. Setelah melepas pelukan Raesaka, bibir ibunya merekah, meninggalkan jejak-jejak kedamaian dan keindahan di hati Raesaka yang menangis. Ia berjalan mundur, berbalik dan kembali melangkah menjauhi Raesaka, entah ke mana.* * *Raesaka sudah berseragam dan wangi ketika memandangi makam ibunya di samping makam Sindukala, dan menaruh dupa di sana. Mungkin, mungkin saja, inilah kepergian dan pelepasan yang selama ini yang dii
Matahari yang hampir mendekati cakrawala terbingkai oleh jendela kamarnya. Warna ungu dan jingga merambat mewarnai langit. Perlahan-lahan, tanah bergerak, bergelombang dan berputar, menarik Marsala jauh ke suatu tempat di mana hanya ada dirinya, cakrawala gelap dan matahari raksasa yang bulat kemerahan.Pemandangan yang sedang dilihatnya kini berubah menjadi wajah seseorang yang selama ini dicintainya. Wajah yang kecoklatan, berhidung mancung, dan bermata sendu. Rambutnya yang pendek bergelombang, mengalir dipermainkan angin. Orang itu menoleh, memutar tubuhnya menghadap Marsala, dan melemparkan senyuman yang selalu dirindukan Marsala.Sindukala.Kedua mata Marsala berbinar memantulkan cahaya. Dadanya bergejolak akan kerinduan dan cinta yang tiada henti. Aroma khas suaminya meliputi dirinya saat mereka berpelukan dan saling berpandangan. Lalu, Sindukala membenamkan bibirnya pada bibir Marsala. * * *Bunyi kerangkeng besi yang ditutup dan digembok menggema keras di sepanjang loro
Musik yang diputar Marsala memenuhi ruangan dapur, menciptakan nuansa ceria dan hangat di pagi hari.Raesaka menyendok nasi goreng kencur dan telur mata sapi di piring, memperhatikan ibunya yang mondar-mandir, menaruh beberapa makanan ringan di atas meja, dan menyeduh secangkir teh kembang sepatu untuk dirinya sendiri. Sinar matahari menembus dari jendela, menyorot sosok mungilnya. Rambut ibunya diikat sedemikian rupa, dan beberapa helai rambut turun ke bahu dan punggungnya, membuatnya terlihat lebih anggun dari biasanya, walaupun dia hanya memakai daster pendek bercorak bunga-bunga.“Hari ini kamu ada dinas, Sayang?” tanya ibunya sembari menarik kursi dan duduk di seberang Raesaka.Raesaka menelan suapan nasi gorengnya sebelum ia menggeleng dan menjawab, “Oh, Rae dinas setelah maghrib, Bu. Sayang sekali, sebenarnya Rae ingin pergi ke Niskala, mau ikut doa tujuh hari kepergian Nenek. Ibu juga akan berangkat, bukan?”Marsala menyesap teh kembang sepatunya dan menggeleng. “Ibu batal be
Kicauan burung membangunkan Marsala di sore hari, dan ia membaca pesan dari Raesaka yang isinya, “Bu, malam ini Rae sedang tidak ada dinas, dan Rae mau pergi ke restoran sama Kak Prisha, jadi jaga diri Ibu baik-baik, ya. Rae tidak akan lama.”Matahari yang hampir mendekati cakrawala terbingkai oleh jendela kamarnya. Warna ungu dan kemerah-merahan merambat mewarnai langit. Marsala bangun dan duduk di sisi ranjangnya, memandangi jendela, menikmati hembusan angin yang menyentuh kulitnya. Pemandangan seperti ini selalu mengingatkannya pada suaminya dan segala hal tentang dirinya, bertumpuk bersama kenangan-kenangan. Kemudian, Marsala berdiri, menghampiri meja kerjanya.Marsala menunduk, mengamati potret-potret kecil wajah Sindukala yang ia lukis selama beberapa minggu terakhir. Tidak semua lukisannya selesai, ada yang setengah jadi, dan ada pula yang hanya berupa lukisan lingkaran mata Sindukala. Hanya ditemani bunyi nafasnya sendiri, jemari Marsala menelusuri permukaan dan sisi lukisan
“Mars benci Mamah, dan keluarga Mamah. Sampai Tuhan pun enggak sabar ingin segera menjebloskanku ke neraka, saking bencinya aku sama Mamah,” tutur Marsala. Tatapannya lebih rileks selama memandangi ibunya; suaranya rendah dan pelan, hampir tanpa emosi, seakan-akan dirinya semacam benda kosong yang tidak berjiwa. “Perasaan ini sudah mengerak sangat lama di hati Marsala, dan inilah saatnya Mamah mendengar semuanya.”Abhinanda menelan ludah, menahan godaan menghindari tatapan Marsala, dan keinginan untuk membantah, tapi mimik wajah putri sulungnya mengintimidasinya, menuntutnya supaya menuruti keinginannya.“Sadar enggak sadar, Mamah mengecewakan Mars berkali-kali. Mamah mengambil lagi kehidupan Mars yang telah Mamah berikan dengan cara Mamah sendiri. Betapa lembutnya tutur kata Mamah setiap kali memaksakan segala kehendak Mamah, membuatku enggak berani melawan. Mamah enggak pernah bersyukur punya anak seperti aku, dan oleh sebab itu, Mamah dan Papah menaruh harapan di luar kapasitas Mar
“Nay pikir si Rae bohong, ternyata benar, Ibu pulang,” seru Nayyala di teras depan, tertawa di antara air matanya. “Gimana kabarnya, Bu? Kita semua kangen sama Ibu.”Raesaka menengok dari balik dinding, melihat Nayyala berjalan masuk ke ruangan sambil menjinjing dua tote bag. Ia tidak datang bersama Aditya, melainkan Prisha. Mata Raesaka melebar dan jantungnya berdebar, memperhatikan Prisha yang sedang memeluk ibunya, dalam keadaan baik-baik saja. Setelah mematikan musik, Raesaka berjalan melewati ruangan televisi, menyambut kedua perempuan itu.“Kamu mau langsung berangkat?” tanya Marsala kepada Raesaka.“Oh, enggak, Bu. Masih ada waktu kok,” jawab Raesaka, mengusap matanya yang terasa kering usai tadi menangis, dan ia menjadi salah tingkah.“Kalau gitu, bisa kamu bikinin minuman buat mereka?”“Jangan, Bu,” sahut Nayyala langsung beranjak dari kursi. “Biar aku aja yang bikin. Kebetulan kita bawa banyak teh kesukaan Ibu. Ada jasmine, kembang sepatu, kembang telang, chamomile, green t
Raesaka membuka mata, mengakhiri mimpi tentang masa kecilnya.Sayup-sayup terdengar musik dari arah dapur. Atmosfer di dalam dan di luar rumahnya menjadi lebih familiar dan hangat semenjak ibunya di sini, seakan-akan situasinya sangat normal; tidak ada masa lalu mau pun masa depan, dan tidak ada yang perlu dicemaskan, apalagi ditakutkan. Pula, tidak ada lagi seliweran bayangan-bayangan, sosok aneh, dan juga Tia di sekitar rumahnya.Raesaka merosot dari ranjangnya, berjalan menghampiri jendela dan menyingkap tirainya sedikit. Di balik kaca yang berembun, ia melihat ibunya duduk bersimpuh di samping makam Sindukala, yang dinaungi langit kelabu kebiru-biruan. Asap-asap dupa yang dibakar, beterbangan mengelilingi tubuhnya yang terbalut baju dan kerudung panjang berwarna merah. Cukup lama ibunya berdiam diri di sana, lalu menumpahkan air dan menaburi bunga-bungaan. Hampir setiap pagi ibunya melakukan itu, sesekali di tengah malam hari. Hari-hari berikutnya, Raesaka membantu ibunya men